Masalah musik sering kali dibahas dari kacamata teosentris. Di satu sisi, ini memang tidak salah. Tapi di lain sisi, itu terlalu reduktif, seperti dalam podcast Ahmad Dhani bersama Felix Siauw dan Fatih Karim, misalnya.
Intinya adalah dua hal: pertama, meskipun kita punya lebih dari cukup literatur, dalil dan pendapat dari berbagai macam sudut pandang, namun perdebatan tentang halal-haram musik selalu sulit menemukan titik final. Kedua, berdebat tentang halal-haram musik sulit memberikan manfaat jika sebagian pendapat yang mewarnainya tidak mengandung horizon antropologis dan ethno-musikologi yang memadai.
Sayangnya, musik sebagai ruang ekstatik, akhir-akhir ini mulai dijamah sebagai komoditas ‘wilayah’ sengketa oleh sebagian agawaman islamisme dengan membenturkan musik sebagai ekstasi kebudayaan dan musik sebagai ekstasi relijius.
Ada dua kemungkinan kenapa pembenturan ini dilakukan: pertama, bisa jadi, ini hanya murni spontanitas pemilihan topik untuk mengisi konten media sosial demi keberlanjutan monetisasi daring. Kedua, bisa jadi, ini adalah entry point gerakan islamisme untuk mendelegitimasi ‘suara-suara’ lokal seperti dangdut, nyinden, campur sari dan lain sejenisnya.
Jika upaya pendelegitimasi suara lokal ini berhasil, maka dapat dikatakan islamisme telah berhasil melakukan supremasi kebudayaan. Mengurai musik tentu tidak sesederhana masalah dikotomi “ini suara sekuler” dan “ini suara ilahi”, “ini suara menyeru kebaikan” dan “ini suara menyeru keburukan.”
Dengan kata lain, ada variabel-variabel pertimbangan yang lebih luas dari sekedar pertimbangan profan/imanen yang harus diikutsertakan, misalnya: bagaimana suatu musik dan alat musik digunakan oleh kelompok masyarakat tertentu? apa fungsi sosial dan antropologisnya? bagaimana tonality suatu musik bercerita?
Selain membawa kita pada dimensi filosofis, turunan dari dua pertanyaan ini juga akan mengantarkan kita pada pertimbangan-pertimbangan etis, baik itu yang berasal dari budaya ataupun dari agama. Karena, musik adalah kebudayaan. Dan kebudayaan tidak pernah tidak mengandung cara pandang, worldview, atau weltanschauung. Sementara, worldview selalu menentukan bagaimana suatu masyarakat tertentu mengoperasionalkan etika. Seorang biksu mungkin akan berkerut dahi jika mendengar campur sari-nya Didi Kempot, pun sama halnya jika Hanan Attaki diputarkan Armin van Buuren.
Masalahnya adalah, kita nyaris tidak pernah mau memahami orang/kelompok masyarakat/kebudayaan lain lewat musik. Sebagian agamawan biasanya terlalu angkuh untuk berwisata lewat musik karena takut jubah ilahiyahnya kotor. Sehingga, sensibilitasnya dalam memahami worldview yang berbeda dengan dirinya tidak terlalu jernih.
Ambillah taruhan yang paling ekstrim. Andai saja agamawan islamisme disuguhi musik Black Metal― yang muatannya tidak lepas dari tema satanisme, mitologi nordik, sinisme terhadap agama abrahamik dan alam―mungkin resistensi mereka akan muncul dengan intensitas yang paling tinggi, dan akan menyampingkan konteks bahwa tema-tema yang demikian sengaja diangkat sebagai ekspresi perasaan terpinggirkan akibat supremasi nasrani di tanah nordik, dan sebagai bentuk kritik mereka terhadap wajah modernitas, humanisme, dan sejenisnya yang sering kali dipromosikan secara indah, namun dipraktikkan dengan bermuka dua.
Artinya, kita seringkali lupa―atau bahkan, mungkin ‘enggan’―melunakkan worldview kita ketika memasuki musik sebagai ruang ekstatik. Sehingga, ketika keluar dari ruang ekstatik itu, jangankan mendengarkan secara serius dan mendapat hikmah, kita justru keluar dengan tangan kosong dan keangkuhan yang makin terakumulasi. Keangkuhan ini bisa semakin menjadi-jadi jika tidak diimbangi dengan ketelitian dalam membedakan mana ekspresi kultural dan mana ekspresi religi.
Di beberapa kanal media sosial penjajak agama, masalah musik sering kali dibahas dari kacamata teosentris. Di satu sisi, hal ini memang tidak salah. Tapi di lain sisi, hal ini terlalu reduktif, sebab semangat islamisme memaksakan diri meninjau musik-musik yang latar belakang sosio-historis beragam lewat satu sudut pandang. Implikasinya, kanal-kanal sejenis ini kerap berakhir di salah satu ajang dari kemungkinan-kemungkinan berikut: (1)deklarasi superioritas agama atas segala hal; (2) klaim sepihak agama terhadap kontribusi kebudayaan kelompok/periode tertentu; (3) penghakiman kebudayaan.
Anda bisa simak dengan saksama, misalnya, dalam podcast soal halal-haram musik yang diisi oleh Ahmad Dhani, Fatih Karim dan Felix Siauw. Begini saya kutipkan verbatim pertanyaan Dhani:
“musiknya (yang diharamkan) pada masa Rasulullah itu seperti apa? Apakah sudah do-re-mi-fa-sol? Karena, musik yang kita tau sekarang ini adalah musik modern. Se-kuno-kuno-nya musik modern yang bisa kita akses, adalah Johann Sebastian Bach (1700-an). Kan ga mungkin musik pada masa itu (1700) sudah diharamkan pas jaman dulu(?)”
Lalu, semua klaim itu ditegaskan Dhani lewat pernyataan: “musik yang paling kuno (yang bisa kita akses) ya itu.”
Di samping itu, Dhani bahkan membuat spekulasi tak berdasar soal alat musik harpsichord: “sebelum piano dan organ, dulu ada alat musik namanya harpsichord. Kemungkinan, itu yang menciptakan namanya Al-Habsy.”
Felix lalu menambahkan, “taun berapa itu kira-kira?”
“ya mungkin jaman-jaman-nya khilafah,” jawab Dhani.
Felix kemudian merespon dengan antusias (meski sorot matanya terlihat menyembunyikan ketidak-tauan): “tenyata (di zaman khilafah) ada lho mas (alat musiknya)” dan tiba-tiba lompat cerita soal notasi solfeggio (do-re-mi), bahwa: notasi solfeggio adalah berasal dari arab, duror musfassolat > do-re-mi-fa-sol.
Tentu saja ada beberapa catatan yang ingin saya ajukan di sini. Pertama, hubungan antar premis kalimat (baik itu pertanyaan ataupun jawaban, ataupun tambahan) dari tiga pembicara itu banyak yang patah dan tidak nyambung, secara retorik. Ciri minimal pembicaraan yang berkualitas adalah, punya alur dan struktur premis yang nyambung dan solid. Karena, ketertataan premis kalimat menunjukkan ketelitiaan si pembicara dalam bertutur, merespon dan mengolah informasi yang akan disampaikan.
Kedua, Bach bukanlah musik terkuno yang bisa kita akses. Pada faktanya, label rekaman AliaVox sampai saat ini masih terus menyajikan musik-musik kuno kedaerahan yang dirilis lewat album-album tematik. Misalnya album Jerusalem: La Ville des Deux Paix yang memuat Chanson perang salib gubahan Marcabru (1100-1150 M), Pax in Nomine Domini. Di samping itu, album ini juga memuat tiga Ghazal (sejenis syair) dengan tiga bahasa (Yunani, Ibrani dan Arab) dan tema yang berbeda (kerinduan terhadap tanah air, pujian terhadap Taurat, dan sholawat nabi), namun dengan musikalisasi yang sama.
Ketiga, Bach bukan termasuk musik modern. Sebaliknya, ia berkontribusi besar bagi bagunan musik modern (termasuk bagi Electronic Dance Music), khususnya lewat warisan teknik counterparts-nya. Pun, pada kenyataannya, Bach banyak berhutang dari pengaruh Antonio Vivaldi dan warisan gregorian chant, khususnya bagi konserto, kantata dan misa milik Bach.
Keempat, menyambungkan harpsichord dengan al-habsy dapat dikatakan sebuah upaya misinformasi yang kelewat fatal. Spesimen harpsichord paling awal berasal dari Italia (1521). Alat musik ini kemudian dikembangkan menjadi piano oleh Bartholomeo Christofori.
Kelima, metode solfeggio bukan berasal dari Arab, tapi dari Italia, digagas oleh Guido da Arezzo sekitar abad ke-11. Memang ada dugaan alternatif yang menganggap solfeggio ini berasal dari duror mufassolat, namun tidak pernah ditemukan bukti empirisnya.
Keenam, sepanjang podcast ini berlangsung, tidak ditemukan pernyataan kesimpulan yang secara lugas menyatakan (atau minimalnya upaya klasifikasi) mana musik yang haram dan tidak. Andai misal Felix Siauw dan Fatih Karim mendengar karya-karya Bach, mungkin mereka akan sependapat bahwa Bach adalah haram, karena sebagian besar musiknya terinspirasi dari Bible.
Pun begitu, Bach adalah musisi yang―meminjam istilah pesantren―setaraf kiai. Selain keliling istana mulai dari Postdam hingga Brandenburg, hidupnya ia habiskan dengan menulis kantata dan misa untuk mengiring ibadah mingguan di gereja tempat ia mengabdi.
Sebagai penutup, saya ingin mengutip sebuah maqolah yang masyhur di kalangan pesantren, begini: “hikmah yang hilang berhak dipungut oleh seorang muslim di manapun hikmah itu ditemukan.”
Di tulisannya yang berjudul Intelektual di Tengah Eksklusivisme yang terbit di Prisma Edisi III, Maret 1991, Gus Dur pernah bilang: “Saya membaca, menguasai, menerapkan Qur’an, Hadist dan kitab-kitab kuning tidak dikhususkan bagi orang Islam. Saya bersedia memakai yang manapun asal benar dan cocok dengan hati nurani. Saya tidak mempedulikan apakah dari Injil ataupun Bhagavad Gita kalau bernas kita terima.”
Jadi, dibanding menjadikan musik sebagai komoditas perseteruan, alangkah lebih berfaedah jika musik dijadikan sumur hikmah kebudayaan. Hanya saja, masalahnya, mendengarkan dengan teliti kemudian mencoba memahami jauh lebih sulit dibanding mendengar kemudian menghakimi. Tuturan yang tidak berfaedah adalah hasil dari pendengaran yang tidak teliti. Wallahu a’lam. (AK)