iapakah yang patut disebut ulama?, tanya seorang santri. Aku balik tanya: mengapa engkau menanyakan hal ini?. Dia mengatakan : karena belakangan ini banyak orang yang memakai jubah dan sorban.
Dia ceramah di mana-mana seraya dengan suara lantang merendahkan dan mencaci maki banyak orang sambil mengutip hadits sebagai dasar legitimati ucapan-ucapannya, dan seterusnya. Apakah memang demikian ulama itu?.
Aku mengatakan ada kitab yang menjelaskan hal ini. Yaitu kitab “an-Nashaih al-Diniyyah wal Washaya al- Imaniyyah”, karya al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad. Di dalamnya disebutkan :
فمن علامات العالم : ان يكون خاشعا متواضعا خاءفا مشفقا من خشية الله زاهدا فى الدنيا قانعا باليسير منها منفقا الفاضل عن حاجته مما فى يده. ناصحاً لعباد الله. رحيما بهم أمرا بالمعروف ناهيا عن المنكر. مسارعا فى الخيرات ملا زما للعبادات . ووقار واسع الصدر لا متكبرا ولا طامعا فى الناس ولا حريصا على الدنيا ولا جامعا للمال ولا مانعا له عن حقه ولا فظا ولا غليظا ولا مماريا ولا مخاصما ولا قاسيا ولا ضيق الصدر ولا مخادعا ولا غاشا ولا مقدما للاغنياء على الفقراء ولا مترددا الى السلاطين .
وبالجملة فيكون متصفا بجميع ما يحثه عليه العلم ويامره به من الاخلاق المحمودة والاعمال الصالحة مجانبا لكل ما سمعته العلم عنه من الاخلاق والاعمال المذمومة ….(النصاءح الدينية ص ٢٢).
Tanda/ciri orang Alim (ulama) antara lain : pembawaannya tenang, rendah hati, takut kepada Allah, bersahaja, “nrimo”, suka sedekah, membimbing umat, menyayangi mereka, selalu mengajak kebaikan dan menghindari keburukan/maksiat, bersegera dalam kebaikan, senang beribadah, lapang dada, lembut hati, tidak sombong, tidak berharap pada pemberian orang, tidak ambisi kemegahan dan jabatan, tidak suka menumpuk-numpuk harta, tidak keras hati, tidak kasar, tidak suka pamer, tidak memusuhi dan membenci orang, tidak picik, tidak menipu, tidak licik, tidak mendahulukan orang kaya daripada orang miskin, tidak sering mengunjungi penjabat pemerintahan/penguasa.
Singkatnya Ulama adalah orang-orang yang berpengetahuan yang luas dan mendalam, yg ilmu itu mengantarkannya kepada “khasy-yatullah”, berbudi pekerti luhur dan beramal saleh serta menghindari akhlak dan amal yang tercela”. (An-Nashaih al-Diniyyah, hlm 23).