Ceritaku di Malaysia: Negara Ini Islami, Tapi Penuh Tanda Tanya? (Bag-1)

Ceritaku di Malaysia: Negara Ini Islami, Tapi Penuh Tanda Tanya? (Bag-1)

Pengalaman saya mengunjungi Malaysia dan menemukan arti ‘Islam’ di negara tersebut

Ceritaku di Malaysia: Negara Ini Islami, Tapi Penuh Tanda Tanya? (Bag-1)

Saya akan berusaha menulis terkait dengan apa yang saya gelisahkan–sebagaimana tertera dalam judul di atas. Saya menulis hanya atas dasar pengalaman saya selama 10 hari berada di sana. Pada mulanya saya menganggap atau paling tidak saya berharap demikian bahwa setelah 10 hari saya berkunjung ke Malaysia, saya akan mempunyai gambaran ideal berkenaan dengan Negara Islami, Negara di mana formalisasi syariat Islam diberlakukan dengan relatif baik. Tidak seperti yang terjadi di Aceh misalnya.

Sesampainya saya di Kuala Lumpur International Airport, saya sudah dibuat kaget. Sebab anggapan saya tentang Malaysia sebagai Negara yang islami seperti tidak tampak sama sekali.

Saya melihatnya dari cara berpakaian. Di Bandara KL sampai saat tiba di pusat Kuala Lumpur, saya melihat cara berpakaian warga Malaysia yang bebas sekali. Jauh dari anggapan saya sebelumnya. Saya mengira Malaysia itu telah jauh lebih dulu menerapkan kewajiban berjilbab bagi perempuan. Ternyata tidak. Di jalan-jalan, di hotel, di mall, di mana-mana orang begitu bebas berpakaian tanpa ada saling sinis dan apalagi ditangkap hanya karena memakai celana jeans. Sedekat penglihatan saya, masih sedikit sekali perempuan Malaysia yang memakai jilbab dan apalagi cadar. Bahkan yang bercadar pun saya yakin, mereka yang punya garis keturunan dan tradisi Arab.

Banyak sekali perempuan Malaysia yang berpakaian “terbuka”, celana pendek, baju pendek. Pemandangan yang menurut jauh lebih berani ketimbang dengan Indonesia–saya bandingkan dengan Jakarta misalnya. Saya ingin bertanya banyak soal ini, tapi nyali saya ciut. Antara belum terbiasa dan khawatir tersinggung.

Sulit menemukan Masjid dan apalagi Mushalla. Oleh karena itu, kalau bukan karena inisiatif sendiri dan kehati-hatian, ibadah shalat itu seperti bukan keperluan yang pokok bagi warga Malaysia. Shalat berjemaah shalat lima waktu di sini betul-betul terasa sangat privasi sekali.

Saya sendiri hampir tidak pernah mendengar suara azan dan atau himbauan shalat lima waktu. Belakangan saya dapat informasi, bahwa Masjid di Malaysia memang dikelola Negara.

Jadi siapapun tidak boleh sembarangan membangun Masjid seperti di Indonesia. Bahkan untuk keperluan shalat Jum’at saja, saya harus berjalan kaki dengan jarak yang lumayan jauh dan itupun bukan di Masjid. Tetapi di Mushalla sebuah Bank Islam yang ada di Malaysia. Bisa dibayangkan jemaah shalat Jum’at waktu itu meluber ke mana-mana. Fakta yang bikin saya geleng-geleng kepala.

Merokok. Saya memang tidak merokok. Tetapi manakala saya mudah sekali melihat warga Malaysia di Kuala Lumpur yang merokok, saya betul-betul takjub. Bukan hanya laki-laki, perempuan juga dengan leluasa merokok kapan pun dan di manapun. Memang ada area-area di sana yang melarang warganya untuk merokok. Tetapi hal itu tidak membuat para perokok kehilangan akal.

Saya malah merasa, merokok bagi warga Malaysia itu sebagai bagian dari gaya hidup yang lumrah saja. Melihat fakta ini, saya sangat kagum sekali, kehidupan di Malaysia begitu enjoy dan “santuy.”