Suatu hari saya bersama kakak makan nasi goreng di sebuah warung tenda di di Banjarmasin. Waktu kami makan tersebut, ada sebuah lantunan syair maulid yang terdengar menghibur kami selama makan. Ketika usai menyantap nasi goreng, saya mencari asal suara syair tadi. Terlihatlah penjaja vcd bajakan sekitar 50 meter dari tempat saya.
Saya menjajal beberapa vcd ceramah dan syair maulid yang dibawakan dengan sangat merdu oleh salah seorang kyai panutan di kota saya. Kualitas yang ditawarkan oleh sang penjaja itupun tak bisa ditawar sama dengan harganya yang juga tak bisa ditawar. Harga 7000 per keping vcd sangatlah mahal bagi sebagian orang, namun jika melihat “tuan guru” yang membawakan syair dan ceramah tersebut, maka harga tersebut malah terlalu murah karena ilmu yang dibagikan itu tidak ada harga yang bisa menilainya.
Saya tertarik dalam keadaan ini adalah saat ini kita hidup di masa yang serba canggih ini yang semua selalu terlihat digital dan mudah ditemukan hanya dengan mengklik tombol di kolom kosong di situs pencari, tapi masih ada yang bisa bertahan hidup dari berjualan vcd bajakan ceramah-ceramah, pembacaan syair-syair maulid dari diba hingga burdah.
Saat kita membuka media sosial yang tersedia di ponsel gawai, maka tidak sedikit kawan-kawan virtual kita membagikan ceramah para ustadz yang terkenal bahkan ada istilah yang diperkenalkan oleh salah satu penebit terkenal dengan adagium “ustadz seleb”. Namun pernahkah kita mencoba merefleksikan bagaimana nasib ceramah-ceramah dari para “tuan guru” yang dibaca rutin selama ini. Apakah akan hilang begitu saja? Atau bertahan dengan vcd-vcd bajakan yang selama ini dijual di pinggir jalan atau pun di tengah pasar.
Beberapa bulan yang lalu saya berbincang dengan kolega saya, di tengah perbincangan kami yang tidak jelas topiknya tersebut teman saya tersebut menjelaskan bahwa ia memiliki koleksi kaset ceramah KH. Zainuddin MZ yang cukup banyak bahkan ada beberapa dari koleksi tersebut bisa dikatakan cukup langka. Percakapan ini berujung pada sebuah pemikiran yang cukup nakal, ceramah Zainuddin yang selama saya kecil sering diperdengarkan di langgar dan mesjid sebelum masuknya waktu shalat yang akhir-akhir ini sudah tidak lagi terdengar, mungkinkah ini akan berujung pada punah ceramah-ceramah bernas tersebut.
Kita disebut-sebut hidup di abad melenial ini, yang menawarkan banyak kemudahan dan fasilitas untuk mengembangkan ilmu pengetahuan sudah seharusnya memiliki keinginan untuk menyelamatkan ilmu-ilmu yang tersebar di berbagai media seperti kaset, cd hingga vcd. Namun kesadaran ini mungkin masih belum terlalu tumbuh di kalangan muslim, tidak banyak orang yang mencurahkan perhatiannya terhadap persoalan yang cukup krusial ini. Jika kita mau berkaca dengan kasus kaset pita bagi industri musik yang semakin terdesak maka kita semua perlu sadar bahwa ada masalah dalam pelestarian sejarah keislaman kita.
Sekarang ini kita malah sering bertempur merebut lebih banyak like, share, dan follower bahkan lupa bahwa ada kyai-kyai atau dalam bahasa banjar tuan-tuan guru yang mengajarkan dengan sangat ikhlas dan keterbukaan tanpa ada embel-embel primordial suku bahkan agama. Petuah-petuah mereka mungkin saja tidak terekam dengan baik, tapi menyatu dengan kehidupan masyarakat yang hidup di sekeliling mereka.
Kalau kita mau memandang ceramah-ceramah yang disampaikan secara lisan itu bisa dipandang sebagai tradisi lisan, maka pergeseran dari kelisanan menuju keaksaraan hingga proses elektronik terkait dengan struktur sosial, ekonomi, politik, keagamaan, dan struktur lain. Menarik jika kita melihat banyaknya ceramah-ceramah bernas tersebut sekarang ini mengalami lompatan sebab tidak banyak yang melalui proses pengaksaraan. Vcd-vcd atau cuplikan video ceramah sekarang ini kayanya lebih disukai, apalagi sekarang ini sudah banyak pengajian-pengajian bisa dinikmati secara streaming dan dishare juga secara masif di media sosial.
Tetapi ada sebuah petuah yang perlu menjadi renungan kita semua dari tuan guru terkenal dari Kalimantan Selatan, yaitu KH. Muhammad Zaini Ghani atau akrab disapa dengan Guru Sekumpul yang pernah menegaskan untuk tidak merekam audio atau video pengajian-pengajian beliau. Alasan yang diajukan beliau adalah adab dalam menuntut ilmu, bahwa dalam setiap menuntut ilmu itu haruslah melakukan tatap muka dan datang ke pengajiannya bukan cuma mendengarkan suara kaset atau menonton videonya saja, yang menurut beliau itu kurang berkah. Namun keinginan beliau tersebut tidak dapat menghentikan beredarnya vcd, kaset dan sekarang cuplikan-cuplikan potongan ceramah beliau di media sosial.
Padahal ada hal yang menarik dari sebuah tradisi lisan yaitu penjagaan nilai-nilai yang disampaikan selalu akan terekam dalam masyarakatnya walau itu akan bersifat sangat cair.
Fatahallahu alaihi futuh al-Arifin