Coba Cek Google, Kata Kunci Ajaran islam Berisi Konten Negatif?

Coba Cek Google, Kata Kunci Ajaran islam Berisi Konten Negatif?

Ketika Google dan internet dipenunuhi konten negatif

Coba Cek Google, Kata Kunci Ajaran islam Berisi Konten Negatif?
Hasil pencarian kata kunci Jihad di google menunjukkan fakta menarik, ajaran islam yang berisi konten positif kalah jauh dengan konten negatif yang berisi hoaks dan ajakan jihad sebagai perang. Pict by Islami.co

Jika kita mencari kata kunci tertentu di google tentang ajaran Islam, seperti kata “jihad”, “Sholat”, Hijrah”, “Iman”, “Syahadat” dan sebagainya, akan bermunculan konten negatif yang menampilkan wajah agama dengan keras dan garang. Di saat yang sama, para penebar kebencian kerap mencaci maki dan memberi label liberal, sesat dan munafik kepada tokoh-tokoh Muslim moderat seperti Kiai Said Aqil Siradj, Buya Syafi’i Ma’arif, dan Prof. Quraish Shihab.

Terungkapnya kasus pabrik hoax semacam kelompok Saracen dan the Family Muslim Cyber Army (MCA)makin menunjukkan bahwa gerakan politik identitas dan paham intoleransi dan radikalisme telah mengambil panggung di media sosial. Ketika internet menawarkan akses yang relatif sederhana dan kini jangkauannya sudah sangat luas, kelompok intoleran menjadikannya sebagai penghubung untuk menyebarkan konten-konten kebencian. Beragam cara digunakan, termasuk memanfaatkan berita bohong dan propaganda kebencian.

Arus deras informasi bohong dan narasi kebencian ini sungguh sampai pada titik yang membentur akal sehat dan mengubur hati nurani. Ruang siber sebagai lingkungan yang terbuka telah menjadi tempat istimewa bagi kelompok intoleran untuk menemukan sumber daya baru.

Biasanya, mereka membuat situs di internet dengan berkedok situs berita atau portal tentang agama. Tulisan-tulisannya berisi konten atau narasi ajakan membenci agama atau kelompok lain yang berbeda.

Kita tahu, kecenderungan baru umat Islam Indonesia adalah menjadi konsumen isu-isu keagamaan melalui media sosial. Dakwah virtual bagi sebagian orang menjadi sumber pengetahuan baru, malahan ada yang menjadikannya rujukan utama. Padahal, pengetahuan yang lahir dari monologi semacam ini tentu cenderung bias karena tak ada pertukaran informasi secara seimbang dan adil.

Pada akhirnya, muncul bumbu-bumbu ideologis dan fanatisme baru. Pengaruhnya sangat luas, termasuk di kalangan teman-teman Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah banyak yang berani menyeberang dan keluar dari identitas kultural dan politik keormasannya.

Semua ini adalah dampak dari pesatnya kemajuan teknologi yang membuat pelbagai macam informasi deras mengalir masuk. Garis-garis antara berita, hiburan, iklan, dan propaganda menjadi kabur. Publik susah untuk mendefinisikan dan menginterpretasikan setiap informasi yang diperoleh. Apalagi masyarakat tidak begitu peduli dengan akurasi media. Kita bisa dengan mudah membaurkan antara fakta dan opini.Dampaknya cukup massif, yaitu menimbulkan konflik yang tak hanya terjadi di dunia maya, melainkan juga berpotensi ke dunia nyata.

Konten negatif yang menyebar di media sosial juga berdampak besar pada pola pikir maupun sikap generasi milenial. Seorang remaja yang sering terpapar konten negatif cenderung memiliki sikap intoleran terhadap orang-orang dengan latar belakang berbeda. Hal tersebut tentu mengkhawatirkan, mengingat generasi muda telah menjadikan internet sebagai rujukan utama dalam mencari informasi.

Dalam konteks tersebut, Wahid Foundation dalam modul menjadi pembuat konten toleransi (2018) memberi rekomendasiagar mengisi ruang media sosial dengan pesan-pesan positif secara konsisten. Harus ada upaya lintas sektoral untuk membanjiri internet dan media sosial dengan konten-konten positif. Hal tersebut perlu dilakukan sebagai counter terhadap maraknya penyebaran konten negatif. Anak muda mesti terlibat memproduksi dan membagikan konten positif secara online. Karena memperkuat opini dan narasi alternatif oleh generasi muda merupakan cara yang efektif dalam melawan ujaran kebencian.

Sudah saatnya bagi kita umat muslim untuk tidak sekadar menjadi konsumen, melainkan juga menjadi produsen konten positif. Semakin banyak generasi milenial yang menjadi content creator dengan memproduksi artikel, meme, dan video positif, semakin banyak pula alternatif konten yang lebih luas sehingga pengguna media sosial bisa bereaksi lebih kritis terhadap pesan-pesan intoleran.

Semua itu berawal dari suatu kesadaran, bahwatantangan keberagamaan kita saat ini, dan mungkin di masa mendatang, bukan hanya sebatas doktrinal, melainkan tantangan yang bersifat empirik, yaitu menyebarkan konten positif di media sosial.