Ceritaku di Malaysia: Jilbab, Kota dan Zakir Naik Bagi Masyarakat Jiran (Bag-2)

Ceritaku di Malaysia: Jilbab, Kota dan Zakir Naik Bagi Masyarakat Jiran (Bag-2)

Bagaimana jejak masyarakat dan Islam di tanah Malaysia?

Ceritaku di Malaysia: Jilbab, Kota dan Zakir Naik Bagi Masyarakat Jiran (Bag-2)
Ethnic Malays and an ethnic Indian share a light moment as they leave office after work in Putrajaya outside Kuala Lumpur in this January 3, 2007 file photo. REUTERS/Bazuki Muhammad/Files

Seperti laiknya ibu kota, Kuala Lumpur itu sebagaimana Jakarta, banyak berdiri gedung-gedung pencakar langit dengan jarak yang sangat berdekatan. Bagi saya, warga Negara lain di luar Malaysia, puncak dari gedung pencakar langit itu adalah Menara Kembar Petronas. Menjulang tinggi dan sangat megah. Di KL terlihat bersih. Tidak ada pedagang kaki lima: tukang gorengan, pedagang ala pecel lele Lamongan, pedagang asongan dan lain serupanya yang begitu melimpah ruah seperti di Indonesia.

Saya hanya pernah melihat seorang yang berusia senja, seperti pengemis yang berdiam diri di pinggir jalan. Anak jalanan, pengamen-pengamen yang tak terkendali dan serupanya hampir tidak ada. Pusat jajanan, oleh-oleh dan segala macam produk kesenian itu ada di tempat khusus, sala satu yang saya singgahi namanya Pasar Seni atau Central Market.

Tepat di sebrang sebuah Mall besar. Kalau tidak keliru di sebuah tempat di kawasan Bukit Bintang. Ada beberapa titik orang menikmati hiburan yakni suguhan musik jalanan. Bayangkan saja, di negara yang dalam benak saya menerapkan syariat Islam yang ketat, ternyata begitu mengasyikkan. Apa itu? Pertunjukkan musik ala Malaysia: dangdut ala Indonesia, musik Arab, dll.

Saat saya menyempatkan untuk melihatnya, saya melihat dengan mata kepala saya sendiri, musik jalanan seperti itu betul-betul dinikmati semua orang yang kebetulan mampir dan berhenti. Pengunjungnya beragam, selain kami dari Indonesia, juga Arab, India dan bule-bule asing. Bernyanyi dan berjoget tumpah ruah. Yang berjilbab dan yang tidak semuanya larut dalam musik dan lagu yang didendangkan. Bahkan semalam suntuk itu lagu-lagu Indonesia banyak yang dinyanyikan: Goyang Dumang, Kereta Malam dan masih banyak lagi.

Saya melihat Malaysia seperti tidak punya masalah yang berarti. Anggapan saya diperkuat misalnya ketika Zakir Naik sempat banyak mendapatkan ultimatum dari banyak Menteri Malaysia. Yang ada justru bukan demonstrasi besar-besaran, caci-maki di media sosial, perang tagar.

Menteri Pemuda dan Olahraga Malaysia yang muda itu justru malah mengajak Zakir Naik makan bersama dan ramah tamah. Masya Allah. Sebuah sikap yang sangat dewasa. Bahkan isu deportasi Zakir Naik lebih ramai dibahas warganet Indonesia ketimbang oleh warganet Malaysia itu sendiri. Bahkan berita-berita publik yang tayang di televisi, hanya memuat berita-berita yang datar, tidak seperti di Indonesia yang banyak sekali berita sampah dan gosip.

Selama 10 hari itu, semua chanel di televisi yang ada di hotel bolak-balik saya lihat, semua programnya terlihat biasa. Saya yakin sekali jika ada warga Malaysia yang tahu berbagai acara televisi di Indonesia pasti akan terbelalak karena perbedaan yang sangat jauh.

Saya sebetulnya ingin menangkap sisi positif Malaysia dan tidak ada maksud menyepelekan bangsa sendiri. Saya baru melihat Malaysia saja, bangsa kita masih banyak sekali PR besar. Bangsa kita mengurus kebersihan dan sampah saja masih belepotan.

Jadi jujur, harus saya ulangi pertanyaan saya, apa yang menjadi masalah yang mendasar dan berarti bagi warga Malaysia? Kemerdekaan yang konon didapatkan Malaysia dari Inggris, secara kasat mata jauh lebih memanusiakan ketimbang misalnya kemerdekaan yang diraih Indonesia, tetapi justru warga Indonesianya sendiri yang mental dan perilakunya bisa lebih jahat daripada penjajah.

Wallaahu a’lam

Baca:

Cerita di Malaysia: Negara Ini Islami, Tapi Penuh Tanda Tanya?