Akhir-akhir ini hubungan sebagian “ulama” dengan pemerintah kembali mengalami ketegangan. Aksi “bela ulama” diklaim oleh para pembelanya sebagai sikap melawan pemerintah yang telah melakukan kriminalisasi terhadap ulama yang konon dianggap telah melontarkan “kritik-kritik” tajam. Pertanyannya, bagaimana cara ulama memberikan nasihat atau melancarkan kritik terhadap pemerintah dalam perspektif ahlussunnah wal jamaah?
Indikator yang mudah ditandai dari seorang ulama; apakah dia ulama Ahlussunnah atau bukan adalah dengan melihat caranya dalam memberikan nasehat maupun kritik kepada pemerintah. Ulama Ahlussunnah itu tahu diri akan posisi dan kapasitasnya.
Jangankan ulama, Rasulullah sendiri telah berulang-ulang kali diberikan pesan oleh Allah Swt agar melakukan musyawarah sebagaimana dalam beberapa firman-Nya: “wa syawirhum fil amri” (QS Alu-Imran: 159); “lasta alaihim bi mushoithir” kamu bukan ditugasi untuk merekayasa! [QS Al-Ghasyiyah: 22]; “wa ma anta alaihim bi jabbar” kamu tidak berwenang memaksa! [QS Qaf; 45], dan sejumlah ayat lainnya.
Dalam satu hadits yang diriwayatkan dari Iyadh ra. diriwayatkan bahwa Nabi Muhammad saw bersabda, “Barangsiapa bermaksud menasihati pemerintah maka janganlah lancang! melainkan hendaknya ia pegang tangan pemimpinnya dan mengajak bicara “empat mata”. Jika nasihatnya diterima maka itu yang diharapkan. Jika ditolak maka ia sudah melakukan kewajiban.” (HR. Imam Ahmad).
Oleh sebab itu Ulama Ahlussunnah dalam melakukan kritik dan saran terhadap pemerintah memiliki ciri tersendiri, yaitu:
(1) dikemukakan dengan santun sebab ikhlas yang disampaikan identik dengan kesantunan.
(2) disampaikan dengan baik sebab nasehat yang diberikan identik dengan kebaikan.
(3) dilakukan secara kolektif sebab kritik membangun identik dengan hajat hidup manusia secara umum. Ikutilah cara ulama Ahlussunnah dalam mengkritik pemerintahnya!
Ketiga ciri dan cara ulama mengkritik pemerintah itu ditradisikan karena alasan yang sesuai dengan sabda Rasulullah yang diriwayatkan dari Abdullah bin Masud:
“terdapat tiga perkara yang hatinya orang Islam tidak bisa dibohongi, yaitu: perbuatan yang tulus, memberi nasihat kepada pemerintah, dan loyalitas seseorang terhadap golongannya. (yang pura-pura, suatu saat pasti terbongkar! mengapa?) sesungguhnya doa (baik dan buruk) mengelilingi mereka dari belakang”. (HR. Imam Tirmizdi).
Tidak semua kalangan memahami cara pandang ulama Ahlussunnah dalam mengkritik pemerintah itu. Ada yang menyebut mereka sebagai ulama status quo, patron kekuasaan, bahkan menganggap tidak pro amar ma’ruf nahyi munkar. Cibiran itu muncul sebab pemahaman mereka telah tergerus oleh paham lain, yang menjadikan doktrin amar ma’ruf nahyi munkar sebagai rukun iman.
Sementara paham ahlussunnah hanya meyakini rukun iman yang enam, dengan rukun pamungkas iman kepada qada dan qadar Allah. Manusia hanya ikhtiyar dan tawakkal: Selebihnya segala urusan menjadi priogratif Allah Swt. Dikarenakan Allah yang berhak mutlak atas qada dan qadar maka didalam menjalankan amar ma’ruf nahyi munkar yang utama adalah mencari ridho Allah. Dus, bagaimana ridho Allah dapat diraih apabila dilakukan tidak santun, tidak baik, dan tidak mengutamakan kepentingan yang lebih besar.
Pada dasarnya ketiga ciri dan cara ulama Ahlussunnah mengkritik pemerintah itu ditradisikan karena alasan yang sesuai dengan sabda Rasulullah. Dalam hadits yang diriwayatkan dari Abdullah bin Masud, Nabi Muhammad bersabda: “terdapat 3 perkara yang hatinya orang Islam tidak bisa dibohongi, yaitu: perbuatan yang tulus, memberi nasehat kepada pemerintah, dan loyalitas seseorang terhadap golongannya. (yang pura-pura, suatu saat pasti terbongkar! mengapa?) sesungguhnya doa (baik dan buruk) mengelilingi mereka dari belakang”. (HR. Imam Tirmizdi).
Dengan kata lain ulama Ahlussunnah pantang berpura-pura apalagi merekayasa isu hoax sebagai bahan kritik terhadap pemerintah. Ulama Ahlussunnah tak mau kuwalat. Terlebih lagi mereka khawatir doa buruk berbalik kepada mereka. Na’uzdubillah!