Konon, cintalah yang telah melahirkan kisah Seribu Satu Malam yang masyhur itu. Cintanya Raja Syahriar, seorang penguasa di negeri Bagdad, yang dikhianati permaisurinya sendiri.
Syahdan, suatu malam ia mendapati permaisurinya tidur seranjang dengan seorang budaknya. Ia murka lalu membunuh keduanya dengan sadis.
Tapi, tak lega. Ia ingin membunuh lebih banyak lagi perempuan, sosok yang dianggap tak beda dengan permaisuri yang dulu dicintainya. Setiap perempuan yang disediakan akan dikawini, hidup bersamanya semalam, lantas menghukum mati keesokan harinya.
Dan, itulah yang terjadi hampir selama tiga tahun. Seratus gadis tewas! Para perempuan tercekam ketakutan. Para ibu menangis. Para orang tua melarikan anak-anak mereka. Hingga akhirnya, sang Raja bertemu Syahrazad. Syahrazad penulis kisah Seribu Satu Malam itu.
Mengapa cinta melahirkan Raja Syahriar yang sadistik? Padahal, kita yakin cinta melahirkan sosok yang lembut, suci, saling memberi, menerima, dan memaafkan?
Di sinilah bedanya antara cinta yang tak dewasa dan yang matang. Memang pada cinta yang tak dewasa, ada kesatuan: kesatuan simbiotik. Dan sadisme adalah salah satu bentuk dari peleburan simbiotik itu.
Pada sadisme, tindakan mengeksploitasi, menghina, menyakiti, dan membunuh adalah cara mencapai kesatuan dan eksistensi diri. Dan Syahriar cukup sempurna memerankan ini. Dengan membunuh seratus gadis, Syahriar merealisasikan cintanya. Mereka adalah obyek cinta dan kebutuhan Syahriar pada yang lain, yang terpisah saat perselingkuhan terjadi. Ia tetap berusaha menjadikan yang lain sebagai dirinya sendiri.
Cinta yang melahirkan sadisme tak hanya dilakukan Raja Syahriar, legenda manusia dari ratusan tahun silam. Sekarang ini, di sini, seperti rol sejarah yang diputar kembali, cinta pun melahirkan sadisme.
Ya, atas nama cinta kepada negara, sekelompok sipil tega memukul, menyakiti, dan merusak orang lain. Ada yang dianggap tak cinta lagi kepada negara lantaran menolak operasi militer di Aceh, daerah yang bagi mereka harus dipertahankan dalam NKRI.
Sah saja mereka menyebutnya sebagai realisasi cinta. Tapi, ini bukan cinta yang matang. Ini cinta yang tidak dewasa. Cinta yang matang adalah kesatuan pada sesuatu dalam kondisi yang saling mempertahankan integritas dan individualitas masing-masing. Bukan saling menafikan dan meruntuhkan satu sama lain.
Dalam cinta yang dewasa, ada perhatian, tanggung jawab, penghargaan dan pemahaman. Ada perbuatan aktif yang dilakukan secara sukarela demi sesuatu yang dicintai; kesadaran yang mendalam untuk melihat sesuatu sebagaimana adanya sembari menyadari keunikan yang ada dalam diri; juga pemahaman untuk mengerti sesuatu yang dicintai itu hingga pada inti persoalan.
Singkatnya, cinta tak pernah lahir dari dominasi, pemaksaan, apalagi kekerasan. Sebab, l’amour est l’enfant de liberté, cinta adalah anak kandung kebebasan.
Syir’ah 19