Sebagai bangsa yang berkeTuhanan, jangan bayangkan kalau Tuhan menciptakan setiap sesuatu itu sia-sia. Dan tidak ada makhluk ciptaan Tuhan di dunia ini yang unfaedah. Termasuk setan sekalipun. Kira-kira, itu bayangan saya terhadap apa yang dipikirkan Amien Rais.
Kita juga patut berpikir, mau dikemanakan realitas setan yang kini telah dikapitalisasi untuk sesuatu yang cukup menghasilkan. Dalam arti, kita bahkan musti dituntut untuk rela ngantre dan bayar dengan sejumlah uang terlebih dahulu di bioskop-bioskop terdekat anda hanya untuk menghadirkan nuansa horor yang sangat setan-able.
Masalahnya, sebagian orang seringkali keburu mengkambinghitamkan setan dengan sangat paripurna untuk menuduh pihak-pihak lain yang tidak satu frekuensi dengan mereka.
Lebih jauh, sebagai makhluk yang diciptakan untuk menguji ketangguhan setiap orang beriman, setan belum lama ini disebut telah memiliki partai. Partai Keadilan Setan.
Seperti diketahui, hal itu mengemuka dalam tausiyah Ketua Penasihat Persaudaraan Alumni 212, Amien Rais soal dikotomi partai, saat memberi tausiyah usai mengikuti Gerakan Indonesia Salat Subuh berjemaah di Masjid Baiturrahim, Mampang Prapatan, Jakarta Selatan, Jumat (13/4) pagi.
“Sekarang ini kita harus menggerakkan seluruh kekuatan bangsa ini untuk bergabung dengan sebuah partai. Bukan hanya PAN, PKS, Gerindra, tapi kelompok yang membela agama Allah, yaitu hizbullah. Untuk melawan siapa? untuk melawan hizbusy syaithan,” ujar Amien seperti dikutip dari CNNIndonesia.com.
Lebih lanjut, mantan ketua MPR itu menjelaskan, bahwa—hizbusy syaithan yang dimaksud adalah— orang-orang yang anti-Tuhan, itu otomatis bergabung dalam partai besar, yaitu partai setan. Namun, dia sendiri tak membeberkan partai apa saja yang masuk kategori partai setan. Amin Rais justru menyatakan bahwa yang dimaksud adalah cara berpikir, bukan partai dalam konteks politik praktis.
Jujur, saya kira hal ini bukanlah perbandingan yang seimbang. Masak partai setan dikontras-rivalkan dengan partai Allah. Bahkan, andaikata setan punya hak bicara sekalipun, saya menuduh dia pasti akan sangat keberatan dengan drawing yang tidak fair itu.
Betapa tidak, seolah-olah dibayangkan bahwa setan sedang berhadapan dengan Sang Penciptanya sendiri sebagai lawan. Wong, enggan sujud kepada Adam saja berujung hengkang dari surga kok. Apalagi membangun koalisi untuk beroposisi. Etapi itu Iblis deng.
Ironinya, politisasi setan itu kini semakin kaffah ketika belakangan anggota Wanhor PAN, Dradjad Wibowo mengatakan, bahwa Pak Amin berbicara dalam konteks tauhid Islam dan lalu mengklaim jika yang menjadi rujukan Pak Amin adalah telah sesuai dengan Alquran surah Al-Maidah ayat 56.
“Alquran Terjemahan Kementrian Agama mengartikannya (hizbullah) sebagai pengikut Allah, dimana ‘hizb’ ini bisa juga diartikan sebagai golongan, kelompok, grup, atau partai,” jelas Dradjad sebagaimana dilansir detik.com (13/4/2018).
Adalah suatu sikap yang tidak bijaksana saya kira, ketika ayat Alquran digunakan untuk menjustifikasi propaganda kebencian, atasnama nama apapun. Apalagi jika hanya terjemahan.
Pun jika benar yang dimaksud oleh Amin Rais adalah “cara berpikir yang untuk Allah dan yang diikuti oleh setan”, penggunaan frasa ‘partai setan’ ini memiliki konsekuensi yang sangat serius, baik politis maupun teologis.
Pertama, pernyatan ‘partai setan’ sebagai cara berfikir dan bukan merupakan partai politik sepertinya sangat ambivalen ketika pada saat yang sama disebutkan sejumlah nama partai politik yang jelas-jelas itu sangat praktis dan entah dari sudut pandang mana dianggap sebagai kelompok yang membela agama Allah.
Kedua, dalam konteks tradisi keagamaan, eksistensi setan diimani agar manusia senantiasa lebih waspada terhadap segala tipu dayanya. Ia bahkan disebut mengalir dalam setiap aliran darah manusia untuk menjerumuskan orang beriman kepada jurang kesesatan yang hakiki.
Dalam salah satu literatur keislaman yang cukup terkenal, Ihya’ Ulumuddin, Imam Ghazali pada titik ini memiliki pemaknaan yang saya kira lebih elegan daripada sekadar bersikap antipati buta—dengan memaknai setan sebagai eksistensi yang independen karena ketidakpatuhannya kepada Sang Pencipta.
Ya, sebagaimana pernah disampaikan oleh Ulil Abshar Abdala dalam sebuah diskusi di Jogja awal Februari 2018 lalu, bahwa Al-Ghazali lebih memilih memaknai setan sebagai energi negatif yang hal itu jika tidak ditekan dapat mendorong manusia berlaku tidak terpuji.
Lebih jauh, dalam pengertian inilah kita akan bisa memahami bahwa Nabi itu maksum, sementara kita enggak. Sebab, memang fitrahnya jika setiap Nabi itu terhindar dari dosa karena energi negatif itu telah dikandaskan terlebih dahulu sebelum kemudian dilantik menjadi utusan-Nya.
Kanjeng Nabi Muhammad, misalnya, yang dalam banyak literatur Islam disebut telah dibelah dadanya untuk dibersihkan jiwanya saat kecil mempertegas pandangan ini.
Lah kita? Disuruh puasa untuk mengontrol hawa nafsu saja masih tergoda sama iklan sirup kok pengen maksum.