Ciuman di Siang Hari Ramadhan, Apakah Membatalkan Puasa?

Ciuman di Siang Hari Ramadhan, Apakah Membatalkan Puasa?

Ciuman di siang hari Ramadhan dengan istri, apakah dapat membatalkan puasa?

Ciuman di Siang Hari Ramadhan, Apakah Membatalkan Puasa?

Para ulama sepakat tentang keabsahan puasa seseorang yang dicium atau mencium dan mencumbui istrinya yang tidak membuat spermanya keluar akibat rangsangan yang dirasakannya. Sedangkan bila hal tersebut membuatnya terangsang dan mengakibatkan spermanya keluar maka puasanya menjadi batal.

Adapun riwayat dari beberapa sahabat Nabi yang melarang melakukan hal demikian adalah lantaran mempertimbangkan terjerumusnya seseorang pada melakukan yang halal dalam kondisi haram, yakni berhubungan dengan istri di siang Ramadhan.

Di antara pendapat sahabat dan ulama yang bisa dijadikan landasan keabsahan puasa orang mencium istrinya, atau sebaliknya, selama tidak keluar sperma, sebagai berikut:

Pertama, Umar Ibn al-Khatthab radhiyallâhu ‘anhu:

إن عاتكة ابنة زيد بن عمرو بن نفيل امرأة عمر بن الخطاب كانت تقبل رأس عمر بن الخطاب وهو صائم فلا

ينهاها

Sesungguhnya ‘Atikah bint Zaid Ibn ‘Amr Ibn Nufail, istri Umar Ibn al-Khatthab mencium kepada Umar Ibn al-Khatthab ketika ia sedang berpuasa, dan Umar tidak mencegahnya” (Malik Ibn Anas, al-Muwattha’ bi Riwâyah al-Laytsî, vol.1, hal.292, no.643)

Kedua, Ali Ibn Abi Thalib karramallâhu wajhah;

عن علي، قال: لا بأس بالقبلة للصائم

Dari Ali, ia berkata bahwa tidak mengapa orang yang berpuasa melakukan ciuman

(Ibn Abi Syaibah, al-Mushannaf, vol.3, hal.59, no.9458)

Ketiga, Al-Imam Abu al-Hasan Ali Ibn Muhammad Ibn Muhammad Ibn Habib al-Mawardi al-Bashri (w.450H);

أما إن وطئ دون الفرج أو قبل أو باشر فلم ينزل فهو على صومه لا قضاء عليه ولا كفارة، وإن أنزل فقد أفطر ولزمه القضاء إجماعا

Suami yang mencumbui istrinya yang tidak sampai pada berhubungan, ataupun melakukan ciuman dan bermesraan tanpa ada sperma yang keluar, maka puasanya tetap sah, tidak ada yang perlu diqadha, apalagi kafarat. Namun jika spermanya keluar, maka puasanya batal dan wajib diqadha berdasarkan ijma‘” (Al-Mawardi, Al-Hawi al-Kabir Syarh Mukhtashar al-Muzani, vol.3, hal.945)