Pada abad 6 Masehi, di gurun Jazirah Hijaz lahir seorang laki-laki, yang kelak menjadi manusia paling berpengaruh bahkan ribuan tahun setelah kepergiannya. Laki-laki itu bernama Muhammad.
Muhammad lahir di tengah komunitas suku Quraisy yang borjuis dan menindas. Ketidak-adilan merata dan meraja-lela. Hak-hak kaum miskin dan perempuan dihinakan sedemikian rupa.
Muhammad melihat itu semua dengan perasaan risau. Tapi, Muhammad tidak melawan ketidak-adilan itu dengan mengepalkan tangan, mengangkat senjata atau demonstrasi besar-besaran.
Muhammad tidak berteriak-teriak di pasar berkhotbah tentang rezim yang diktator, tidak pula menyebar propaganda untuk melawan kezaliman, tidak pula gaduh dengan kutukan dan caci-maki.
Alih-alih melakukan itu semua, Muhammad melawan ketidak-adilan itu dengan senyap dan tenang. Ia menempa diri menjadi pribadi yang jujur dan hati yang lemah lembut penuh kasih.
Perpaduan antara kode etik kejujuran dan kelemah-lembutan itulah yang menuntun Muhammad untuk menjadi tokoh penggerak yang sanggup merebut zaman.
Jujur dan kelemah-lembutan atas dasar cinta adalah sebilah pedang bermata dua yang sanggup meruntuhkan kedzaliman dan angkara-murka, sekaligus memikat mereka yang mempunyai hati nurani.
Muhammad bukan seorang Professor yang gemar menulis buku, bukan pula seorang troritikus gerakan sosial laksana Karl Marx ; tetapi Muhammad adalah seorang revolusioner, yang melampaui ruang dan waktu.
Ia mengubah dunia dengan kejujuran dan cinta. Seorang Yahudi yang tiap hari meludahi Muhammad merasakan betapa dalam cinta laki-laki ini kepada manusia. Perempuan Yahudi yang bermata buta di Madinah juga merasakan betapa lembut Muhammad memperlakukan manusia.
Muhammad adalah keajaiban Timur Tengah, tempat yang gersang dan panas itu sanggup melahirkan manusia yang jujur dan hatinya dilumuri dengan cinta.
Muhammad telah sedemikian rupa menghayati esensi dari namanya, “manusia terpuji “.