Celoteh Kang Jan: Fikih dan Hijab Bertemu Tuhan

Celoteh Kang Jan: Fikih dan Hijab Bertemu Tuhan

Tapi hati-hati, menganut satu ukuran saja dengan terlalu fanatik dan menyalahkan segala yang berbeda itu ndak ilok. Fikih saja bisa menjadi hijab orang ketemu Tuhan,” Kang Jan semakin bergairah mengeluarkan pendapat.

Celoteh Kang Jan: Fikih dan Hijab Bertemu Tuhan
credit: bookgeeky.deviantart

Hari ini kang Jan tidak ke pasar. Libur. Meski bukan pegawai negeri, Kang Jan juga punya waktu-waktu libur berdinas di angkringan sederhananya. Biasanya pada jam yang sama Kang Jan sibuk ke pasar. Berbelanja segala kebutuhan ankringan memang selalu dilakukannya sendiri. Para tetangga sering terheran-heran melihat Kang Jan yang sering pulang membawa belanjaan sendiri. Maklum, di kampung Kang Jan ini perempuanlah yang identik dengan berbelanja ke pasar.

Berbelanja ke pasar bukan hal berat bagi pria usia 40 tahuanan ini. Terbukti ritual pergi ke pasar telah dilakoninya sejak pertama membuka usaha angkringan. Para tetangga akhirnya hafal. Jika kang Jan tidak lewat pada jam belanjanya berarti malamnya besar kemungkinan angkringan akan tutup. Jika istri Kang Jan yang berbelanja pasti ada sesuatu dengan Kang Jan, entah sakit, bepergian atau mendapat tamu.

Dulu seorang anak muda pernah bertanya kepada soal kebiasaannya pergi ke pasar. Anak muda itu heran, kenapa laki-laki yang pergi ke pasar dan bukan perempuan. Kang Jan menjawabnya dengan sangat santai: “aku menikahi perempuan yang kini menjadi istriku untuk berbagi peran dan bukan menjadikanku raja.” Titik. Jawabannya tegas yang memutus keberananian si anak muda untuk bertanya lagi.

*****
Libur Kang Jan tidak ditentukan oleh kalender masehi. Bukan soal almanak yang berwarna merah, hijau atau hitam. Hanya kegiatan sosial di lingkungannya yang bisa membuat  Kang Jan libur. Kadang, Kang Jan libur hanya karena selamatan tetangga yang baru punya pedet. Kadang pula karena tetangga ada yang melahirkan, aqiqah, atau meninggal dunia. Pikir Kang Jan, rezeki ada di paseduluran. Kang Jan juga terbiasa meliburkan diri saat hari-hari besar keagamaan diperingati. Katanya, bentuk hormatnya pada kanjeng nabi tercinta.

*****
Kegiatan utama Kang Jan hari ini adalah kerja bakti. Di Masjid depan rumah pak RW nanti malam akan diadakan peringatan isra’ mi’raj. Setiap warga yang beragama Islam hari ini diminta berpartisipasi untuk mempersiapkan peringatan hari besar tersebut. Acara ini memang sudah rutin digelar di kampung ini. Acaranya sederhana. Hanya pengajian sehabis sembahyang isya’ dan makan bersama. Itu saja. Tapi entah mengapa setiap hajatan keagamaan ini

Karena ini adalah hari minggu, tentu tidak berat bagi para tetangga kang Jan yang bekerja sebagai pegawai untuk turut membantu kerjabakti. Ini yang berbeda dengan kang Jan, semestinya malam nanti adalah malam yang cukup menjanjikan untuk berjualan. Biasanya, selepas berekreasi atau bermalas-malas di hari minggu para tetangga mengandalkan hidangan Kang Jan  sebagai sajian pokok makan malam. Omset setiap hari minggu tentu akan berlipat dari biasanya. Tapi Kang Jan tetap saja meliburkan diri. Ia yakin rezekinya tidak akan terganggu hanya karena libur berjualan saat lingkungan membutuhkan atau peringatan hari besar keagamaan dilangsungkan.

Bersama punggawa kampung lainnya Kang Jan bahu membahu mempersiapkan ragam kebutuhan peringatan Isra’ Mi’raj. Mulai dari membersihkan parit, menyiangi rumput, mengecat masjid sampai membersihakan kerak-kerak kotor di kamar mandi dilakukan bersama oleh para bapak. Di rumah Kepala RW, para ibu tak galah gesit. Mereka mempersiapkan ragama suguhan sederhana yang akan dihidangkan di masjid nanti malam. Elok nian pembagian tugas ini.

Tawa dan canda  terdengar riuh dari masjid dan kediaman Pak RW. Suara tertawa keras bapak-bapak seperti tak henti. Apalagi suara Pak Jiman yang terkenal tidak bisa tertawa dengan suara pelan. Suaranya mengungguli suara  bapak-bapak lainnya. Sebaliknya suara cekikan pelan para ibu juga tak kalah riuh. Sesekali terdengar guyonan dan banyolan yang terkadang tidak terlalu lucu tapi dapat dinimati dengan baik oleh kedua rombongan pekerja bakti ini.

*****

Seperti biasa Kang Jan mengambil pekerjaan yang jarang diminati orang lain. Kali ini di kamar mandi. Berbekal sikat kawat dan sabun colek ia menyikati kerak kotoran manusia di lubang WC dan dinding kamar mandi. Di beberapa sisi dinding yang tertutupi lumut kini kembali ke warna asalnya yang putih gamping. WC dan kamar mandi masjid yang biasanya berbau pesing kini beraroma sabun colek. Lumayan, pikir Kang Jan, paling tidak dalam seminggu ini kamar mandi masjid nyaman digunakan untuk berwudlu.

Kang Jan tidak membersihkan kamar mandi masjid sendirian. Siwa, sang pelanggan setia angkringan, ternyata juga setia menemani Kang Jan di kamar mandi. Mahasiswa semester tua ini memang rajin menemani Kang Jan pada setiap kerja bakti. Maklum, sebagai anak kos-kosan ia paling dekat dengan Kang Jan tinimbang dengan warga lainnya.

****
“Kang, “ sapa siwa memulai obrolan.

“Ada apa?” timpal Kang Jan.

“Andai kita dulu diwajibkan sembahyang lima puluh kali sehari, apa jadinya kita? Saya tidak bisa membayangkan betapa repotnya. Untung Kanjeng Nabi Mukamad itu pinter. Beliau mau menerima usulan para nabi yang lain. Jadilah shalat kita cukup lima kali sehari,” siwa mulai berkelakar.

“Yo belum tentu juga kita kerepotan kalau diwajibkan sembahyang lima puluh kali sehari. Toh kita belum tahu bentuk sholat jika akhirnya diwajibkan lima puluh kali sehari,”  balas Kang Jan.
“Masa iya, Kang?” siwa penasaran.

“Iya, kok ngeyel. Lima kali sehari saja banyak yang kerepotan, atau setidaknya merasa direpotkan. Kalau  Cuma sekali sehari juga tidak ada jaminan akan mudah untuk dilakukan,” balas Kang Jan.

“terus?”

“Teras-terus, bobot sembahyang itu bukan soal jumlah, Siwa. Bobot sembahyang itu soal khusyuk. Mahasiswa Universitas agama kok ndak paham,” lanjut Jan.

“Lha, khusyuk itu apa, Kang?” Siwa mulai mencecar dengan pertanyaan.

“Walah, iki maneh. Sederhananya khusyuk itu artinya menikmati. Coba bayangkan, kamu makan di restoran dengan menu yang enak tapi terganggu dengan bising suara music rock yang tidak kamu suka, kira-kira kamu mau kembali ke restoran itu lagi ndak?” Kang Jan Balik bertanya.

“Yo Males, Kang. Kecuali saat terpaksa,” jawab Siwa.

“Nah itu, kamu ndak mau kembali bukan karena makanannya ndak enak to? Tapi karena kamu ndak bisa nikmat melahap panganan enak itu. Kecuali terpaksa. Lah shalat ya seperti  itu. Kalau tidak bisa menikmatinya orang juga akan males, kecuali merasa terpaksa. Karena shalat itu wajib lalu takut sama neraka, orang terus sembahyang,” Kang Jan menjelaskan.

“Terus apa salah jika orang sembahyang karena menggugurkan kewajibannya?” tanya Siwa.

“Siapa yang bilang itu salah, le? Saya ndak bilang. Ini bukan soal salah dan benar. Orang mau sembahyang saja sudah baik. Tapi lebih baik jika sembahyang itu bisa dinikmati,” jelas Kang Jan.

“Sholat itu mudah, Siwa. Tapi menikmatinya yang sulit. Orang butuh belajar banyak untuk menikmatinya,” lanjutnya.

“Tapi bukankah jika sudah cukup syarat dan rukunnya cukuplah sudah yang namanya sembahyang?” Siwa makin menjadi.

“Ya cukup dengan ukuran tertentu. Jika ukurannya fikih maka itu cukup. Jika ukurannya batin belum tentu. Ukuran yang berbeda hasil pengukurannya juga berbeda. Jadi kita tidak bisa samakan sembahyang lima puluh kali dengan lima kali sehari. Ukurannya tentu akan berbeda. Tapi hati-hati, menganut satu ukuran saja dengan terlalu fanatik dan menyalahkan segala yang berbeda itu ndak ilok. Fikih saja bisa menjadi hijab orang ketemu Tuhan,” Kang Jan semakin bergairah mengeluarkan pendapat.

“Waduh, apa-apaan lagi ini, Kang? Kenapa Fikih yang mengatur ibadah justeru menjadi penghalang orang bertemu Tuhannya?” Siwa bingung dengan ungkapan ini.

“Ya itu, kalau kita hanya memakai satu ukuran, ndak ilok. Coba kamu bayangkan. Saat sembahyang kamu sibuk mengatur kaki, memfasihkan bacaan, mengatur tubuhmu sebaik mungkin lalu kamu lupa menikmati sembahyangmu. Lalu kemana kesyikanmu bertemu Tuhan?. Nah, ini yang saya maksud bahwa fikih dapat menjadi penghalang bertemu Tuhan. Kesibukanmu yang terlalu menata zhahirmu saat sembahyang bisa-bisa menutupimu dari suasana batin yang semestinya ada pada sembahyang itu,” jelas Kang Jan.

“Terus kita cukup mengedepankan batin saat sembahyang?” sahut Siwa.

“Ya tidak. Coba pahami akar pikiran dari obrolan ini bahwa tidak baik hanya melihat perkara dari satu sisi saja, begitu pun soal sembahyang. Fikih tetap tidak boleh ditinggalkan. Kita tentu tidak boleh sembahyang telanjang. Fikih sudah mengaturnya. Yang kita butuhkan adalah keseimbangan. Itu saja.” Kang Jan menjelaskan lebih lanjut.

“Contoh lainnya, fikih itukan banyak mazhabnya. Setidaknya empat yang kita tahu di sini. Lah, kalau berpikir kaku dan dengan satu ukuran jangan-jangan kita akan beranggapan bahwa orang yang berbeda itu salah, padahal perbedaan fikih hanyalah soal kecil dalam agama.”

“terus?” Siwa semakin penasaran meski mulai mengerti inti obrolan Kang Jan.

“ Contoh lainnya adalah soal bacaan sembahyang. Jika kamu datang ke masjid dan mendapati imam sembahyang tidak fasih, kira-kira kamu mau tetap menjadi makmum atau tidak?’ Kang Jan memancing.

“Menurut fikih tidak, Kang,” balas siwa.

“Itu bukan soal fikihnya, tapi soal dirimu yang menganggap diri lebih fasih. Lagi pula siapa yang menjamin orang-orang fasih lebih khusyuk tinimbang orang tua yang membac al-Qur’an dengan dialek Jawa? Jangan-jangan kesombongan yang mendahului ibadah kita. Bagaimana mungkin kita bisa menikmati ibadah yang didahului kesmobongan?” Kang Jan menjelaskan.

“Ya, Kang. Aku wis paham, Saya harus belajar menikmati ibadah saya” ujar Siwa sembari cengar-cengir.

“Apik kalau begitu. Ya sudah, itu ada satu kamar mandi lagi yang belum dibersihkan. Tolong dibersihkan, ya. Boyokku pegel. Anak muda sepertimu lebih kuat. Saya mau istirahat sebentar.” Lanjut Kang Jan.
“Tapi, Kang?” sahut Siwa.

“Lho katanya mau belajar menikmati? balas Kang Jan sambil berkelakar dan disambut tawa siwa yang tiba-tiba.

*****
Pukul 7 malam. Masyarakat sudah berkumpul di masjid. Jamaah shalat Isya’ dimulai. Imam Isya’ kali ini adalah mbah Kardi. Kakek lima cucu ini hanya bisa membaca al-Qur’an dengan dialek Jawa. Dulu Siwa tak pernah mau menjadi makmumnya. Malam itu ia berada di urutan jamaah terdepan. Seusai sembahyang, di telinganya terngiang kalimat-kalimat Kang Jan. Malam itu malam kelahiran shalat. Siwa ingin punya cara baru menikmati shalatnya

Turut Saya Publikasikan melalui blog pribadi http://kabartersiar.web.id