Cuci Tangan Sebelum Makan: Sebuah Pendekatan Budaya Islam

Cuci Tangan Sebelum Makan: Sebuah Pendekatan Budaya Islam

Cuci Tangan Sebelum Makan: Sebuah Pendekatan Budaya Islam

Islam dan budaya dapat digambarkan seperti dua sisi mata uang. Oleh sebab itu wajar terjadi perbedaan sudut pandang antar umat Islam tentang budaya itu sendiri. Sebab di satu sisi dia Muslim tetapi di sisi lain dia lahir di tengah keluarga, suku-bangsa yang telah berbudaya.

Supaya menjadi pribadi muslim yang bijak dalam memahami perbedaan budaya Islam, kita dapat belajar dari tradisi cuci tangan sebelum makan. Sekilas hal itu menjadi ajaran agama, padahal bukan! Bangsa Arab, tempat asal diturunkannya agama Islam tidak mengenal kebiasaan tersebut.

Sampai masa hidup Imam Malik b. Anas (711-795 masehi/93-179 hijriah), kebiasaan cuci tangan sebelum makan belum dipraktikkan oleh masyarakat Hijaz (Mekkah-Madinah). Boleh percaya boleh tidak, tetapi ini faktual! Hal ini seperti diungkapkan as-Syathibi, seorang ulama mazhab Malikiyyah.

Di dalam kitab al-Muwafaqat (Jilid IV: 114) beliau menuturkan satu riwayat dari al-Qadhi ‘Iyadh, bahwa imam Malik pernah berkunjung ke kediaman amir Madinah, Abdul Mulk b. Shalih. Selang bebarapa waktu, amir Madinah itu mengajak makan bersama Imam Malik. Beliau sangat memuliakan ulama, sehingga beliau meminta Imam Malik untuk memulai terlebih dahulu.

“Kami minta tuanku yang memulai,” kata amir kepada Imam Malik. Sang ulama pun menjawab: “Tapi bolehkah Abu Abdullah –panggilan imam Malik kepada dirinya sendiri- tidak terlebih dulu mencuci tangan?”

Seketika itu juga amir Madinah itu bertanya: “Kenapa tidak cuci tangan?” Imam Malik menjawab: “Orang-orang alim di negeri kita ini tidak terbiasa dengan cuci tangan sebelum makan. Itu hanya kebiasaan orang-orang non-Arab. Khalifah Umar b. Khattab saja jika hendak menyantap makanan, beliau hanya mengusapkan tangan ke telapak kakinya.”

Mendengar penjelasan itu, amir Madinah berkata: “Apakah aku perlu meninggalkan kebiasaan cuci tangan sebelum makan?” Imam Malik menjawab: “Ya, kamu tak perlu membiasakannya, wahai Ibn Shalih!. Tinggalkan kebiasaan orang non-Arab, dan hidupkan kebiasaan orang Arab!!”

Sekalipun begitu,bukan berarti Imam Malik memerintahkan agar kebiasaan cuci tangan sebelum makan dihilangkan. Sekali lagi bukan begitu! Beliau hanya khawatir jika praktik cuci tangan sebelum makan itu dianggap wajib menurut agama.

Belajar dari kasus ini, kita paham sebegitu kuatnya Imam Malik mempertahankan budaya tanah kelahirannya. Padahal beliau adalah tokoh mazhab yang menjadi panutan umat Islam. Sekali lagi ini bukan bermaksud mengkritik imam Malik dan Arab, tetapi justru sebaliknya kita harus memahami arti penting budaya dalam agama.