Di antara syarat-syarat sah shalat adalah suci, baik badan, pakaian, maupun tempat. Bila salah satu dari ketiga unsur itu tidak suci, akan memberikan konsekuensi tidak sahnya shalat yang dilaksanakan.
Hal lain yang harus diperhatikan adalah kebersihan. Meski tidak menjadi syarat sah shalat, bersih cukup urgent karena sedikit banyak mencerminkan sikap tata krama kita pada sang Pencipta.
Kalau kita merasa malu saat berhadapan dengan seorang bangsawan atau pejabat dengan berpakaian kotor, seharusnya kita lebih merasa tidak sopan lagi saat menghadapi Sang Khalik dalam keadaan tidak bersih.
Dalam beribadah, yang lebih diutamakan adalah kesucian, karena ibadah mensyaratkan suci sebagai syarat sah. Asalkan sudah suci, ibadah sudah sah, walau pun secara lahir tidak bersih. Bersih saja belum dianggap cukup, kalau tidak suci. Idealnya bersih dan suci.
Sebagai ilustrasi, bila lantai terkena najis atau kotoran hewan, kemudian kotoran itu kita hilangkan sampai tidak tampak lagi bekas-bekasnya, mungkin kita akan mengatakan lantai itu sudah suci. Persepsi semacam itu perlu diluruskan, karena lantai itu belum disiram dengan air. Jadi belum suci.
Demikian penting kesucian dan kebersihan dalam beribadah, sehingga bagi seorang muslim kita harus memiliki pemahaman yang cukup mengenai membersihkan dan menghilangkan najis, agar tidak hanya bersih tapi juga suci.
Mencuci adalah kewajiban yang harus dilaksanakan untuk menjunjung keberhasilan ibadah. Dalam disiplin ilmu usul fiqh dijelaskan, suatu pekerjaan yang kewajibannya tidak akan menjadi sempurna kecuali dengan wujudnya, pekerjaan itu hukumnya wajib (ma la yatimmu al-wajib illa bihi fahwa wajib).
Sebagai contoh adalah shalat. Shalat merupakan suatu kewajiban yang dibebankan kepada muallaf, yang untuk keabsahannya, pakaian, badan, atau tempat yang kita gunakan harus suci dari najis.
Maksudnya, shalat kita tidak akan sah kecuali dengan wujudnya kesucian. Dengan demikian, mencuci pakaian dengan maksud menghilangkan najis untuk beribadah adalah wajib. Dan sudah tentu akan mendapatkan pahala tersendiri.
Dalam literatur-literatur fikih, cukup banyak keterangan-keterangan yang mengetengahkan bagaimana cara mensucikan suatu benda yang terkena najis. Salah satunya kita al-Bajuri.
Sebagaimana kita ketahui, air adalah satu-satunya alat untuk menghilangkan najis. Tetapi ada yang harus diperhatikan, air yang digunakan harus suci dan mensucikan.
Bila benda yang dimaksud adalah pakaian, caranya sebagai berikut. Kalau air yang digunakan hanya sedikit, mula-mula kita sediakan ember yang sudah diisi air.
Pertama, pakaian kita basahi dengan air, boleh disiram, boleh dicelupkan, untuk menghilangkan kotoran, pakaian kita kucek secukupnya dengan deterjen atau yang lain kalau memang diperlukan.
Kedua, setelah semua selesai, kita bilas untuk menghilangkan kotoran dan najis serta busa deterjen pada ember yang kedua. Bila sudah benar-benar bersih, dalam pengertian bau, warna, dan rasanya sudah hilang, kita jangan tergesa-gesa menjemurnya. Sebab pakaian itu masih perlu dibilas lagi karena hukumnya belum suci.
Untuk mensucikannya, siramkan air pada pakaian tersebut atau pakaian kita masukkan dulu pada bak air atau ember, baru setelah itu kita tuangkan air ke dalamnya.
Jangan sebaliknya. Air dimasukkan terlebih dahulu baru kemudian pakaian. cara itu tidak dapat dibenarkan, karena air bertemu langsung dnegan najis.
Adapun untuk mensucikan lantai yang terkena bajis, pada prinsipnya sama, yaitu benda yang terkena najis dibuat najis hukmiyah. Caranya, menghilangkan bau, warna, dan rasa najis itu, sehingga seakan-akan sudah suci wakaupun hakikatnya belum, karena belum terkena air. Setelah itu, barulah disiram dengan air hingga merata pada lantai yang terkena najis. Demikian penjelasan dalam kitab Kifayat al-Akhyar.
Sumber: Dialog Problematika Umat; Hal 33-35, Khalista-Surabaya, 2014.