Ada yang ramai dalam dunia dakwah tanah air belakangan ini. Yakni “kesalahan” Ustadz Adi Hidayat (UAH) dalam mentashrif (merubah bentuk kata) Takziyah تَعْزِيَّة. Takziyah umum digunakan sebagai istilah melayat orang yang meninggal. UAH berusaha membetulkan akar kata Takziyah. Sayangnya menurut ahli sharaf, pembetulannya itu malah keliru.
UAH itu mengambil jurusan Bahasa dan Sastra Arab di Islamic Call College, Libya. Lalu meneruskan jenjang S2 di konsentrasi yang linier. Artinya secara keilmuan, UAH cukup kredibel untuk menyampaikan aspek kebahasaan, termasuk Sharaf (Morfologi).
Lalu mengapa bisa keliru pada persoalan dasar seperti itu?
Perlu diketahui, umumnya pesantren Indonesia atau madrasah tradisional menggunakan buku kuning berjudul Amtsilah Tashrifiyyah. Murid/santri menghafal pola perubahan kata berdasar kitab itu. Umumnya begitu.
Seperti namanya, Amtsilah (contoh-contoh), maka kitab itu berisi rangkaian contoh perubahan kata dari satu kata dasar ke kata-kata turunannya.
Tak heran, santri itu pinter-pinter urusan Tashrif (mengubah bentuk kata). Nyaris di luar kepala. Diberi kata dasar apa saja, mudah bagi mereka untuk mengubahnya menjadi bentuk yang bermacam-macam.
Namun, tradisi ini tidak begitu populer di Timur Tengah, khususnya di perguruan tinggi. Sharaf itu teoritis. Yang dibahas: pola, bina’, mujarrad-mazid, qolbul makani, dan lain-lain. Sebetulnya teori-teori itu cukup berat diikuti oleh santri-santri tradisional kalau mereka punya pola pikir tidak terbuka.
Contoh kecil. Dalam tradisi sharaf nusantara, kata رَ yang artinya “lihat” tetap berpola اِفعَلْ. Berbeda dengan tradisi Timur Tengah yang mengganggapnya berpola فَ saja. Persoalan Qolbul Makani (pertukaran posisi huruf) juga tak terlalu populer di nusantara.
Begitu juga dalam Nahwu. Santri mungkin akrab dengan hafalan alfiyyah, tapi tidak selalu demikian dengan murid jurusan bahasa di Timur-Tengah. Sebaliknya, santri nusantara juga mungkin akan kesulitan dengan tradisi keilmuwan pembelajar bahasa di Tim-teng. Perdebatan madzhab Bashrah dan Kufah, misalnya.
Jadi ini soal tradisi keilmuwan. Yang bukan menjadi tradisi kita, sulit bagi kita untuk mencapai derajat “luar kepala”. Begitu pula orang lain yang tumbuh bukan di tradisi yang kita punya.
Tanpa bermaksud membelanya, saya jamin bahwa dalam hal Nahwu-Sharaf, UAH berbeda dengan Tengku Zul atau Hasan Haikal. UAH memang punya otoritas keilmuwan untuk bicara hal itu. Hanya saja UAH tumbuh dan hidup di tradisi yang berbeda dengan mayoritas santri nusantara. Demikian.