Catatan Umrah Bagian 4: Masjid Quba yang Bersejarah

Catatan Umrah Bagian 4: Masjid Quba yang Bersejarah

Catatan Umrah Bagian 4: Masjid Quba yang Bersejarah

Menjelang area parkir, bus yang saya tumpangi berhenti mendadak. Tubuh saya terlempar ke depan. Bus ini berhenti beberapa inci dari bus di depannya. Di depannya lagi ada mobil pengawal berwarna hitam.

Saya tak tahu apa yang terjadi.

Bus yang saya tumpangi bernomor badan 2. Bus di depannya bernomor 1. Di belakang bus saya, mengikuti bus 3 hinga nomor 7. Artinya, ada 7 kelompok peserta dari 7 negara yang berjalan beriringan dari kaki Gunung Uhud, lokasi kunjungan pertama. Namun, hanya dua yang masuk ke halaman parkir setelah rem yang mendadak itu hanya dua bus. Bus yang saya tumpangi dan Bus 1.

Karena diminta, kami turun dan akan berjalan menuju masjid di seberang sana. Tetapi seorang pemuda bergamis yang menutupi kepala dengan surban bicara dengan kernet bus.

Kami diminta naik kembali dan bus membawa menuju parkir di dalam lokasi masjid.

Suasananya mirip di lokasi-lokasi peziarahan di Indonesia. Puluhan bus parkir. Orang-orang berjalan menuju masjid bercat putih. Yang membedakan ratusan orang yang berkunjung sebagian besar tak berwajah Indonesia.

Tak ada yang berjualan. Papan pengumuman bertuliskan Arab dan Inggris.

Ini Masjid Quba yang banyak disebut-sebut disebagai masjid pertama yang dibangun dalam sejarah Islam. Saat memasuki area parkir, saya melewati kebon korma di antara lahan yang gersang. Kebon itu ditutup pagar bertuliskan sedang ada pembangunan.

Tak jauh dari parkir, menuju masjid ada taman dengan rerumputan hijau dan beberapa pohon korma yang menyegarkan mata.

Saya melewati taman itu, terus melesak ke kerumunan orang menuju tempat wudhu di bagian bawah masjid.

Panitia memberi kami waktu 20 menit untuk shalat sunnah. Di atas bus, pendamping kami bilang shalat di masjid di pinggiran kota Madinah itu punya keutamaan. Konon pahalanya sama dengan berumrah.

Saya bergegas wudhu dan kembali ke masjid lewat sebuah tangga. Di pintu masuk seorang petugas berteriak. Ikhwan!” ia menunjuk tas punggung untuk dititipkan.

Tas itu tak boleh masuk. Karena khawatir tak aman, saya memang membawa tas hitam berisi beberapa perlengkapan, termasuk obat-obatan. Tapi gara-gara inisiatif ini, saya gagal masuk masjid.

Tak saya jumpai dekat situ tempat penitipan tas. Karena tampaknya akan lama, saya urung shalat di dalam masjid. Sebagai gantinya saya pergi ke bagian bawah

. Di sini ada karpet yang dibentangkan. Di atasnya tertutup atap. Posisinya dekat tangga masjid, tak jauh dari tempat wudhu.

Menurut catatan sejarah, tempat shalat saya itu masih tanah milik Khultum bin Hadm, warga Desa Quba.

Rumahnya berada di lokasi yang sekarang masuk dalam gedung masjid. Ketika hijrah yang bersejarah itu terjadi, Nabi yang ditemani di antaranya oleh Abu Bakar Siddiq tinggal di rumah milik khultsum bin Hadm beberapa malam.

Setelah itu Nabi pergi menuju hingga tiba di lokasi yang kini menjadi masjid Nabawi.

Ketika masjid dibangun, Nabi ikut mengangkat batu dan kerikil. Penyelesaianya dilakukan di masa Sahabat. Putra Mahkota Mohammed bin Salman melakukan renovasi besar-besaran masjid itu: sepuluh kali lipat. Ini bagian dari program restorasi 130 masjid di Arab Saudi di bawah Visi 2030. Masjid Quba hasil renovasi mampu menerima lebih dari 66.000 jamaah.

Sebelum kembali ke bus, saya mengambil beberapa gambar. Suasana siang makin terik. Di taman rerumputan seorang petugas, mungkin asal Banglades, menyiram. Suara airnya menyegarkan. Setelah semua peserta berkumpul, bus membawa kami kembali ke hotel.

Madinah, 24 November 2024
Alamsyah M Djafar