Di antara tujuan pergi ke Mekkah, saya ingin mengunjungi makam Bapak. Emak bilang, Bapak dikuburkan di Ma’la. Hanya itu.
“Emak tidak mengantar Bapak?” tanya saya. “Polisi tak bolehkan,” jawab Emak.
Menurut Emak, menjelang Thawaf Wada, Bapak sudah kepayahan. Emak sudah bilang, jika tak kuat lebih baik Bapak beristirahat. Ditolaknya saran itu. Bapak minta thawaf.
Usai thawaf Bapak beristirahat, keadaan makin memburuk. Bapak dinyatakan meninggal.
Ma’la rupanya terbagi dua: di utara dan selatan.
Saat saya kunjungi, kedua makam itu dikunci. Tak ada para peziarah dan hanya ada angin di situ. Taksi yang membawa saya berhenti di trotoar setelah melewati Majid Jin. Saya tahu sebab supir berusia tiga puluh tahun itu memberi tahu saya dengan telunjuknya.
Jadi saya mulai dari lokasi makam yang pertama.
Saya datang ke sini lewat sebuah tangga dari arah parkiran berbayar. Ada jalan selebar dua meter. Sebelah kiri ada bangunan rumah toko. Sebelah kanan pagar makam.
Saya berhenti dan mengambil gambar agar bisa saya kirim ke keluarga.
Saya tak tahu di mana persisnya Bapak. Hanya ada batu putih berjajar di dalam garis dari semen. Saya membaca al-fatihah dan berdoa.
Setelah puas saya terus menyusuri jalan. Menjelang jalan raya, ada tanah kosong yanh tampaknya juga kuburan. Sebab ada batu-batu putih berjejer.
Di pagar tertulis “Jembatan Kuburan”. Saya tak tahu makam siapa yang ada di situ.
Di jalan utama, di seberang saya ada pemakaman Mala yang kedua.
Di sini tempat Siti Khodijah, istri Nabi, dimakamkan. Tempatnya di balik pintu dalam lokasi pekuburan. Pekuburan itu tampak istimewa sebab dikepung pagar.
Tempatnya berundak-undak. Selain lokasi itu, semua lokasi sama. Terbuka dengan batu-batu putih.
Selain Khadijah, sebagian keluarga Nabi di makamkan di sini. Ibunda Nabi Aminah, kakeknya Abdul Muttalib dikubur di sini. Begitu juga sejumlah sahabat terkemuka.
Di balik pagar dekat jalan raya itu saya berdoa untuk Bapak. Mungkin jika tak di lokasi pertama tadi, di lokasi ini Bapak dikubur. Wallahu a’lam.
Selama di sana, saya mengingat wajah Bapak. Saat berfoto bersama Emak di punggung unta, wajah Bapak tersenyum. Wajahnya segar.
Ia mengenakan sorban putih merah yang dililit di lehernya. Itu foto saat berhaji entah hari keberapa sebelum Bapak pergi.
Saya mengirim foto-foto Ma’la ke kakak dan adik saya.
“Semoga suatu waktu bisa berziarah ke Bapak,” kata saya.
Mekkah, 27 November 2024
Alamsyah M Djafar