Menutup akhir tahun 2021, Nahdlatul Ulama (NU) mengadakan hajat besar yaitu Muktamar yang ke-34 di Lampung. Pada Muktamar kali ini banyak agenda yang akan dibicarakan salah satunya adalah tentang kemandirian NU. Di tengah krisis ekonomi akibat pandemi covid-19, perbincangan tentang kemandirian menjadi perhatian oleh segenap pihak. Pasalnya jika pemulihan ekonomi hanya mengandalkan pemerintah, maka dana pemerintah tidak cukup untuk memulihkan perekonomian jutaan orang yang terdampak pandemi.
Oleh sebab itu, NU sebagai ormas besar di Indonesia mengambil tema kemandirian sebagai upaya itikad dalam pemulihan ekonomi nasional. NU memiliki posisi dan peran strategis dalam proses pemulihan karena jaringannya menyebar ke masyarakat luas lintas dimensi kelas sosial.
Konsep kemandirian NU merupakan bentuk aksi lanjutan dari program Koin NU yang sudah berjalan selama 4 tahun terakhir. Koin NU sendiri merupakan uang kas NU yang berasal dari warga nahdliyin sebagai bentuk dukungan penyelenggaraan kegiatan-kegiatan NU. Dan ini tanpa dipaksa alias sukarela. Dari segi istilah Koin NU singkatan dari Kotak Infaq. Istilah ini juga dapat dipahami sebagai mata uang jenis koin dengan pecahan 100, 200, 500, maupun 1000 rupiah.
Koin tersebut akan dimasukkan pada kaleng (kotak infaq) yang telah disediakan oleh pengurus MWC di masing-masing desa. Dari uang ini nantinya dapat digunakan untuk dana kegiatan NU seperti lailatul ijtima’ dan agenda bulanan lainnya. Dari uang ini juga dapat digunakan untuk membantu pembangunan masjid, perkantoran NU, pendidikan, dan juga dana sosial untuk membantu kemandiran umat.
Dalam istilah lain gerakan Koin NU disebut dengan filantropi atau kedermawanan. Istilah ini tidak asing lagi ditelinga masyarakat muslim Indonesia. Sebelum NU memiliki program Koin NU telah ada lembaga filantropi lainnya seperti Dompet Dhuafa yang hadir pada tahun 2003an, lembaga Amil Zakat yang dikelola oleh masing-masing lembaga keagamaan seperti ormas Islam atau masjid, Pos Keadilan Peduli Umat milik Partai Keadilan (saat ini PKS) tahun 1999, dan lembaga lainnya.
Secara umum munculnya lembaga filantropi tersebut disebabkan karena liberalisasi ekonomi yang mendorong terciptanya iklim kapitalis di Indonesia. Dampaknya adalah kesenjangan sosial, demokratisasi tidak berjalan, dan isu kemanusiaan lainnya. Gejala seperti ini nampak ketika Indonesia memasuki dekade 70-an yang pada saat itu ditandai dengan paradigma developmentalisme Orde Baru sebagai ideologi pembangunan nasional. Melihat akan terjadinya potensi kesenjangan sosial-ekonomi, para pemikir sosial waktu itu mengkritik kebijakan pemerintah Orde Baru. Maka dari sini lahir konsep lembaga swadaya masyarakat (LSM) sebagai gerakan pemberdayaan masyarakat.
Pada tahun-tahun itu NU sebenarnya telah memberi respon untuk menjadikan organisasi NU sebagai LSM. Adalah Gus Dur yang dengan ide ‘gilanya’ memberi terobosan untuk membentuk lembaga Lakpesdam sebagai perwujudan dari ‘LSM’nya NU kala itu. Meskipun tidak ada program Koin NU, namun embrio NU sebagai bagian dari filantropi Islam di Indonesia telah terwujud.
Mula-mula Gus Dur tidak sepakat dengan paradigma pembangunan negara yang cenderung mendukung kapitalisme global. Pada saat itu Gus Dur melihat potensi dalam yang dimiliki oleh NU sebagai bagian dari gerakan pemberdayaan masyarakat daerah. Dengan memanfaatkan jaringan lokal dan nasional, Gus Dur berencana untuk membentuk sebuah lembaga yang bertujuan untuk memberdayakan masyarakat.
Sebagai kritikus sosial, Gus Dur berpandangan bahwa perlu untuk melawan paradigma pembangunan negara yang cenderung top-down. Pada saat itu lawan dari ideologi developmentalimse adalah empowerment. Meski belum familiar, namun karena bacaan dan pengalamaan Gus Dur yang tinggi sehingga mampu menjadikan NU sebagai bagian dari organisasi pemberdayaan (empowerment) masyarakat. Selain itu, keinginan Gus Dur dalam pemberdayaan masyarakat juga sebagai bagian dari pengembangan sumber daya manusia.
Keinginan Gus Dur menjadikan NU sebagai bagian dari gerakan filantropi dan LSM semakin menunjukkan wujudnya. Meskipun gerakan Koin NU masih baru jika dibandingkan dengan Prangkonya Muhammadiyah atau Dompet Dhuafa, namun langkah tersebut sangat tepat untuk keberlangsungan roda kegiatan NU. Istilahnya, ‘mending telat daripada tidak sama sekali’.
Apabila ke depannya program Koin NU yang dikelola oleh NU-Care LAZIZNU bekerjasama dengan Lakpesdam NU untuk program pemberdayaan masyarakat, maka bukan tidak mungkin NU akan kuat secara kelembagaan, keilmuan dan ekonomi. Lakpesdam bertugas meriset kurikulum yang dibutuhkan oleh pendidikan dan uang dari Koin NU dimanfaatkan untuk membangun sarana pendidikan mulai tingkat dasar hingga perguruan tinggi serta pembiayaan kegiatan, maka ini merupakan aset besar NU untuk mencetak kader yang tangguh, berilmu, dan berkontribusi untuk umat, bangsa dan negara.