Dari dulu saya selalu menyukai kota ini, Madinah. Kota suci kedua umat Islam setelah Mekkah. Memang dalam hal pahala, ibadah tanah suci Mekkah lebih utama dibanding Madinah. Ada banyak hadits Nabi mengulas keutamaan dan besarnya pahala yang diperoleh beribadah di Masjidil Haram. Satu lagi, karena ritual Haji dan Umrah semuanya dikerjakan di tanah suci Mekkah, bukan di Madinah.
Saya mengumpamakan jika Madinah dan Mekkah ini seorang perempuan, maka kota pertama ibarat perempuan yang awet muda dan pandai merawat diri. Sementara Mekkah merupakan perempuan yang tak pernah puas dengan penampilannya, memakai aksesori berlebihan dan memiliki rupa yang cantik. Tapi hasil operasi bedah berkali-kali dan operasinya itu tidak kelar-kelar sampai sekarang.
Gedung-gedung bertingkat yang dibangun di Madinah tingginya rata-rata semua sama, juga enak dipandang. Hal itu karena ketinggian bangunan di Madinah tidak diperkenankan melebihi ketinggian menara masjid Nabawi. Di Mekkah beda lagi. Gedung-gedung seolah berlomba-lomba menjadi yang paling tinggi.
Tanah suci Madinah lebih luas dibandingkan Mekkah. Di Madinah nabi menetap dan menghabiskan sisa hidupnya. Di kota ini pula dahulu beliau diterima dengan suka cita oleh penduduk Madinah setelah terancam jiwanya dan terusir dari kampung halamannya di Mekkah. Jasa penduduk Madinah begitu besar dalam perjalanan Islam, dari kota inilah Nabi membangun peradaban dan menjadi titik balik berkembangnya Islam sampai meluas ke jazirah Arab hingga Afrika. Maka tidak heran di Madinah banyak makam syuhada, ahlul bait, sahabat dan pembesar Islam lainnya.
Masjid yang lebih mewah dari Masjid Nabawi di jazirah Arab memang banyak, tapi yang lebih istimewa saya kira tidak ada yang menandingi dari masjid ini. Ya karena di masjid inilah ada Nabi agung Muhammad SAW bersemayam.
Bagi muslim seperti saya, punya kesempatan berziarah ke makam para waliyullah adalah sebuah kebahagian. Apalagi bisa berziarah ke makam Rasulullah, bisa bershalawat dan mengucapkan salam langsung di hadapan sang Nabi. Sosok yang selama ini selalu saya menyebut namanya dalam tiap Shalat, bershalawat setiap ada orang menyebutkan namanya, dan senantiasa merayakan hari kelahirannya di bulan Rabiul Awwal, sekalipun terpisah jarak yang jauh dan terpisah kehidupan zaman ratusan tahun.
Di bawah kubah hijau masjid Nabawi, di situlah Nabi Muhammad SAW bersemayam. Saya teringat kata-kata almarhum paman saya ketika beliau pertama kali menginjakkan kaki di Madinah 10 tahun silam, “Jika bukan karena ada Nabi, mana ada yang sudi datang ke sini.” Kata-kata itu membekas pada diri saya sampai sekarang.
Masjid Nabawi dalam sejarahnya bukanlah masjid yang pertama kali dibangun di Madinah, sebelumnya ada masjid yang lebih dulu dibangun oleh Nabi Muhammad SAW ketika perjalanan beliau hijrah dari Mekkah. Masjid tersebut diberi nama masjid Quba’. Baru setelah itu Masjid Nabawi didirikan di Madinah.
Perihal dimakamkannya Nabi di Madinah, dalam kitab Tarikh Khulafa karya Imam Suyuthi diceritakan adanya polemik yang terjadi saat Nabi Muhammad SAW wafat. Yakni timbul persoalan di kalangan umat Islam di mana Nabi akan dimakamkan. Para sahabat ada yang mengusulkan sebaiknya dimakamkan di tanah kelahirannya, Mekkah, sebagian lain mengusulkan dimakamkan di Baitul Maqdis (Masjidil Aqsha) tempat di mana para Nabi disemayamkan. Dan ada juga yang mengusulkan dimakamkan di pemakaman Baqi’ Madinah, sebagian lagi sebaiknya dimakamkan di masjidnya.
Demikianlah yang terjadi hingga akhirnya Abu Bakar As Shiddiq memberitahukan kepada mereka tentang apa yang dia dengar dari Rasulullah SAW,“Saya pernah mendengar Nabi Muhammad SAW bersabda, tak seorangpun Nabi yang meninggal kecuali dia harus disemayamkan di tempat pembaringan dimana dia wafat”.
Maka atas dasar hadist ini Nabi akhirnya dimakamkan di ruangannya, yang sekarang telah menyatu dengan masjid Nabawi.
Pada masa silam upaya mengusik keberadaan makam Nabi pernah terjadi beberapa kali. Salah satunya adalah penguasa Mesir yang memerintah pada tahun 386 H yang pernah berusaha memindahkan jasad Nabi ke negeri Mesir, namun usaha tersebut gagal. Sebagaimana tertulis dalam kitab Tarikh Baghdad karya Ibnu An Najar.
Pada masa kini pengusikan terhadap keberadaan makam Nabi bukan berarti tidak ada. Tahun 2014 sempat ada isu pemindahan makam Nabi SAW. Meski pemerintah Arab Saudi membantah isu tersebut setelah ramai protes dari umat Islam se-dunia. Pemerintah Arab membantah isu rencana pemindahan makam Nabi, tapi yang benar adalah isu “pemisahan” makam Nabi dengan masjid Nabawi.
Pemerintah Arab Saudi mengatakan usulan tersebut datangnya bukan dari pemerintah, namun dari seorang akademisi Arab Saudi. Bagi saya, pemindahan atau pemisahan sama saja bentuk pengusikan terhadap keberadaan makam Nabi Muhammad SAW. Bahkan saya berprasangka seandainya tidak ada protes dari umat Islam, termasuk dari Indonesia, usulan ngawur akademisi Saudi tersebut mungkin saja direalisasikan oleh penguasa kerajaan.
Kerajaan Arab Saudi yang menguasai dua tanah suci umat Islam saat ini, adalah pemerintah Saudi yang dulu pernah berusaha menghancurkan makam Nabi Muhammad SAW ketika awal berdirinya kerajaan pada tahun 1920-an. Beruntung ketika itu ulama nusantara tidak tinggal diam, mereka membentuk panitia kecil bernama komite Hijaz yang diketuai KH. Wahab Chasbullah mendatangi penguasa Arab Saudi dan melayangkan protes keras sehingga keberadaan makam Nabi selamat dari rencana penghancuran atas nama pemurnian akidah.
Saya baru tahu, kalau saat ini ada sebuah megaproyek di kompleks masjid Nabawi, beton-beton sudah berdiri di sebelah timur Masjid Nabawi, apakah ini proyek perluasan Masjid Nabawi telah dimulai?
Jika ini benar, saya berdo’a semoga proyek Nabawi ini tidak berdampak rusaknya situs-situs sejarah yang masih tersisa dan keindahan masjid Nabi itu sendiri, persis yang telah terjadi di Masjidil Haram Mekkah. Sebab bagi saya Masjid Nabawi bukan sekadar Baitullah, tapi juga Baitur Rasulillah. []
Iqbal Kholidi adalah pemerhati Timur Tengah. Bisa ditemu di @Iqbal_Kholidi.