Kisah ini sepenuhnya penulis olah dari buku Muhammad Asad Syihab tentang Biografi Mbah Hasyim yang berjudul al-‘Allamah Muhammad Hasyim Asy’ari: Awwalu Waadhi’i Labinaati Istiqlaal Induunisiyya (K.H. Hasyim Asy’ari: Peletak Batu Pertama Kemerdekaan Indonesia).
Dikisahkan, Asad Syihab selaku penulis biografi Mbah Hasyim memang sedang berkunjung ke Tebuireng, Jombang. Dikisahkan pertemuannya dengan Mbah Hasyim sebenarnya awalnya adalah pertemuan yang tidak direncanakan. Namun, Asad Syihab sudah sering mendengar sosok K.H. Hasyim Asy’ari dari banyak orang dan semuanya berkomentar positif tentang beliau.
Menurut Asad, di saat pertemuan pertama dan pertemuan berikutnya, Mbah Hasyim adalah sosok yang murah senyum, ramah, dan sangat menghargai pendapat orang lain. Asad menceritakan kalau ia sendiri memang orang yang berdiskusi hingga membantah pendapat Mbah Hasyim.
Yang mengejutkan, Mbah Hasyim tidak pernah terlihat marah dengan tentangan itu. Beliau biarkan pendebatnya berbicara hingga selesai. Setelah itu, Mbah Hasyim menjawab pendebat dengan argumen-argumen yang dibangun oleh pendebat sendiri, namun dari argumen yang sama Mbah Hasyim bisa memberikan pemahaman-pemahaman yang berbeda dan mampu membuat pendebat menjadi membenarkan pendapat Mbah Hasyim,
هذه الصفات غير موجودة عند العلامة محمد هاشم أشعري، فهو يتقبل الرد والمناقشة والمعارضة بصدر رحب، بل يرى أن من هذه المناقشة يمكن الوصول إلى نقطة إتفاق وتفاهم. إنه يجيب على كلّ حديث وعلى كلّ فقرة من الكلام على قدرٍ ومقدار فهم السائل والمتحدث والمعارض والمناقش وإدراكه للأمور. فهو لا يجيب مثلا بأشياء فوق مستوى عقل المتحدث وإدراكه
Sifat-sifat ini (mudah emosi karena didebat) tidak ada pada Mbah Hasyim Asy’ari. Beliau sosok yang menerima sanggahan, bantahan, hingga perdebatan dengan hati yang lapang. Bahkan, beliau melhat kalau perdebatan-perdebatan seperti ini dapat menghasilkan satu titik kesepakatan dan saling memahami. Beliau menjawab semua pendapat satu persatu sesuai dengan tingkat pemahaman terhadap suatu persoalan yang diajukan oleh penanya, pembicara, dan yang membantahnya. Mbah Hasyim pun misalnya tidak menjawab pertanyaan dengan hal-hal yang diluar jangkauan pemahaman yang bertanya kepadanya, (h. 35).
Menurut pengamatan Asad, kuatnya karakter, keilmuan, dan cara berargumen Mbah Hasyim ini membuat orang-orang yang tidak beragama Islam atau bahkan tidak yakin dengan agama, menjadi berbalik meyakini ajaran Islam. Berikut pernyataan Asad dalam bukunya,
فغعير المسلم المعارض والمناقش لا يؤمن بما جاء عن الإسلام وأقوال المسلمين من حجج. ولذلك فالعلامة لا يحدثه أو يستدلّ بشيء لا يؤمن السائل والمعارض به. ولكنه يأتيه بأقوال وبراهين وحجج من تلك الّتي يؤمن السائل بها. فيخاطب المسيحي بأقوال المسيحين أنفسهم ويخاطب الملحد بحجج الملحدين. وبهذا يحصر الموضوع ويقنع المتحدث. ولو لا سعة إطلاعه وحلمه ورحابه صدره لما استطاع أن يقوم بهذا العمل العطيه وتحمل هذا العبء الثقيل
Maka orang yang belum beragama Islam yang membantah atau mendebat, (tentu) tidak mengimani ajaran Islam dan argumen-argumen yang diberikan oleh orang-orang Islam. Karena itulah, Mbah Hasyim tidak berdiskusi atau berargumen dengan apa yang tidak diyakini oleh penanya dan pendebatnya.
Tetapi, beliau mendatangkan pendapat-pendapat atau argumentasi yang diyakini oleh penanyanya. Maka, ketika beliau berdialog dengan seorang Kristiani, beliau menggunakan kutipan-kutipan dari orang-orang Kristiani sendiri. Ketika berdialog dengan orang yang tidak meyakini kebenaran agama, beliau menggunakan kutipan dari kalangan orang yang juga tidak meyakini agama.
Dari sini, terjadilah sikap objektif dan jawaban yang memuaskan lawan bicaranya. Kalau tidak karena keluasan ilmu beliau, sikapnya yang halus, dan hati yang terbuka, tidak mungkin beliau bisa memikul sikap yang begitu arif dan tentu berat sekali. (h. 35) (AN)
Wallahu a’lam.