“…..jadi selain oli mesin, yang harus diganti adalah oli CVT, kampas kopling, filter dan kampas rem belakang, dan estimasi harga ditambah biaya service sekitar sekian….”
Saya hanya dapat garuk garuk kepala saja melihat nominal angka yang tertera, tanpa dapat benar benar memahami, kenapa semua part itu harus diganti, dan ketidak tahuan saya akan mesin dan part-nya membuat saya mau tidak mau harus mengikuti saran dari mekanik tersebut.
Atau ketika seorang dokter memberikan penjelasan kepada pasien dan keluarganya, saya yakin bahwa sebagian besar pasien dan keluarganya tidak benar benar paham dengan apa yang disampaikan dokter. Yang mereka pahami adalah ketika jika mau sembuh dan selamat, maka jalan terbaiknya adalah mengikuti kata dokter, apalagi jika kemudian diikuti pernyataan template “Saya tidak bertanggung jawab jika terjadi sesuatu pada pasien tersebut”, tentu keluarga pasien akan dengan patuh mengikuti apapun saran dokter tersebut.
Ketidaktahuan akan sesuatu, ditambah minimnya sikap kritis, ternyata dapat menjadi peluang bagi orang lain untuk memanfaatkannya, sayangnya banyak dari mereka yang mengambil keuntungan secara pribadi, artinya ketidaktahuan atau kebodohan orang lain dieksploitasi sedemikian rupa untuk mendapatkan berbagai keuntungan, baik berupa materi, maupun penghormatan dan kekuasaan.
Menurut saya, penghormatan berlebih atas seseorang sehingga memunculkan relasi patron klien yang absolut, nir kritik, bahkan sampai melenyapkan kewarasan seseorang, bisa jadi akibat dari minimnya pengetahuan yang dibutuhkan untuk membuat analisa pembanding atas perilaku dari orang yang dihormati. Atau bisa jadi karena keadaan yang begitu “mendesak”, sehingga apapun yang dibutuhkan untuk keluar dari “keterdesakan” tadi akan diterima dengan penuh ketundukan, terlebih jika hal itu dilakukan atas nama agama, dan dibungkus dengan istilah istilah yang agamis, seperti keberkahan, karomah, syafaat, kualat, dll.
Ketika ada kelompok masyarakat yang berduyun duyun datang dari berbagai kota untuk rela antri seharian demi mendapatkan “berkah air ajaib” dari Ponari misalnya, maka secara sosiologis dapat dipahami bahwa mereka adalah orang-orang yang sudah sangat terdesak dan putus asa. Mereka mungkin sudah melakukan ikhtiar berobat ke sana ke mari namun tak kunjung membuahkan hasil yang baik, ditambah dengan minimnya pengetahuan mereka akan sistem pengobatan yang ilmiah dan rasional. Dengan keberkahan doa dari Ponari yang diyakini, mereka berharap Tuhan berkenan menyembuhkan penyakit mereka.
Di tempat yang berbeda, ada pula sekelompok masyarakat yang juga dengan penuh kesadaran, mau melakukan ritual berhari hari bahkan berminggu minggu di padepokan Dimas kanjeng taat pribadi untuk mendapatkan “Karomah” berupa kekayaan secara instant, dan yang mengejutkan, ternyata pengikut Dimas Kanjeng bukan hanya dari golongan masyarakat awam, namun adapula dari kalangan yang dianggap berpendidikan, yang mereka semua telah tertipu oleh nafsu dan ketidaktahuan mereka akan ilmu “Karomah”, sehingga mau dan yakin untuk melakukan hal hal yang bertentangan dengan akal sehat.
Dari beberapa kejadian tersebut, bisa disimpulkan bahwa salah satu relasi yang tidak baik adalah ketika kita memandang diri kita lebih rendah dibandingkan orang lain, sehingga apapun yang dilakukan oleh orang-orang yang kita anggap lebih tinggi derajatnya akan kita terima bulat bulat tanpa keraguan.
Bagi sebagian orang, dapat bermujalasah (menghadiri majelis) apalagi sampai kenal secara personal dengan para habaib dianggap sebagai suatu kehormatan yang luar biasa. Ini karena ada anggapan sebagian orang bahwa para habaib adalah orang-orang mulia dan pasti masuk surga, sedangkan yang bukan habib akan mengalami rangkaian kesulitan yang dahsyat kelak di akhirat, maka dengan mengenal para habib ada harapan bahwa habib tersebut kelak di akhirat akan memberikan jaminan keselamatan berupa syafa’at atau pertolongan.
Bahkan seandainya para habaib tersebut melakukan hal hal yang tidak baik dan tidak terpuji, maka para pecinta dan pemujanya akan melakukan pembiaran dan pemakluman atas hal tersebut, seraya meyakini bahwa apapun yang habib lakukan pasti akan mendapatkan ampunan dari Tuhan.
Doktrin ini sudah sedemikan rupa diyakini oleh sebagian muslim terutama di Indonesia, sehingga seorang habib yang bodohpun, tidak memahami ilmu agama, tidak dapat membaca kitab sumber ilmu agama, ceramahnya hanya berisi provokasi dan caci maki, tetap memiliki banyak pengikut fanatik.
Sebagian lagi sangat terkagum kagum dengan ceramah seseorang yang dianggap sebagai Wali atau kekasih Allah, yang mampu berbahasa Suryani, bahkan mampu berbicara dengan hujan, semut, malaikat dan orang orang yang telah mati. Padahal jika kita cermati lebih seksama, maka kita akan menemukan banyak sekali kejanggalan kejanggalan dalam ucapan-uacapannya, meskipun bagi awam hal itu nampaklah mempesona.
Sebagai Muslim, tentu kita pernah mendengar cerita para Nabi dan keistimewaan yang mereka miliki. Keistimewaan atau mukjizat tersebut adalah suatau perkara luar biasa yang diberikan Tuhan untuk melawan musuhnya, sekaligus membuktikan dirinya sebagai pribadi pilihan Tuhan. Ketika ada seorang manusia modern yang diklaim dapat mengerti bahasa semut dan binatang lainnya, yang dulu hanya dimiliki oleh Nabi Sulaiman, secara tidak langsung ingin dianggap memiliki kedudukan yang Istimewa di sisi Tuhan sebagaimana Nabi Sulaiman. Di tengah kecanggihan ilmu teknologi, hal ini sudah seperti kebohongan yang jelas.
Kejadian-kejadian seperti ini akan terjadi sampai kiamat datang. Tentu dengan bungkus yang berubah-ubah. Jika saja semua manusia bisa kritis. Kebodohan dan pembodohan mungkin akan sulit menemukan jalannya kembali.