Kemunculan Dajjal di akhir zaman sebagai tanda kiamat merupakan informasi yang mutawatir dan valid. Artinya, informasi ini dikonfirmasi secara berantai oleh para sahabat dan para ahli hadis dari kalangan ulama salaf. Syekh al-Kattani dalam Nazhm al-Mutanatsir min Ahadits al-Mutawatir menyebutkan bahwa hadis tentang kemunculan Dajjal itu disebutkan oleh banyak sahabat dan banyak jalur periwayatan hadis.
Menurut Imam al-Syaukani dalam kitab al-Taudhih, hadis mengenai kemunculan Dajjal itu mencapai jumlah seratus hadis. Tapi mengapa kemunculan Dajjal di akhir zaman tidak disebutkan secara jelas dalam Al-Qur’an? Paling tidak terdapat tiga jawaban mengenai pertanyaan ini dari Imam Ibnu Hajar al-Asqalani dalam Fathul Bari.
Pertama, Al-Qur’an memberikan banyak nasihat dan ajakan pada manusia untuk beriman. Sementara itu, kemunculan Dajjal itu pertanda keimanan seseorang terhadap Allah SWT sudah tidak ada manfaatnya. Diriwayatkan dari Abu Hurairah yang pernah mendengar Rasulullah SAW bersabda, “Tiga hal yang apabila sudah muncul maka keimanan seseorang itu sudah tidak bermanfaat lagi” (HR Tirmidzi). Imam al-Tirmidzi menganggap shahih hadis ini. Apa ketiga hal itu? Kemunculan Dajjal, hewan raksasa, dan matahari terbit dari arah barat.
Kedua, penyebutan Nabi Isa diturunkan kembali dari langit dalam Al-Qur’an sudah mewakili akan kemunculan Dajjal di akhir zaman. Pasalnya, Nabi Isa lah yang nanti akan mengalahkan Dajjal di akhir zaman.
Ketiga, peniadaan penyebutan Dajjal di dalam Al-Qur’an merupakan bentuk perendahan terhadap Dajjal. Pasalnya, fitnah Dajjal merupakan ujian terbesar yang nanti akan dialami manusia.
Tampaknya jawaban yang lebih relevan adalah pendapat Imam al-Bulqini, yang juga dikutip Imam Ibnu Hajar dalam Fathul Bari, sebagaimana berikut:
كُلُّ مَنْ ذُكِرَ فِي الْقُرْآنِ مِنَ الْمُفْسِدِينَ فَوَجَدَ كُلَّ مَنْ ذُكِرَ إِنَّمَا هُمْ مِمَّنْ مَضَى وَانْقَضَى أَمْرُهُ وَأَمَّا من لم يَجِيء بَعْدُ فَلَمْ يَذْكُرْ مِنْهُمْ أَحَدًا
“Setiap para perusak yang disebutkan dalam Al-Qur’an itu al-Bulqini menemukan bahwa semua yang disebut adalah mereka yang kisahnya sudah berlalu. Adapun yang belum terjadi itu Al-Qur’an tidak menyebutkan sama sekali.”
Penjelasan mengenai Qorun, Firaun adalah sosok yang disebutkan dalam Al-Qur’an, dan kisahnya sudah terjadi. Sementara kemunculan Dajjal itu belum terjadi. Karena itu, tidak disebutkan dalam Al-Qur’an.
Pertanyaan berikutnya, apa Dajjal itu sosok makhluk hidup ataukah hanya kiasan atau simbol mengenai kerusakan di muka bumi, karena hadis-hadis mengenai Dajjal menggambarkan tentang kerusakan? Imam al-Nawawi dalam Syarah al-Nawawi ‘ala Shahih Muslim mengutip pendapat Qadhi ‘Iyadh sebagaimana berikut:
قَالَ الْقَاضِي هَذِهِ الْأَحَادِيثُ الَّتِي ذَكَرَهَا مُسْلِمٌ وَغَيْرُهُ فِي قِصَّةِ الدَّجَّالِ حُجَّةٌ لِمَذْهَبِ أَهْلِ الْحَقِّ فِي صِحَّةِ وُجُودِهِ وَأَنَّهُ شَخْصٌ بِعَيْنِهِ ابْتَلَى اللَّهُ بِهِ عِبَادَهُ
“Qadhi ‘Iyadh berpendapat bahwa hadis-hadis yang Imam Muslim dan ahli hadis lainnya sebutkan mengenai kisah Dajjal itu hujah bagi mazhab ahli haq mengenai kesahihan kemunculan Dajjal. Dajjal pula merupakan sosok makhluk yang nyata yang mana Allah menguji hamba-Nya melalui Dajjal.”
Namun demikian, ada ulama yang berpendapat bahwa Dajjal adalah bukan sosok makhluk. Akan tetapi ia merupakan kiasan akan terjadinya kehancuran muka bumi dengan banyak kerusakan akibat perbuatan manusia. Pendapat ini di antaranya disuarakan oleh Muhammad Abduh.
Terlepas dari perbedaan pendapat mengenai sosok Dajjal tersebut, sebenarnya ada ujian yang lebih besar dari Dajjal yang lebih ditakuti Rasulullah pada umatnya. Rasulullah lebih mengkhawatirkan umatnya terjangkit penyakit hati, seperti riya, ujub, sombong, dan lain sebagainya, daripada fitnah Dajjal.
Diriwayatkan dari Rabih bin Abdurrahman bin Abi Sa’id al-Khudri, dari Ayahnya, dari kakeknya berkata: “Rasulullah menemui kami yang sedang membahas tentang al-Masih Dajjal, lantas beliau menimpali: “Saya akan memberikan kabar kepada kalian tentang hal yang menakutkan daripada fitnah al-Masih Dajjal. Kemudian kami menjawab: “Apa itu, Rasul?” Lalu Rasulullah menjelaskan: “Syirik yang samar (riya’ atau pamer) yaitu ketika seseorang shalat kemudian memperindah shalatnya karena sedang dilihat oleh orang lain” (HR Ibnu Majah)