Penetrasi pengguna internet di Indonesia beberapa tahun belakangan ini memang fantastis, menurut laporan yang di rilis oleh Statista, tahun 2015 pengguna internet di Indonesia mencapai 93.4 juta orang atau mencapai 37,8 % dari seluruh populasi penduduk Indonesia sudah terkoneksi dengan internet. Pengguna internet Indonesia akan terus bertambah dan diprediksikan tahun 2019 akan mencapai 133.5 juta jiwa.
Selain jumlah pengguna internet yang besar, tingkat konsumsi pengguna internet Indonesia juga termasuk tinggi, hasil survey yang dilakukan oleh Alvara Research Center tahun 2015 menyebutkan pengguna internet Indonesia menghabiskan waktu rata-rata 3 – 4 jam dalam sehari dalam mengkakses internet. Akses internet yang tinggi itu sebagian besar digunakan untuk akses browsing, social media, dan instant messaging.
Banyak yang mengatakan bahwa dalam era internet ini informasi menjadi semakin tidak terbatas, sekarang kita masuk di era informasi dimana selain informasi yang sangat melimpah, peredaran dan perputaran informasi semakin cepat dan dinamis. Informasi datang dan pergi dengan begitu cepatnya.
Menyikapi fenomena ini mesin pencari raksaa Google “harus mengatur” search engine nya dan Facebook mengkastemisasi newsfeednya agar sesuai dengan karakter dan interest setiap akun Facebook.
Cobalah Anda bersama teman-teman Anda memasukkan kata kunci yang sama di mesin pencari Google, maka Anda dan masing-masing teman Anda akan mendapatkan hasil pencarian yang berbeda. Begitu juga coba amati Facebook Anda, Anda akan tersadar bahwa yang ditampilkan di newsfeed Anda akan cenderung memiliki topik yang sama dari teman yang itu-itu saja.
Kenapa bisa demikian? Karena Google dan Facebook secara “diam-diam” telah mengamati dan mempelajari perilaku kita ketika berselancar di internet dan social media. Ketika kita sering posting terkait kuliner maka Facebook kita akan banyak dihiasi oleh kuliner. Jika kita sering mencari perihal kegamaan dari paham tertentu maka mesin pencari Google maka akan secara otomatis Google menampilkan hasil yang sesuai dengan paham keagamaan yang sering kita cari.
Niat baik dari Google dan Facebook tadi dalam jangka pendek mungkin bagus, karena informasi-informasi yang sampai kepada kita adalah informasi yang relevan dengan kepentingan dan kebutuhan kita. Namun dalam jangka panjang secara tidak sadar informasi yang sampai kepada kita hanya itu-itu saja.
Kita terjebak kepada frame informasi dan pemikiran monoton dan monolitik. Kita pada akhirnya kehilangan keragaman informasi yang sebetulnya berguna untuk memperkaya wawasan kita.Konsekwensi logis dari fenomena ini adalah semakin terbelahnya publik akibat dari perbedaan-perbedaan informasi yang kita peroleh.
Samuel Huntington tahun 1992 pernah mengatakan bahwa dunia akan menghadapi fenomena Clash of Civilization setelah perang dingin usai, teori itu mengatakan bahwa identitas budaya dan agama seseorang akan menjadi sumber konflik utama di dunia di masa depan. Meski dikritik banyak orang, teori Huntington tersebut nampak ada benarnya juga ketika kita melihat berbagai konflik yang terjadi di dunia saat ini.
Teori Huntington itu muncul sebelum era internet dan social media mewabah didunia, sehingga tesis itu merespon fenomena global. Namun ketika saat ini internet dan social media tidak bisa kita pisahkan dari kehidupan sehari-hari, benturan-benturan peradaban justru terjadi dalam skala dan ruang lingkup yang kecil, bukan lagi benturan antar bangsa atau antara peradaban, tapi yang terjadi adalah benturan antar kelompok masyarakat atau bahkan antar individu. Saya kemudian menyebutnya Clash of “We”.
Masyarakat menjadi semakin terbelah antara aku atau kamu, antara kami atau mereka. Perdebatan tidak produktif semakin kerap terjadi, perdebatan itu bukan lagi untuk mencari yang benar atau salah tapi lebih menjurus pada menang-kalah. Kita pada akhirnya hanya akan mencari informasi yang cocok dengan keyakinan kita dan kita akan merasa puas apabila menemukan informasi yang mendukung argumentasi kita dalam mengalahkan pihak “lawan” meski informasi itu tidak jelas sumber dari mana.
Lalu apa yang harus kita lakukan dalam mengurangi dampak clash of “we” ini?
Pertama dan yang terpenting adalah perlu adanya kedewasaan diri dalam mencerna setiap informasi yang kita terima, selalu gunakan akal sehat, jangan mudah terseret dalam arus informasi yang muncul.
Kedua, biasakan selalu cross check setiap informasi yang kita terima, informasi terpercaya adalah apabila informasi sudah diberitakan oleh media-media yang kredibel.
Ketiga, yang terakhir jaga dan batasi jempol kita untuk tidak mudah menshare setiap informasi baik di social media atau grup-grup instant messaging yang kita ikuti.