Laksmi terus meminta maaf. Dengan sekuat tenaga, dia mencoba mencegah istrinya supaya tidak pergi dari rumah. Laksmi tahu bahwa Gayatri, sang istri, sangat malu ketika suaminya membagikan pembalut bersih kepadanya dan para tetangganya.
“Merawatmu sudah menjadi obsesiku,” kata Laksmi kepada istrinya. “Tapi terkadang obsesi kita tentang kepedulian membuat kita lupa untuk peduli,” lanjutnya.
Cuplikan adegan dan dialog di atas berasal dari film India berjudul Padman (2018). Film biopik tersebut menceritakan tentang perjuangan seorang lelaki yang memproduksi pembalut murah untuk para perempuan di India. Dia khawatir dengan kesehatan reproduksi para perempuan di sana, setelah melihat istrinya (dan mayoritas perempuan India lainnya) selalu memakai kain kotor saat haid.
Sayangnya, masyarakat India sangat menabukan pembicaraan seputar haid. Bahkan, meski pembicaraan itu dilakukan oleh sesama perempuan sekalipun. Apalagi sampai ada seorang lelaki mengurusinya sampai sejauh itu. Dari situlah konflik Laksmi dan Gayatri muncul.
Pada bagian ini, sebenarnya ada satu nilai yang bisa diambil dan cukup dekat dengan berbagai aspek kehidupan kita. Yaitu perihal cinta dan mencintai.
Kasus Laksmi yang terlampau obsesif mencintai istrinya, sehingga ia lupa bahwa cara-cara yang ditempuhnya telah menyakiti sang istri, hanyalah contoh kecil dari konsep besar cinta. Tapi pola “mencintai mati-matian dan berujung menyakiti” ini sepertinya hampir selalu berlaku di banyak hal.
Cinta obsesif yang –alih-alih memberi afeksi, dan sebaliknya bersifat– destruktif ini tidak akan berdampak besar jika hanya melibatkan dua sejoli seperti Laksmi dan Gayatri saja. Tapi coba bayangkan, jika cinta semacam ini diterapkan oleh jutaan umat beragama. Apa yang terjadi jika ada sekelompok orang mencintai agamanya dengan membabi buta?
Dua bulan lalu, masih di tanah India, seorang Muslim penjual kari daging sapi didatangi oleh sekelompok massa. Pria bernama Shaukat Ali itu diserang, dipukuli dengan tongkat, dan dipaksa berlutut di lumpur. Ali tidak hanya menerima luka fisik. Sekelompok massa beragama Hindu itu juga mencoba menyakiti keyakinannya. Ali disuruh memakan daging babi. Ia dipaksa untuk mengunyah dan menelannya.
Ali bukanlah kriminal. Sekelompok massa yang mengeroyoknya juga tidak bertindak tanpa sebab. Aksi main hakim sendiri tersebut dipicu oleh kekesalan sebagian umat Hindu terhadap para Muslim penjual daging sapi, hewan yang disucikan dalam Hindu.
Tapi sebenarnya sapi hanyalah ujung masalah saja. Toh Ali sudah berpuluh tahun berjualan di warung kecilnya tapi tidak pernah terjadi apa-apa. Pangkal pertikiaian ini adalah sentimen primordial. Ya, aksi ini adalah rangkaian dari domino konflik agama yang terjadi di India beberapa tahun belakangan.
Berbagai aksi kekerasan berbasis SARA semacam itu telah lama menjamur di sana. Angka kejahatan terhadap minoritas Muslim semakin meningkat sejak berkuasanya Bharatiya Janata Party (BJP). Partai ultra-nasionalis Hindu tersebut mulai berkuasa sejak tahun 2014.
Di bawah komando PM Narendra Modi, BJP sangat masif menggulirkan politik identitas demi mendulang suara. Para kader partai di bawah sangat mahir mengobarkan semangat “bela agama” mereka dengan retorika anti-muslim yang berapi-api.
Bak sarapan bubur di pagi yang cerah, isu agama sangat mudah ditelan oleh masyarakat akar rumput tanpa merasa curiga. Para elite partai menyuarakan jargon “rebut kembali India!” dan isu-isu berisi dugaan bahwa orang Islam akan menyabut akar “identitas Hindu” bangsa mereka.
Para elite mendapat suara. Masyarakat Hindu India bersemangat membela agama dengan mati-matian. Masyarakat Islam India pun menjadi korban dalam kawin-mawin agama dan politik ini. Dalam empat tahun terakhir saja, sudah ada 44 korban meninggal akibat persekusi dan kekerasan oleh ekstremis Hindu di India. Sebagaian besarnya beragama Islam.
Fenomena ini mirip dengan perlakuan sekelompok masyarakat Buddha dan para biksu yang berada di lingkaran kekuasaan Myanmar. Mereka terus meneror minoritas Muslim Rohingya di daerah selatan. Sang pemimpin dari kebencian ini, Ashin Wirathu, sangat gemar menyebarkan ketakutan dengan ancaman etnis Rohingya akan merebut Myanmar dan “identitas Buddha” mereka. Hasilnya, ribuan Muslim Rohingya meninggal akibat penyerangan, sedangkan ratusan ribu lainnya mengungsi.
Di Indonesia, kita mempunyai riwayat sendiri dalam kekerasan semacam ini. Hanya saja korban di sini bukanlah orang-orang Islam, melainkan minoritas yang rentan. Sama dengan kasus-kasus di negara lain. Jika penebar teror di India ada ekstremis Hindu, di Myanmar ada ekstremis Buddha, di sini yang sering berulah adalah ekstremis Islam.
Kita sering mendengar berita pengeboman gereja, dengan korban meninggal dan terluka sekian. Belum lagi penyerangan hingga pelarangan pendirian rumah ibadah, dan masih banyak lagi. Dalih untuk menghalalkan kekerasan berbasis SARA ini tidak akan jauh-jauh dari jargon, “membela agama Allah”, “memerangi musuh Islam”, dan kalimat pseudo-cinta atas nama agama lainnya.
Terlepas dari campur tangan politik, ideologi, dan penafsiran atas teks, kita bisa menarik satu persamaan dari para ekstremis di tiga negara tersebut, yaitu atas dasar mencintai agama. Tapi sayangnya, cinta mereka sangat obsesif, mati-matian, dan membabi buta. Padahal melalui jalan teror dan kekerasan seperti itu, bukan cinta-kasih yang akan mereka dapat, melainkan citra buruk yang akan menggerogoti agama mereka dari dalam.
Dari berbagai peristiwa di atas, coba bandingan dengan para Banser dari NU yang menjaga gereja. Mereka membuat orang lain nyaman saat beribadah. Atau sekelompok masyarakat Hindu di Bali yang sabar menghadapi seorang turis asing yang meneriaki nama Yesus di lingkungan Pura mereka. Tidak ada amarah di sana, apalagi pemukulan atau pembunuhan. Atau ketika sekelompok masyarakat Buddha di Myanmar yang menjaga orang-orang Muslim menjalankan salat taraweh di saat negara mereka melarangnya.
Mereka adalah orang-orang yang mencintai agamanya dengan asyik. Mereka tetap berada di jalur imannya, tetap cinta dengan agamanya, tanpa harus menyerang pemeluk agama lain atau menganggapnya ancaman.
Mohammad Pandu, penulis adalah ahli sufi, suka film. Aktif di komunitas Gusdurian Jogja.