
Laporan Khusus oleh: Abdul Kholik S. Fili (SOC71, Yogyakarta)
MEKKAH – Rombongan jamaah haji kloter SOC71 dari Yogyakarta menjalani ibadah haji 2025 dengan penuh suka duka dan keberkahan. Berangkat sebagai wakil umat dari tanah air, perjalanan ini bukan hanya menunaikan syariat Islam, tetapi juga menjadi cermin dari nilai-nilai ahlussunnah wal jama’ah (Aswaja) yang selama ini dipegang teguh warga Nahdliyin.
1. Keberangkatan: Tawadhu dan Ketaatan sebagai Bekal Awal
Rombongan SOC71 diberangkatkan pada 22 Mei 2025 dari Balai Kota Yogyakarta menuju Asrama Haji Donohudan, Solo. Dengan pengawalan Polantas, jamaah menjalani proses keberangkatan dengan tertib dan penuh tawadhu. Di Donohudan, petugas Kemenag memberikan layanan optimal: mulai dari perlengkapan, paspor, hingga uang saku 750 Riyal.
Dalam tradisi NU, setiap perjalanan ibadah selalu diawali dengan tawassul, niat lillahi ta’ala, dan permohonan doa kepada sesepuh dan ulama.
Hal ini juga dilakukan SOC71, menjadikan keberangkatan haji bukan sekadar fisik menuju Tanah Suci, tetapi sowan spiritual menuju ridha Ilahi.
2. Mekkah: Harmoni Ikhtiar Dunia dan Layanan Sosial
Setibanya di Jeddah dan kemudian Mekkah, jamaah menginap di Hotel Moro Al Alamiah, hanya 500 meter dari Jamarat.
Di bawah layanan syarikah Rakeen 1, segala keperluan dipenuhi dengan baik. Momen ini menunjukkan pentingnya kolaborasi antara ikhtiar profesional dan semangat khidmah dalam pelayanan jamaah.
Sebagaimana diajarkan ulama NU, khidmah bukan sekadar kerja, tetapi bentuk cinta kepada sesama umat. Jamaah haji bukan sekadar tamu Allah, tapi juga bagian dari ummatun wahidah yang harus dilayani dengan akhlak dan pengabdian terbaik.
3. Wukuf Arafah: Puncak Ibadah dan Makrifat Sosial
Tanggal 9 Dzulhijjah, seluruh jamaah berkumpul di Arafah untuk berwukuf. Bagi warga NU, Arafah bukan sekadar tempat bermunajat, tapi juga ruang untuk memperbarui maqam ma’rifah, mengenal hakikat diri sebagai hamba dan sebagai bagian dari masyarakat.
Dalam pandangan tasawuf amali yang berkembang di lingkungan pesantren, Arafah adalah momen tajalli, di mana sifat ego dan keakuan diluruhkan. Semua jamaah setara di hadapan Allah.
Inilah esensi ukhuwah insaniyah dan ukhuwah islamiyah yang selalu diajarkan oleh para kiai.
4. Mina: Ketangguhan dalam Ujian Duniawi
Dari Muzdalifah ke Mina, SOC71 menghadapi ujian: keterbatasan armada, kemacetan, hingga harus berjalan kaki. Namun justru di sinilah makna “haji sebagai jihad” benar-benar terasa.
Dalam tradisi NU, jihad tidak melulu angkat senjata, tetapi juga mujahadah—melawan kelelahan, ego, dan kepentingan diri sendiri demi mencapai kesempurnaan amal.
Lempar Jumrah bukan hanya simbolik; ia mengajarkan bagaimana umat harus menolak godaan dunia, kesewenang-wenangan, dan nafsu serakah.
5. Refleksi NU: Ibadah Haji sebagai Jalan Membumikan Nilai Islam Rahmatan lil Alamin
Nah, saya bisa cerita sebagai jemaah yang juga Ketua LPNU Yogyakarta.
Bagi saya, haji adalah madrasah ruhiyah dan maktabah amaliyah, tempat belajar dan latihan keikhlasan.
Ibadah haji ini adalah latihan menjadi umat terbaik: sabar dalam antrian, rukun dalam kesulitan, dan ikhlas dalam ketidaksempurnaan. Sebagaimana diajarkan Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari, ibadah tanpa akhlak hanya akan menjadi beban.
Maka di sinilah kita diuji: apakah kita mampu memanusiakan sesama jamaah dalam suasana yang berat.
6. Penyelenggaraan: Kerja Jama’i sebagai Prinsip Aswaja
Meskipun banyak pelayanan berjalan baik, SOC71 mencatat perlunya evaluasi terutama dalam sistem transportasi dan koordinasi antar-syarikah. Tanzhim jama’i (pengelolaan kolektif) adalah prinsip yang dijunjung dalam NU—bahwa kerja bersama, musyawarah, dan tolong-menolong adalah kunci sukses umat.
Penerapan delapan syarikah perlu dievaluasi agar lebih sesuai dengan semangat pelayanan rahmatan lil ‘alamin. Harapannya, haji masa depan bisa lebih inklusif, ramah lansia, dan adil dalam distribusi pelayanan.
7. Penutup: Dari Tanah Haram untuk Negeri Tercinta
Jamaah SOC71 menutup rangkaian ibadah dengan penuh syukur. Ibadah haji bagi warga NU tidak hanya ritual individual, tetapi juga “ijazah sosial” untuk kembali membangun umat dan negeri.
Sebagaimana semangat Hubbul Wathan Minal Iman, sepulang dari haji, tugas utama jamaah adalah membawa nilai-nilai akhlak, adab, dan keikhlasan ke masyarakat—mengisi masjid, memakmurkan desa, menghidupkan majelis taklim, dan membangun Indonesia dari bawah.
Haji ini bukan akhir, tapi awal pengabdian baru untuk umat dan bangsa.
Mekkah, 10 Dzulhijjah 1446 H / 16 Juni 2025