Cerita Unik Haji Masa Silam: Bawa Biji Padi Thawaf Agar Subur Saat Ditanam di Indonesia

Cerita Unik Haji Masa Silam: Bawa Biji Padi Thawaf Agar Subur Saat Ditanam di Indonesia

Cerita Unik Haji Masa Silam: Bawa Biji Padi Thawaf Agar Subur Saat Ditanam di Indonesia

Pada suatu musim haji masa lampau, seorang petani dari tanah Sunda berangkat ke Mekkah bukan hanya dengan doa dan harapan. Ia membawa sesuatu yang lebih sederhana, lebih membumi, dan mungkin juga mistis: segenggam bibit padi. Di tanah suci itu, bibit itu ditawafkan mengelilingi Ka’bah, dalam lingkaran sakral yang biasanya dilingkupi oleh dzikir dan airmata. Petani itu punya keyakinan: ketika kembali ke kampung halamannya, benih yang telah bersentuhan dengan aura Ka’bah akan tumbuh lebih subur, lebih berkah, dan lebih dekat dengan langit.

Kisah di atas bukanlah dongeng atau satire. Kisah benih padi yang dithawafkan itu ditulis oleh R.A.A. Wiranatakoesoema pada tahun 1925, yang dikutip Henri Chambert Loir dalam bukunya “Haji Masa Silam”. Ia menyebut dalam catatannya sebagai salah satu bentuk takhayul yang membalut ibadah haji umat Islam Indonesia, terutama dari kalangan Sunda. Tentu saja, bibit padi hanyalah satu dari sekian banyak kisah yang menggambarkan bagaimana ibadah yang seharusnya menjadi puncak tauhid, justru dibalut dengan niat-niat lain yang samar—antara iman dan kepercayaan tradisional yang sulit dilepaskan.

Haji dan Klenik: Kritik dari para Tokoh

Tak hanya bibit. Sebagian jemaah membawa orang sakit, berharap tanah haram bisa menjadi klinik pengobatan yang lebih sakral dari rumah sakit mana pun. Air zamzam disimpan dalam botol, ‘dilabeli harapan’. Bahkan sebagian jemaah membawa benda-benda dari kampung—air, batu, pakaian—untuk “diberkahi” di sekitar Ka’bah dan dibawa pulang dalam bentuk jimat atau “penolak bala”.

Kiai Ali Mustafa Yaqub (2009) menyebut praktik ini sebagai bentuk “lelaku syirik dan klinik”—sebuah hal yang selayaknya tidak tercampur dalam rangkaian ibadah di tanah suci. Yang ironis, menurut Kiai Ali, praktik-praktik ini bukan berasal dari tanah Arab, melainkan diimpor dari tanah air oleh para jemaah sendiri. Seolah-olah, Ka’bah bukan lagi pusat tauhid, melainkan pusat magis yang bisa mengaliri benda-benda profan dengan daya supranatural. Suatu bentuk “pengisian energi” yang tak dikenal dalam ajaran Islam yang dibawa Nabi.

Mungkin yang lebih tragis adalah fenomena “kiswah Ka’bah” yang pada foto-foto atau gambar zaman dahulu terlihat ditarik ke atas. Nurcholish Madjid menyebut: konon, kain penutup Ka’bah sering digunting diam-diam. Potongan kain itu kemudian dibawa pulang ke kampung masing-masing dan dijadikan jimat. Seperti selembar surga yang bisa dilipat dan disimpan dalam lemari, atau diselipkan dalam dompet sebagai pelindung dari bala.

Meski pernyataan Nurcholish Majid ini bisa dikritisi, karena pada kenyataannya penarikan kiswah ke atas adalah untuk sebagai tanda bahwa musim haji sudah dimulai. Kini saat musim haji, kiswah tidak ditarik keatas, melainkan dibalut kain putih, seumpama jemaah yang menggunakan kain ihram.

Gejala klenik seperti ini, ternyata, bukan hanya dilakukan umat Islam di Indonesia. Di Malaysia, makhluk halus seperti toyol—jin pencuri uang dalam kepercayaan lokal—konon dipercaya berasal dari Mekkah. Haji dianggap sebagai gerbang untuk membawa kemakmuran supranatural, bukan sekadar berkah spiritual. Selain itu, doa para haji dipercaya lebih mujarab, bahkan sampai empat puluh hari setelah pulang dari tanah suci. Di beberapa tempat, menurut Byrne McDonell, 1990, orang berlomba-lomba minta didoakan oleh sang haji, seolah-olah ia telah berubah menjadi perantara antara langit dan bumi. Haji menjadi sosok suci yang dikeramatkan, bukan sekadar dihormati, meski hanya 40 hari.

Sebenarnya, kepercayaan doa orang yang pulang haji mustajab ini bukanlah tanpa dasar. Dalam literatur pesantren dijelaskan terkait mujarabnya doa pak haji ini. Dalam kitab Hasiyah al-Qaliyubi ditemukan anjuran bagi orang yang pulang dari haji untuk mendoakan orang-orang yang bersilaturrahim kepadanya agar bisa berangkat haji. Dalam kitab tersebut juga dijelaskan bahwa mujarabnya doa jemaah haji tersebut sampai 40 hari. Sehingga wajar jika orang Indonesia memiliki kepercayaan serupa.

Haji dan Harapan

Penulis sendiri tidak ingin menyikapi hal-hal demikian sebagai ulah kesyirikan. Jika diniatkan hanya untuk berdoa atau memohon hajat kepada Allah melalui wasilah haji, tentu tidak masalah. Yang dilarang adalah meminta kepada selain Allah. Ulah jemaah haji masa lalu, jika pun saat ini masih ada, bisa digolongkan sebagai harapan atau doa. Sebagaimana nabi yang membalik surbannya saat salat istisqa, maka kisah unik jemaah haji tersebut bisa saja digolongkan demikian, atau dalam bahasa hadisnya disebut doa birrumus.

Wallahu a’lam.