Beberapa waktu yang lalu saya turut menjadi pengisi kegiatan seminar dan lokakarya yang diadakan oleh Majelis Ulama Indonesia DI Yogyakarta. Saat itu, saya membersamai tiga sosok Bu Nyai yang malang melintang di isu-isu keluarga, yaitu Fatma Amilia, Maya Fitria, dan Asmar. Sementara saya satu-satunya lelaki yang juga secara usia paling muda. Barangkali panitia mengundang saya karena belum lama ini saya menerbitkan dua buku terkait pengalaman membersamai istri saat hamil hingga mengasuh anak berjudul ‘Menjadi Suami Siaga’ dan ‘Menjadi Bapak Siaga’.
Kedua buku tersebut saya tulis karena kegelisahan. Sebelum menikah, saya sempat overthinking karena ada sebuah pernyataan Indonesia merupakan negara dengan tingkat fatherless yang cukup tinggi. Meski pemeringkatan yang dilakukan oleh mahasiswa UNS diperdebatkan (Indonesia disebut berada di urutan ketiga sebagai negara fatherless di dunia), namun banyak orang yang relate dengan klaim tidak adanya sosok bapak dalam proses tumbuh kembangnya. Kebanyakan karena masyarakat masih menganggap sosok bapak harus berwibawa sehingga menjaga jarak dengan anaknya.
Saya pun bertanya-tanya, apakah saya siap menjadi seorang bapak? Bagaimana sosok bapak yang harus saya tampilkan kelak jika memiliki anak?
Ada banyak lelaki yang memilih berjarak hingga tak ada jejak kehadiran dalam kehidupan sang anak. Padahal alih-alih memberi kesan yang wah, ketidakhadiran bapak seringkali membawa pengaruh negatif dalam perkembangan kehidupan sang anak. Terutama pada golden time seribu hari pertama kehidupan, sosok bapak begitu berarti untuk menemani sang ibu dan buah hati. Bagi bapak psikoanalisa Sigmund Freud, fase ini merupakan pondasi yang akan menentukan bagaimana seorang anak tumbuh di masa depan. Oleh karenanya, perlu upaya bersama untuk mencegah lahirnya generas-generasi tanpa bapak di masa depan.
Meski demikian ada banyak faktor yang membuat situasi fatherless dialami oleh sebagian orang, mulai dari pekerjaan jarak jauh, perceraian, kematian, hingga budaya patriarki yang menempatkan pengasuhan anak sebagai tugas keibuan.
Generasi ‘Khong Guan’
Saya memulai presentasi dengan menunjukkan gambar kaleng biskuit ‘Khong Guan’ yang fenomenal dan biasa tersaji saat lebaran. Dalam kaleng tersebut, terdapat gambar dua anak dan seorang ibu yang tengah menyantap hidangan. Lalu, di mana sang bapak?
Bagi sebagian keluarga, momen lebaran adalah masa-masa langka di mana mereka bisa berkumpul sebagai sebuah keluarga yang utuh. Namun ilustrasi di kaleng Khong Guan yang dibuat tahun 1970-an menunjukkan keluarga tanpa hadirnya seorang bapak di tengah-tengah mereka. Sang ilustrator, Bernardus Prasodjo, mengaku hanya menggambar sesuai pesanan agensi pengiklan yang melakukan pemesanan kepadanya.
“Menurut saya itu cara untuk mempengaruhi ibu rumah tangga supaya membeli. Jadi yang penting ada ibunya di situ. Karena yang belanja ibunya kok,” ujar Bernardus di Kompas.com. Dari pernyataan ini saja menegaskan pandangan umum di masa itu di mana urusan domestik merupakan pekerjaan ibu. Bahkan istilah ibu rumah tangga bisa dicantumkan sebagai jenis pekerjaan.
Sadar atau tidak, ilustrasi tersebut cukup memberi gambaran kondisi sebagian keluarga Indonesia pada masa itu. Ilustrasi biskuit itu diproduksi di Indonesia pada 1970-an, masa di mana Orde Baru menjalankan Program Lima Tahunan Tahap 1 dan 2. Di fase tersebut Orde Baru meletakkan dasar-dasar pembangunannya yang berkonsentrasi pada pertanian dan industrialisasi di berbagai sektor.
Di ranah keluarga, Orde Baru cukup aktif mengampanyekan ide-ide ibuisme di mana sosok perempuan bertanggung jawab penuh atas urusan kerumahtanggaan. Ibuisme ini yang kemudian mendomestifikasi peran perempuan dan lahirlah generasi keluarga tanpa hadirnya sosok bapak, baik secara fisik atau pun psikis. Untuk mencegah lahirnya ‘Neo-Khong Guan Generation’, para lelaki perlu menyadari pentingnya peran seorang bapak di dalam kerja-kerja pengasuhan anak.
Orang tua yang asyik
Seminar dan lokakarya itu mengambil tema yang unik, yaitu ‘Membangun Keluarga yang Tangguh dan Asyik bagi Anak’. Dalam sambutannya, Ketua MUI DI Yogyakarta Profesor Machasin menceritakan bagaimana masa kecilnya dibesarkan dengan keasyikan yang diciptakan oleh lingkungan sekitar, bukan keluarga. Namun saat ini situasinya berbeda. Ada banyak anak yang terlalu asyik dengan gawainya sehingga tidak punya aktivitas di ‘luar’ layar.
Di samping itu, relasi anak dan orang tua sudah semakin mencair di mana seorang bapak atau ibu bisa sekaligus menjadi teman. Terutama di wilayah perkotaan atau urban, keluarga seringkali jadi satu-satunya lingkungan aman bagi seorang anak. Oleh karenanya, kehadiran sosok ibu dan bapak menjadi begitu krusial bagi perkembangan anak lahir dan batin. Tidak sekadar hadir, namun mereka mampu menjadi orang tua yang asyik bagi anaknya.
Saya sangat mengapresiasi isu-isu kepengasuhan masuk sebagai topik yang dikaji oleh MUI. Sebagai salah satu lembaga yang banyak dirujuk oleh umat Islam, MUI punya kekuatan untuk mengajak umat mempraktikkan pola pengasuhan yang ideal dengan menghadirkan prototype keluarga sakinah, yang oleh Fatma Amilia disebut memiliki beberapa ciri, di antaranya tidak adanya kekerasan dalam bentuk apapun, menjamin tumbuh kembang setiap anggota keluarga, hingga terpenuhinya kebutuhan dasar masing-masing.
Untuk memulainya, menghadirkan sosok bapak dalam pengasuhan adalah kunci. Wallahua’lam.