Cara Simpel Membuktikan Adanya Ketimpangan: Lihat Kelompok Rentan yang Terdampak Krisis Lingkungan

Cara Simpel Membuktikan Adanya Ketimpangan: Lihat Kelompok Rentan yang Terdampak Krisis Lingkungan

Cara Simpel Membuktikan Adanya Ketimpangan: Lihat Kelompok Rentan yang Terdampak Krisis Lingkungan
ilustrasi

Suatu hari, saat ingin menghadiri acara di daerah Menteng Jakarta Pusat, saya berbincang dengan seorang driver ojek daring yang membawa saya. Dia bercerita, bahwa selama terjadi panas ekstrem, ia dan keluarga hanya bisa pasrah. Di tempat tinggalnya yang sempit, ia hanya mengandalkan satu kipas angin yang digunakan bergantian sekeluarga.

Saya cukup tersentak mendengar cerita itu. Sementara bagi orang lain yang sedikit berpunya, panas ekstrem adalah waktu yang pas untuk bersih-bersih AC, atau bahkan jika perlu, mengganti yang lama dengan yang baru. Mereka tak harus bergantian dengan anggota keluarga untuk merasakan ademnya AC sebagaimana tukang ojek yang mengantar saya.

Inilah salah satu bukti ketimpangan yang nyata. Kelompok rentan hanya bisa pasrah, bahkan tak bisa lari dari krisis iklim, sementara kelompok yang punya uang bisa dengan mudah lari dari ‘bencana’ itu.

Data Asosiasi Praktisi Pendingin dan Tata Udara Indonesia (APITU) menyebutkan bahwa ada peningkatan penjualan AC sejak panas ekstrem tahun tahun 2023 lalu. Rata-rata sedikitnya 20 ribu unit AC terjual dalam waktu sebulan di Indonesia. Itu berarti, dalam setahun ada sekitar 240 ribu unit AC dengan berbagai daya dan kapasitas telah dibeli masyarakat.

Tebak, siapa kelompok masyarakat yang membeli AC pada saat panas ekstrem? tentu kelompok menengah ke atas. Lalu, bagaimana dengan kelompok masyarakat miskin? Apakah mereka tidak terpapar panas ekstrem? Tentu terpapar, namun mereka tak bisa menghindar karena tak mampu membeli pendingin ruangan.

Menurut Penelitian European Environtment Agency yang diterbitkan pada April 2024, menunjukkan bahwa ketimpangan lingkungan berdampak langsung pada kesehatan, ekonomi, dan kualitas hidup masyarakat yang terpinggirkan. Ketika kita melihat seseorang yang tinggal di daerah padat penduduk dengan polusi udara tinggi, mereka biasanya adalah orang-orang yang tidak punya pilihan lain.

Mereka terpaksa menerima kondisi lingkungan yang buruk karena itulah satu-satunya tempat yang bisa mereka tinggali.

Laporan dari World Bank tahun 2023 menambahkan fakta menarik bahwa masyarakat miskin lebih rentan terhadap risiko lingkungan yang buruk seperti bencana alam dan polusi udara. Menurut World Bank, ketika perubahan iklim memengaruhi seluruh penduduk, rakyat miskin dan rentan ‒ sepertiga dari jumlah populasi – cenderung menanggung beban yang tidak proporsional. Mungkin Anda bertanya, kenapa mereka lebih rentan dan menanggung beban lebih banyak? Karena mereka tidak punya cukup akses ke layanan kesehatan yang baik, atau mungkin rumah mereka tidak cukup kuat untuk bertahan dari bencana.

Bayangkan apa yang terjadi ketika sebuah banjir besar melanda. Siapa yang paling terdampak? Ya, masyarakat miskin yang tinggal di daerah rawan banjir, bukan mereka yang tinggal di tempat yang aman dan nyaman. Dalam Kondisi seperti itu bencana alam memperparah ketimpangan yang sudah ada.

Dari sini kita bisa melihat bahwa ketimpangan lingkungan bukan hanya soal distribusi polusi atau sumber daya, tetapi juga sangat terkait dengan kelas sosial dan keadilan sosial. Ini bukan hanya masalah siapa yang mendapatkan apa, tetapi juga tentang siapa yang menanggung beban paling berat dari lingkungan yang tidak sehat.

Bagaimana Islam menyoal Ketimpangan?

Suatu hari di Madinah, setelah kaum Muslimin meraih kemenangan besar, mereka mendapatkan harta yang melimpah. Harta ini bukan berasal dari peperangan, melainkan dari penyerahan musuh yang tunduk kepada Rasulullah SAW. Para sahabat pun mulai bertanya-tanya, bagaimana harta ini akan dibagi? Apakah hanya para pemimpin dan orang-orang kaya yang akan mendapatkan bagiannya?

Di tengah kegundahan itu, Allah menurunkan wahyu kepada Rasulullah, yaitu Surat Al-Hasyr ayat 7.

مَآ اَفَاۤءَ اللّٰهُ عَلٰى رَسُوْلِهٖ مِنْ اَهْلِ الْقُرٰى فَلِلّٰهِ وَلِلرَّسُوْلِ وَلِذِى الْقُرْبٰى وَالْيَتٰمٰى وَالْمَسٰكِيْنِ وَابْنِ السَّبِيْلِۙ كَيْ لَا يَكُوْنَ دُوْلَةً ۢ بَيْنَ الْاَغْنِيَاۤءِ مِنْكُمْۗ

Artinya “Apa saja (harta yang diperoleh tanpa peperangan) yang dianugerahkan Allah kepada Rasul-Nya dari penduduk beberapa negeri adalah untuk Allah, Rasul, kerabat (Rasul), anak yatim, orang miskin, dan orang yang dalam perjalanan. (Demikian) agar harta itu tidak hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu”.

Melalui ayat ini, Allah SWT mengingatkan umat Islam bahwa harta bukanlah untuk beredar di tangan orang-orang kaya saja. Rasulullah lalu menyampaikan kepada para sahabat bahwa kekayaan ini harus dibagikan secara adil, terutama kepada mereka yang membutuhkan—para fakir miskin, yatim piatu, dan kaum muhajirin yang telah meninggalkan segala sesuatu demi agama.

Dengan lembut, Rasulullah menjelaskan bahwa Islam melarang penumpukan harta di kalangan segelintir orang kaya, karena hal itu akan menimbulkan ketimpangan sosial yang besar. Beliau mengingatkan bahwa harta adalah amanah, dan tanggung jawabnya adalah memastikan kekayaan itu bermanfaat bagi seluruh umat. Sejak saat itu, kaum Muslimin pun belajar tentang pentingnya berbagi dan memastikan tidak ada yang kelaparan atau tertinggal di belakang, meskipun di antara mereka ada yang berkecukupan.

Oleh karena itu, upaya-upaya mengatasi krisis lingkungan harus menekankan prinsip yang adil. Solusi dari sebuah krisis harus bisa diakses oleh siapa saja. Bukan hanya segelintir orang, apalagi hanya orang-orang kaya. Ini justru bertentangan dengan nilai-nilai yang diajarkan Islam.

Wallahu a’lam.