"Kang mengapa kita harus bershalawat?” Tanya siwa di sela menunggu ceker ayam selesai dibakar kang Jan.
Wewangian aroma kulit ayam terbakar menyeruak di angkringan Kang Jan yang dipenuhi santri-santri pondok sebelah.
“Ya karena Tuhan dan malaikat bershalawat kepada nabi,” balas Kang Jan ringkas.
“Sebatas itukah?”
“Itu yang paling jelas kawan, ada yang disembunyikan.”
“Kok bisa ada yang jelas dan disembunyikan, Kang?” Siwa mulai kebingungan dengan cara Kang Jan menjelaskan.
“Ya karena biasanya kita lebih suka melihat atau mengerjakan yang jelas. Kurang dalam memahami makna tersirat selain yang tersurat” timpal Kang Jan.
“Penjelasan sampean ini mbulet,” Siwa kian tidak sabar dengan penjelasan Kang Jan.
“Yang tersurat itu Tuhan dan para malaikat bershalawat kepada Rasulullah. Yang tersirat Tuhan sedang mengajarkan malu,” perlahan kang Jan menjelaskan.
“Hubungannya shalawat dan malu apa, Kang?” Siwa memotong.
“Coba pikirkan dengan baik. Jika Tuhan saja yang mencipta Rasulullah mau bershalawat kepada nabi, apakah kita tidak malu jika kita tidak bershalawat kepada orang yang memberitahukan kita jalan menuju Tuhan? Pantaskah jika kita tidak mau bershalawat kepada nabi?” Pelan, tapi pasti, Kang Jan menjelaskan.
“Heem, bener juga kang. Tapi bagaimana dengan orang-orang yang menganggap shalawat itu bid’ah? Berarti mereka salah?” Siwa sedikit penasaran.
“Ibadah itu bukan hanya soal benar dan salah. Tapi juga soal penghayatan. Saya tidak ingin mengatakan mereka salah. Hak Tuhan untuk menyatakan mereka benar atau salah. Tapi ya seperti itu tadi,” Kang Jan menjawab lugas.
“Kalau tidak malu bagaimana, Kang?” Siwa memancing.
“Rasulullah sendiri ngendiko ‘kalau kamu tidak malu, maka lakukan apapun yang kau mau!’. Mengerti artinya?” Kang Jan balas bertanya.
“Bingung Kang,” Siwa berharap mendapat jawaban lagi.
“Artinya, hati itu ikut jadi ukuran. Ibadah itu bukan sekedar penampakan yang formal. Tindak tanduk juga. Kita diajarkan Tuhan untuk beribadah dengan rasa. Kehilangan malu berarti kehilangan sebagian pemaknaan atas agama. Hilang rasa agama tanpa rasa malu. Ada yang bilang ‘malu itu sebagian dari agama’.
“Lalu bagaimana Kang?”
“Bagaimana, piye?”Kang Jan heran.
“Bagaimana kalau orang tidak mau bershalawat?”
“Walah, wis iki cekere wis mateng. Yang penting kamu tanamkan dalam dirimu dulu rasa malu kalau tidak bershalawat kepada nabi. Nanti baru urus urusan orang lain yang tidak mau bershalawat! Jangan terlalu sering mengurusi orang kalau diri sendiri belum selesai. Malu…!!!” jelas Kang Jan tegas.
“Nggeh,” Siwa tersipu dan mulai mengalihkan perhatian pada ceker ayam bakar racikan pedagang angkringan sekaligus guru sufinya itu.
——–
Tulisan ini turut saya muat dalam blog pribadi http://kabartersiar.web.id