Saya semakin penasaran. Selain waktu itu masih banyak yang masih dipendam, saya coba untuk memberanikan diri bertanya atau tepatnya konfirmasi berkaitan dengan sejumlah “tanda tanya” yang belum puas saya dapatkan jawabannya. Bahkan saya sebetulnya merasa sudah maksimal, agar teman-teman Malaysia ini terpancing semangatnya untuk antusias.
Saya merasa orang Malaysia itu “kalem”, pembawaan bicaranya tidak menggebu-gebu dan cenderung datar. Saya tadinya menganggap, apakah teman-teman di Malaysia ini kebingungan, tidak memahami masalah yang dihadapi atau entah apa. Tetapi anggapan itu segera ditepis manakala belasan orang Malaysia yang bertemu dengan saya itu, justru para penulis, penikmat literatur, dan ahli di bidangnya masing-masing. Terutama Gus Afiq. Di lain catatan, insya Allah akan saya ulas siapa itu Gus Afiq.
Rasa penasaran dan ingin tahu saya semakin membuncah, manakala saya dan teman-teman dari Indonesia diajak berkunjung ke salah satu Perguruan Tinggi favorit: International Islamic University Malaysia (IIUM). Kami dijadwalkan akan bertemu dan bertukar pikiran dengan dua dosen Ushuluddin: Prof. Dr. Isham Ahmad dan Dr. Fazilah.
Sebagaimana tamu pada ghalibnya, saya disambut dan dijamu dengan penuh keleluargaan. Kami seperti sudah saling kenal lama sekali. Terutama Dr. Fazilah, kharisma keibuannya begitu tampak. Murah senyum dan murah hati sekali. Sementara Prof. Isham memang saya melihatnya agak berbeda. Pembawaannya “santuy”, entengan dan rileks sekali. Dari gestur tubuh dan gaya bicaranya saya akui sih, bahwa Prof. Isham ini berwawasan luas.
Menurut pengakuannya, Prof. Isham mengenal baik Prof. Buya Syafii Maarif, Prof. Azyumardi Azra, Prof. Mulyadi Ketanegara, Prof. Amin Rais dan masih banyak lagi. Saat salah satu di antara kami menjelaskan apa itu Mubadalah ke hadapannya, Prof. Isham terus saja mencecar. Seolah Mubadalah yang sedang dipresentasikan itu “ada yang kurang.”
Sedekat yang dapat saya tangkap, Prof. Isham terus mempertanyakan konsep Mubadalah dan isu-isu yang menjadi pemikiran Islam lainnya, untuk digarap lebih konkrit lagi. Prof. Isham menjelaskan dengan begitu enteng bahwa mengampanyekan penguatan ekonomi Negara itu sangat penting. Dengan kata lain, kita tidak bisa memisahkan pemikiran keislaman dengan kebutuhan hidup ril yang ada di masyarakat.
Sayang sekali memang, Pak Faqih (panggilan akrab saya kepada Dr. KH. Faqihuddin Abdul Kodir), sang penemu Mubadalah tidak turut dalam rombongan kunjungan karena harus lebih dulu pulang ke tanah air. Padahal, selain pasti suasana diskusinya akan sangat seru, Pak Faqih merupakan salah satu alumni kampus IIUM. Bahkan ketika saya berusaha “menantang” Prof. Isham dengan brendelan pertanyaan, ia tetap enjoy menjawab.
Beberapa pertanyaan yang saya lemparkan misalnya berkaitan dengan praktik kesalingan di kampus IIUM, program pengabdian/KKN di kampus IIUM, demonstrasi mahasiswa menentang kebijakan kampus, dan soal apakah Prof. Isham–sebagai seorang cendekiawan–sudah nyaman dengan kehidupan di Malaysia yang sedang berjalan dengan tidak bersikap kritis?
Wallaahu a’lam
Baca juga dua seri sebelumnya:
Ceritaku di Malaysia: Negeri Ini Islami, Tapi Penuh Tanda Tanya
Ceritaku di Malaysia: Jilbab, Kota dan Zakir Naik Bagi Masyarakat Jiran