Oleh: Ibnu Syaerozi
Tuhanku, jika aku menyembah-Mu karena takut akan neraka bakarlah aku di neraka, dan jika aku menyembah-Mu karena mengharapkan surga buanglah aku dari sana. Namun jika aku menyembah-Mu karena Engkau semata maka jangan tolak aku dari kecantikan abadi-Mu (Rabi’ah al-Adawiyah)
Semenjak pertama kali manusia menghembuskan nafasnya, oleh kedua orang tuanya, pendidikan agama mulai diajarkan kepada jabang bayi. Dalam Islam, janin yang baru keluar dari rahim ibu dianjurkan agar segera dilantunkan azan pada telinga kanannya dan iqomat pada telinga kirinya.
Kalimat azan yang diawali dengan kalimat-kalimat pengagungan kepada Allah, kemudian dikuti dengan persaksian bahwa tiada Tuhan selain Dia dan Muhammad adalah utusan-Nya, dan berikutnya adalah ajakan menuju penyembahan-penyembahan kepada-Nya demi meraih kebahagiaan dunia dan akhirat, merupakan pendidikan agama paling dini yang diajarkan kepada seorang muslim.
Doktrin “tiada Tuhan selain Allah” merupakan peniscayaan bahwa tiada satu pun materi yang berhak disembah, dita’ati, dan diagungkan kecuali Dia. Konsekuensinya, segala ibadah dengan ragam bentuk dan caranya adalah media penghambaan manusia sebagai makhluk untuk meraih ridha Sang Khalik, bukan sekadar menuntut ganjaran pahala dan menghindar dari siksa-Nya.
Ini persis seperti orang yang mencintai orang lain sepenuh hati, maka apa pun tindakan orang tersebut dalam pandangan matanya adalah kebenaran. Begitupun dengan “pandangan” Tuhan terhadap makhluk yang Dia ridhai.
Dengan logika seperti di atas, semestinya pendekatan pendidikan agama yang digunakan untuk mencapai tujuan tersebut adalah pendekatan “cinta” bukan paksaan. Namun yang terjadi, setelah usia anak beranjak dari balita, pendekatan “ketakutan” lebih menonjol dipakai untuk melakukan pengajaran, yakni dengan ancaman hukuman dan imin-iming ganjaran. “Kalau kamu berbuat jahat maka akan disiksa di neraka, dan bila berbuat kebaikan maka besok kamu masuk surga. Kerjakanlah ini maka kamu akan masuk surga dan bila meninggalkannya kamu akan terkena siksa neraka.”
Jarang sekali ada model pendekatan lain, semisal yang lebih menekankan bahwa Tuhan ada di dekat kita, hadir dalam setiap detak hembusan nafas manusia, dan selalu menemani hamba-Nya yang bertakwa.
Tahun 2003 Ahmad Dhani menciptakan lagu yang dinyanyikannya bersama (Alm) Chrisye. Dengan nada tanya, Dhani menulis “Jika surga neraka tak pernah ada masihkah kau menyebut nama-Nya.. Apakah kita semua benar-benar tulus menyembah pada-Nya, ataukah kita semua takut pada neraka dan inginkan surga.“
Lagu itu menyindir laku ibadah keseharian kita. Sebab, dengan model pendekatan “ketakutan”, orientasi dan tujuan ibadah hanyalah meraih surga dan menghindari neraka di akhirat belaka, tidak ada yang lain! Lalu, seperti pertanyaan Dhani, bila surga itu hanyalah khayalan dan fantasi manusia belaka, masihkah manusia akan menyembah Tuhan?
Akibat selanjutnya dari orientasi “surgawi” ialah melekatnya pandangan bahwa ibadah yang paling baik adalah ibadah-ibadah mahdhah (shalat, puasa, dan semacamnya), sehingga ketakwaan sejati sering diukur dengan tekunnya seseorang menjalankan jenis ibadah seperti itu. Meski kerabat dan tetangganya kelaparan karena kekurangan bahan makanan, sementara dirinya memiliki kelebihan ekonomi, dalam pandangan umum ia tetap dicap sebagai orang salih.
Dalam cara pandang demikian, ketakwaan hanya bisa diusahakan melalui shalat, dan semacamnya tadi. Sedangkan dari kebajikan lain yang menyentuh masalah kemanusiaan dan sosial, ketakwaan sulit diperoleh.
Pola pengajaran yang mengedepankan “ketakutan” salah satunya disebabkan oleh begitu kuatnya pengaruh ilmu fiqh dalam kehidupan umat muslim. Corak fiqh yang lebih bersifat praktis, membuat kita sulit lepas dari logika fiqh yang hitam-putih, halal-haram, hak-bathil, dan sebagainya. Dalam hal ibadah mahdhah, misalnya, terdapat kategori wajib, sunnah, mubah, makruh, dan haram. Menjalankan kewajiban mendapat pahala, dan meninggalkannya disiksa. Sebaliknya, melakukan hal yang diharamkan akan disiksa dan meninggalkannya diganjar pahala.
Tak pelak, logika fiqh yang demikian berperan besar memengaruhi kehidupan keagamaan kita yang kerap mengadili manusia dengan salah-benar, sangsi-pahala dan sebagainya, tanpa mau mengerti hal-hal yang melatar belakangi tindakannya.
Melalui pendekatan seperti ini, Tuhan yang hadir pada alam pemahaman dan keyakinan manusia adalah Tuhan penghukum dan pengganjar pahala, terasa nan jauh dan tidak bersama kita. Padahal Allah berfirman, Dan jika hamba-hamba-Ku bertanya perihal Aku, maka (katakanlah) sesungguhnya Aku dekat (dengan mereka) (Qs. al-Baqarah:186).
Dalam bayangan penulis, alangkah indahnya jika kita dididik oleh lingkungan atau lembaga dengan metode “cinta” yang mengedepankan kasih sayang dan keikhlasan bertindak, hukuman sekedar sebagai pilihan darurat bila tidak ada cara lain. Betapa indah kehidupan sosial dan betapa nikmat ibadah yang kita kerjakan. Ibadah dapat terlaksana secara ikhlas lantaran disulut oleh daya emosi terdalam manusia.
Dalam kehidupan ini, sulit sekali kita mampu “menghadirkan” Tuhan dalam wujud yang indah dan menawan sehingga memicu kita untuk terperanjat takjub dan mahabbah (cinta) kepada-Nya. Dengan mahabbah inilah kaum sufi terdahulu mengabdi tanpa membutuhkan pahala dan takut akan siksa-Nya. Bagi mereka, terlalu rendah bila ibadah hanya bertujuan pada itu. Mereka yakin bahwa Tuhan adalah “teman dekat” yang sangat dekat melebihi dekatnya urat nadi. Seisi alam, termasuk diri sendiri, merupakan penjelmaan dari keindahan dan keagungan Allah.
Sejenak kita perlu merenung dan mempertanyakan ulang, sudahkah ridha Allah menjadi tujuan utama ibadah kita dan tak sekadar menggugurkan kewajiban? Jika jawaban yang lebih kerap muncul adalah yang kedua, maka, tepatkah pendidikan yang berpola “janji (pahala) dan ancaman (siksa)” yang ternyata membuat ibadah dan tindak laku keseharian kita menjadi kering?