Coretan Dari Tanah Suci: Belajar Toleransi dari Peziarah Tanah Suci (Bagian-2)

Coretan Dari Tanah Suci: Belajar Toleransi dari Peziarah Tanah Suci (Bagian-2)

Masjid Makkah dan Masjid Madinah adalah dua tempat suci umat islam. Bagaimana pola dan cara beribadah di kedua tempat suci itu?

Coretan Dari Tanah Suci: Belajar Toleransi dari Peziarah Tanah Suci (Bagian-2)

Jika kota Mekkah dijadikan tanah suci berkat do’a Nabi Ibrahim AS yang dikabulkan Allah SWT, maka kota Madinah adalah buah do’a dari Nabi Muhammad SAW yang menjadikannya tanah suci. Dua kota suci tak pernah sepi dari peziarah, semua ini tak lepas karena keberadaan dua masjid yang ada di dua kota ini. Masjidil Haram Mekkah dan Masjidil Haram Madinah atau yang familiar dengan nama Masjid Nabawi. Masjid pertama tak pernah sepi sebab adanya Ka’bah yang menjadi kiblat umat Islam sedunia, sementara yang kedua karena Nabi Muhammad dimakamkan di masjid tersebut.

Saya kira bukan hanya saya, siapa pun yang pernah menziarahi dua tanah suci merasakan apa yang saya alami. Yakni melihat pemandangan keragaman praktek keagamaan para peziarah di Masjidil Haram Mekkah dan Madinah. Misalnya, suatu hal yang lumrah di Masjidil Haram orang shalat bersedekap dan tidak bersedekap berdampingan dalam barisan shalat berjamaah. Tidak pernah saya melihat kejadian antar peziarah yang mempersoalkan shalatnya bersedekap atau tidak bersedekap.

Ini berbeda seperti yang saya pernah dengar dari seorang saudara yang merasakan pengalaman yang kurang mengenakkan ketika dia shalat di sebuah masjid di Jakarta. Itu gara-gara shalatnya tak bersedekap, ia dipelototi oleh orang-orang di masjid tersebut. Bahkan yang menyedihkan pernah sampai diusir keluar dari sebuah masjid karena shalatnya yang tak bersedekap.

Padahal dalam dunia Fikih, tentang di mana meletakkan tangan ketika shalat (bersedekap) sendiri itu ada banyak perbedaan pendapat, ada Ulama Madzhab yang mengutamakan sedekapnya di bawah pusar, ada yang sedekapnya di atas pusar di bawah dada, ada pula sedekapnya di atas dada. Selama ini saya belum pernah pernah mendengar apalagi melihat orang shalat di Masjidil Haram diusir gara-gara shalatnya tak bersedekap.

Justru yang sering saya lihat adalah pengusiran terhadap peziarah oleh aparat polisi atau agamawan Saudi yang berjaga di depan makam Nabi karena para peziarah mengucapkan salam dan doa untuk Nabi Muhammad SAW menghadap makamnya, alasannya itu perbuatan syirik. Tetapi kalau ada peziarah yang foto selfie di depan makam Nabi SAW malah mereka biarkan.

Keragaman praktek keagamaan yang dibawa para peziarah di tanah suci adalah sebuah keniscayaan. Pihak Dinasti Saudi sendiri, yang telah menjadikan sekte Wahabi sebagai standar resmi praktek peribadatan di tanah suci, selama ini tak mampu menyeragamkan corak keagamaaan para peziarah tanah suci.

Sudah hampir satu abad praktek beragama di tanah suci dimonopoli sekte Wahabi. Sekte Wahabi mendapat gelontoran dana tak terbatas dari Dinasti Saudi, jutaan buku-buku dicetak dengan aneka bahasa dibagikan secara cuma-cuma kepada setiap para peziarah ke tanah suci, merekrut orang-orang dengan berbagai latar bangsa yang kemudian di tempatkan di beberapa titik demi “mengarahkan” para peziarah agar menerapkan sebagaimana praktek keagamaan yang diidealkan agamawan Wahabi. Tapi saya lihat upaya tersebut sia-sia belaka.

Para peziarah satu sama lain tetap asyik dengan corak keagamaan yang mereka bawa dari tanah airnya masing-masing, dan para peziarah tidak saling mengusik perbedaan corak keagamaanya satu sama lain.

Saya hanya sekadar mengingatkan, dua tanah suci Mekkah dan Madinah ini adalah milik umat Islam, bukan milik umat Islam di Saudi, bukan pula milik segelintir agamawan Wahabi. Apalagi milik dinasti Saudi. Yang saya tahu selama ini Dinasti Saudi selalu menggelari dirinya adalah Khadimul Haramain, pelayan dua tanah suci. Sebagai pelayan semestinya bersikap melayani, bukan menguasai apalagi menghakimi praktek keagamaan yang berbeda dengan dirinya.

Ketika melihat keragaman praktek ibadah di tanah suci yang bisa berdampingan, saya malah teringat isu kebencian sektarian di tanah air yang belakangan kembali ramai terjadi. mengapa sebagian umat Islam di Indonesia tiba-tiba gemar anti ini anti itu, bahkan sampai pada taraf mengusir sebuah kaum karena dipandang sesat, pedahal se-tanah air.

Di tanah suci meski para peziarah berasal dari tanah air yang berbeda, praktek keagamaannya tidak sama, langgam bacaan Al Qur’an-nya tidak sama, para peziarah tanah suci tidak pernah usil menghakimi para peziarah yang lain. Bahkan di antara para peziarah dari timur tengah ada yang bangsanya sedang berkonflik, tapi mereka tidak membawa api konflik permusuhan tersebut di tanah suci saat mereka bertemu. Para peziarah asal Kurdi berbaur tetap nyaman dengan bangsa Turki.

Kadang saya menduga, mereka yang jahil dan usil terhadap yang dianggap berbeda di tanah air, mungkin belum pernah ke tanah suci, belum pernah Umrah Haji, belum pernah berziarah ke Masjidil Haram Mekkah dan Nabawi.

Mereka yang masih bersikeras menyeragamkan keberagaman di tanah air harus berkaca apa yang telah dilakukan agamawan Wahabi di tanah suci. Sekte Wahabi di bawah Dinasti Saudi memang mampu mengubah bangunan-bangunan di tanah suci, tapi mereka terbukti tak mampu mengubah keragaman praktek keagamaan para peziarah di tanah suci. []

Iqbal Kholidi adalah Pemerhati Timur Tengah. Bisa ditemui di @iqbal__kholidi