CATHALA. Di tengah paranoid publik Barat terhadap Islam, walikota Creteil di Prancis melawan arus dengan mengizinkan pembangunan masjid megah di kotanya. Itulah masjid Creteil, masjid pertama dan terbesar yang dibangun di Eropa dalam waktu 100 tahun terakhir.
Di bangun di sebuah bukit kecil, di tepi danau yang tak jauh dari balai kota dan pos polisi, masjid Creteil menelan ongkos US$ 7,4 juta. Tempat salatnya bisa menampung 2.500 jemaah, sementara menaranya ada 81 buah. Dikutip “the Washington Post,” 9 Desember 2007; Molly Moore, periset dari Corinne Gavard menyebut pembangunan masjid di Creteil sebagai “pengecualian” di tanah Eropa.
Creteil adalah kota yang terletak di sebelah tenggara Paris. Di Prancis, Creteil merupakan kota dengan jumlah penduduk muslim paling banyak bahkan mungkin untuk seluruh daratan Eropa. Dari sekitar 88 ribu penduduk di kota kecil itu, 20 persen di antaranya adalah pemeluk Islam. Mereka semua beribadah di sebuah gudang bekas penyimpanan kayu hingga datang tawaran dari Laurent Cathala, walikota Creteil saat itu untuk membangun sebuah masjid.
Dan ketika mulai dibangun [delapan tahun silam], pemerintah daerah Creteil di bawah Cathala tak hanya mendukung, melainkan turut mengongkosi pembangunan kompleks masjid. Cathala bahkan berterusterang dengan semua bantuan keuangan yang disumbangkan untuk pembangunan masjid Creteil, dan hal itu tentu saja menggembirakan Muslim di Prancis di tengah paranoid masyarakat Barat terhadap Islam.
Moore mencatat, Islam di Eropa adalah agama terbesar kedua setelah Nasrani, dan Prancis adalah negara dengan jumlah penduduk Muslim paling banyak. Dari total penduduk Prancis [2007] 65 juta jiwa, sekitar 5 juta atau 8 persen di antaranya adalah muslim. Sebagian besar dari mereka adalah keturunan kedua, yang lahir, besar dan menjadi warga negara di sejumlah negara di Eropa termasuk Prancis. Tapi hingga masjid Creteil dibangun, pembangunan masjid sangat sulit terwujud di Eropa.
Dari London, Inggris hingga Cologne dan Marseille, Prancis, penduduk dan pemerintah negara-negara Eropa terus disibukkan dengan penolakan pembangunan masjid. Mereka menentang pembangunan masjid karena dianggap bisa mempengaruhi keamanan nasional dan kepribadian mereka.
Di Ibukota Inggris, London, pendirian masjid di dekat taman yang bersebelahan dengan areal Olimpiade 2012, telah ditentang besar-besaran oleh pemerintah dan warga Inggris bahkan ketika masih dalam bentuk proposal. Kaum nasionalis Swiss pernah beramai-ramai menentang pembangunan mesjid di negaranya. Di sebuah bukit kecil bernama Colle Val d’Elsa, di Tuscan, Italia, penduduk setempat melempari pintu utama menuju masjid setempat yang dalam proses pembangunan dengan sosis. Dan Kanselir Jerman, Angela Merkel pun menyerukan para anggota parlemen agar berhati-hati dengan pembangunan masjid di Jerman.
“Kubah-kubah masjid tidak boleh dibangun dengan tinggi melebihi menara-menara gereja,” kata Merkel.
Sebelum pembangunan masjid Creteil, otoritas Prancis juga sudah “berupaya” keras mengembalikan para imam masjid ke negara-negara asalnya. Para anggota DPRD di Creteil yang anti-imigran gencar memprotes penggunaan dana-dana negara untuk pembangunan pusat kebudayaan termasuk untuk masjid Creteil. Sebagian dari mereka kuatir, para wanita mereka tidak bisa lagi menggunakan bikini ketika berenang di danau dekat mesjid itu.
Tapi Moore menyebut Cathala sebagai pengecualian, dan Moore benar. Cathala, anggota Partai Sosialis Prancis yang menjabat walikota Creteil selama tiga dekade, menganggap pembangunan masjid di Creteil sebagai evolusi demografi di kotanya. Dia meyakini hal itu dan mempraktikkannya.
Lalu Senin tempo hari, sekelompok massa yang mengatasnamakan umat Islam Bekasi, Jawa Barat memprotes pembangunan gereja di kota itu. Sembari berteriak-teriak menyebut nama Allah, mereka meminta pemerintah daerah mencabut izin pendirian pembangunan Gereja Santa Clara meskipun semua persayaratan dan izin mendirikan gereja sudah selesai diurus.
Dan ini yang kemudian terjadi: Walikota Bekasi, Rahmat Effendi seperti mengamini protes yang memalukan itu, lalu menyatakan tidak boleh ada aktivitas dan pembangunan gereja sampai ada kekuatan hukum tetap oleh yang berwenang. Status quo, katanya, meski sulit dimengerti, kenapa dan untuk apa.
Gereja Katolik Santa Clara yang ditentang orang-orang Islam di Bekasi adalah gereja yang sudah ada sejak 11 Agustus 1998, dan selama 17 tahun Paroki setempat berupaya mendapatkan IMB. Dan setelah izin keluar [tiga hari sebelum Lebaran, Juli silam], entah kenapa orang-orang Islam di Bekasi kemudian menentangnya, dan perilaku mereka niscaya memalukan. Tak pelak lagi.
Saya lalu teringat Angel, perempuan asal Brastagi, Sumatra Utara yang berjualan buah tak jauh dari rumah saya. Saya dan istri sering datang ke kiosnya, dan sementara istri saya memilih buah, saya sering mengajaknya bicara. Saya memanggilnya Ito, dan dari Ito itu saya tahu, sungguh sulit bagi minoritas untuk mendirikan tempat ibadah.
Ito seorang Nasrani yang setiap Minggu terpaksa beribadah dengan menumpang sebuah aula milik kesatuan tentara. Dan setiap selesai kebaktian, dia bersama kawan-kawannya anggota jemaah gereja, berpatungan mengumpulkan dana agar bisa membayar sewa aula tempat mereka memuji Tuhan. Tak ada keluhan dari nada bicaranya, tapi kembali rumah, saya terisak. Saya malu.
Di mana saja di seluruh dunia, minoritas memang selalu mendapat tekanan termasuk untuk mendirikan tempat ibadah. Mereka dianggap sebagai warga kelas dua, dan selalu dituntut menghormati mayoritas. Kaum mayoritas itu, celakanya sering menyandarkan alasan mereka menekan minoritas, kepada ajaran agama, termasuk yang terjadi di Bekasi, Senin silam.
Mereka tampaknya lupa, bahwa tak ada satu ayat pun di Al Quran, juga ucapan dan tindakan Nabi Muhammad saw. yang mengajarkan untuk melarang penganut agama lain mendirikan tempat ibadah. Tidak pula ada larangan untuk berbeda keyakinan karena Islam adalah agama yang merahmati seluruh alam. Tidak ada ajaran kebencian di sana. Tidak juga diajarkan untuk curiga dan berburuk sangka.
Dan sungguh adalah ironi, bila semua ajaran baik seperti itu, kemudian justru dipraktikkan oleh Cathala, yang delapan tahun lalu mendukung dan memberi ongkos pembangunan masjid di kotanya, Creteil.
Simaklah kemudian yang dikatakan Cathala saat menjawab protes orang-orang yang menentang pembangunan masjid di Creteil itu: “Jika Anda belajar tentang keadilan, Anda tidak bisa hanya mengakui sebagian penduduk dan tidak mengakui sebagian penduduk yang lain, apalagi dalam soal agama dan keyakinan mereka.”