JAKARTA, ISLAMI.CO- Lembaga publik termasuk BUMN dan sekolah negeri dinilai telah lama dianggap rentan menjadi basis persebaran gagasan keagamaan intoleran dan ekstrem. Kondisi ini jika dibiarkan dapat mengancam iklim demokrasi, terlebih Indonesia sudah memasuki tahun politik yang rawan upaya politisasi identitas.
Hal itu diuungkap oleh peneliti International NGO Forum on Indonesian Development (INFID), Iqbal Ahnaf, seraya memaparkan hasil hasil riset terbaru mengenai situasi moderasi beragama berjudul “Praktik Moderasi Beragama di Lembaga Publik: Studi Kasus BSI, PLN, SMAN 53 Jakarta, dan MAN Insan Cendekia Sumatera Barat”.
Dalam Penelitian yang menggunakan metode kualitatif yang dilakukan pada periode Januari-Maret 2023 itu, terdapat sejumlah kabar baik atas praktik-praktik moderasi beragama di sejumlah lembaga publik di Indonesia.
Secara umum, lanjutnnya, moderasi beragama dapat diterima tanpa penolakan, baik dari segi pemaknaan maupun praktik kelembagaan.
“Terdapat kesadaran dari para responden untuk tidak mudah mengafirkan, meyakini bahwa mayoritas tidak sepatutnya bersikap mentang-mentang dengan mengucilkan minoritas, kesadaran untuk saling menghormati keyakinan agama, dan tidak membuat sekat berdasarkan agama dalam relasi sosial,”terangnya pada konferensi pers diseminasi hasil riset, Rabu (14/5/2023) di Jakarta.
Penelitian ini juga menemukan adanya keselarasan antara praktik kebijakan dan kebudayaan yang ada di empat lembaga dengan indikator moderasi beragama dari Kementerian Agama RI. Indikator tersebut adalah komitmen kebangsaan, toleransi, anti kekerasan, dan penghargaan terhadap budaya lokal.
Di sekolah ini, Iqbal mencontohkan, nilai-nilai moderasi beragama seperti toleransi, antikekerasan, dan nasionalisme terlihat pada kultur dan program-program sekolah seperti Profil Pelajar Pancasila, budaya sekolah damai, pluralitas agama dan gender, baik dalam organisasi kesiswaan maupun pada kegiatan keagamaan yang mengakomodasi budaya lokal.
Bahkan, adanya kolaborasi dengan pihak luar, seperti organisasi nirlaba yang peduli terhadap isu toleransi dan perdamaian, memperkuat upaya moderasi beragama di sekolah ini.
“Sementara di MAN Insan Cendekia, madrasah di bawah Kemenag RI, praktik moderasi beragama lebih bersifat formal dan menekankan pada aspek ubudiyah. Moderasi beragama dipraktikkan dengan kegiatan seminar penguatan moderasi beragama setahun sekali, mengirim delegasi untuk mengikuti kegiatan pelatihan moderasi beragama di luar sekolah dan penunjukkan Duta Moderasi Beragama,” tambah Iqbal mengafirmasi pernyataan Rizka.
Rizka Antika, Program Officer Promoting Tolerance & Respect for Diversity INFID menjelaskan lebih lanjut, di Bank Syariah Indonesia (BSI) dan Perusahaan Listrik Negara (PLN), misalnya praktik moderasi beragama secara substantif ini bisa ditemukan dalam menerapkan nilai kerja perusahaan (corporate core values) dan sejumlah langkah strategis untuk mencegah ekstremisme.
“(Di PLN melakukan) seperti sentralisasi pengelolaan rumah ibadah, kode etik penceramah keagamaan dan pengelolaan bantuan sosial. Di BSI kebijakan dress code yang membatasi pilihan mode berpakaian menjadi salah satu langkah instrumental dalam memperkuat moderasi beragama,” ungkapnya.
Sementara itu, di lingkungan sekolah negeri, praktik moderasi beragama diterapkan secara sistemik dan terbatas. SMAN 53 Jakarta bisa menjadi contoh best practice moderasi beragama tanpa menggunakan label moderasi beragama.
Kabar baik selanjutnya, penelitian ini tidak menemukan praktik diskriminasi terhadap perempuan dan non-muslim. Sebaliknya, ditemukan banyak praktik baik terkait dengan kepemimpinan perempuan dan non-muslim. Selain itu, tidak ditemukan kebijakan pemaksaan pakaian berdasarkan keyakinan agama, khususnya di lembaga yang tidak berbasis agama.
Meski demikian, penelitian ini mendapati masih adanya anggapan kritis mengenai moderasi beragama yang selaras dengan klaim organisasi radikal seperti Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) bahwa moderasi beragama dapat melemahkan akidah.
Anggapan ini ditemukan di antaranya di PLN dan MAN Insan Cendekia. Nalar penerimaan kritis ini terlihat dari nalar kewaspadaan yang menekankan pada batasan dalam moderasi beragama agar jangan menyentuh akidah dan terbatas pada aspek mu’amalah (hubungan sosial).
Selain itu, masih ditemukannya praktik moderasi beragama yang bersifat negosiatif dan berpotensi menjadi celah masuknya pemikiran radikal.
“Hal ini ditemukan dalam strategi yang menghindari pola konfrontatif, misalnya berusaha merangkul semua kelompok keagamaan. Di PLN, pola ini lahir dari perspektif perusahaan sebagai “rumah bersama” sehingga tidak ada larangan terhadap unsur yang berafiliasi dengan HTI”, ungkap Rizka.
Penelitian ini menghasilkan sejumlah rekomendasi.
Di antaranya, Kementerian Agama RI perlu mendesain implementasi moderasi beragama yang menekankan kolaborasi banyak pihak dan berkelanjutan. Kementerian BUMN RI perlu merancang ekosistem yang mendorong penguatan moderasi beragama, serta memberi perhatian terhadap kelompok atau individu yang dapat mengancam moderasi beragama.
Sementara di lingkungan sekolah, lembaga dapat mengupayakan ide-ide kreatif praktik moderasi beragama, yang tidak sebatas kegiatan, namun meliputi kebijakan dan kultur.
“Harapannya moderasi beragama pada akhirnya bisa menjamin akses setara untuk semua, perlindungan terhadap hak perempuan, misalnya tidak ada lagi pemaksaan atau pelarangan penggunaan hijab. Lalu bagaimana akses terhadap minoritas, kesempatan menjadi pemimpin, tidak terulang lagi sebagaimana pada Pilkada Jakarta beberapa tahun lalu”, tutup Rizka.
Adapun data penelitian ini, data diambil melalui wawancara terhadap 51 informan (21 perempuan dan 30 laki-laki) dari tingkat pimpinan tertinggi (direksi dan kepala sekolah), pimpinan unit (kepala bidang dan guru), konstituen (pegawai dan siswa), serta ahli. Selain itu data juga diambil melalui observasi terhadap lingkungan di keempat lembaga tersebut, termasuk pusat-pusat kegiatan sosial keagamaan. [DP]