Cara Mengelola Emosi

Cara Mengelola Emosi

Mengelola emosi gampang-gampang susah

Cara Mengelola Emosi
Semua hal ada penawarnya, tidak terkecuali sikap marah

 

Banyak orang mendasarkan suatu keputusan pada emosi. Misalnya saat harus memilih hidangan untuk berbuka atau memilih pasangan. Tidak salah juga sih. Emosi memang bagian dari intuisi. Fungsinya menjadi sejenis shortcut, jalan pintas agar kita bisa mengambil keputusan dengan lebih mudah.

Masalahnya, karena satu dan lain hal, shortcut ini tak selalu akurat. Pengalaman traumatis masa lalu misalnya bisa meningkatkan intensitas suatu emosi negatif yang mungkin sudah tidak akurat untuk masa kini. Jadi saya sarankan untuk tidak mengambil keputusan hanya berdasar emosi. (Harap garisbawahi kata “hanya,” karena emosi jelas akan selalu menjadi bagian dari pengambilan keputusan kita, entah disadari atau tidak). Terlebih lagi kalau keputusan itu mempengaruhi banyak orang. Misalnya keputusan terkait politik.

Memilih seseorang pejabat publik hanya berlandaskan pada rasa senang melihat tampilannya yang menawan atau mendengar kata-katanya yang terdengar smart, alih-alih pada pemahaman yang tepat mengenai tugas dan kualifikasi jabatan yang akan diemban, bisa berakibat buruk. Entah itu untuk kawan-kawan minoritas atau mereka yang lebih rentan secara sosial-ekonomi atau bahkan untuk Anda sendiri.

Di ranah lain juga tak jauh berbeda. Masih sering kita lihat ada yang menuduh seorang ulama sebagai sesat hanya karena sebagian pendapatnya memunculkan perasaan “tidak sreg,” tanpa benar-benar memeriksa atau memahami literatur keagamaan yang menjadi rujukan sang ulama. Bahkan ada yang menyematkan gelar “ulama” hanya pada mereka yang pendapatnya terasa pas di hati. Sering kali ini dilakukan oleh mereka yang pengetahuannya kurang luas. Kekurangan pengetahuan ini mungkin membuat mereka merasa ajaran agama itu ya cuma satu macam, pendapat ulama itu selalu tunggal. Yah, suka atau tidak, emosi kadang memang jadi “penambal” pengetahuan yang kurang.

Oleh sebagian orang, emosi yang intens kadang dijadikan bukti atas kebenaran sesuatu. Kuatnya emosi dimaknai sebagai pertanda dari Tuhan, semacam pengalaman spiritual, petunjuk gaib.

Pengidap bipolar tentu tahu bahwa sering kali emosi intens itu ya sekadar emosi yang lebih kuat ketimbang biasanya. Penyebabnya? Lebih sering hormonal sih.

Kaum hawa akan lebih mudah memahami ini. Minimal mereka pernah “menikmati” serbuan hormon bulanan yang membuat hal-hal biasa menjadi luar biasa. Anak-anak saya saja sampai hapal. Pokoknya kalau suara ibuk tiba-tiba meninggi padahal mereka ya cuma menjadi anak-anak yang ngeyelan seperti biasa, atau air mata ibu tiba-tiba berlinangan padahal enggak lagi ngiris bawang, itu pertanda bentar lagi ibuk bilang: maaf ya, ini ibuk mau haid kayaknya. Haha.

Tapi perlu diketahui, emosi pada pengidap bipolar levelnya lebih tinggi ketimbang fluktuasi emosi di kala haid. Kalau gangguan hormonal ringan pasca melahirkan yang disebut baby blues paling cuma bikin ibu-ibu baru lebih gampang baper, dikit-dikit nangis, maka gangguan lebih berat yang disebut post-partum syndrome bisa membuat seorang ibu membunuh anak-anaknya sendiri. Nah, bandingannya mirip-mirip itulah.

Kalau ada yang mau ngeles: ah, bipolar kan memang emosinya tidak normal, tidak bisa disamakan dong dengan emosi intens yang dialami orang biasa. Yah, sebenarnya orang-orang normal pun bisa mengalami peningkatan intensitas emosi dalam situasi tertentu.

Dalam riset psikologi sosial, banyak hal yang terkait kerumunan dan kelompok cenderung memunculkan emosi-emosi lumayan intens. Mereka yang pernah menonton konser berskala besar mungkin sudah punya sedikit gambaran. Ada semacam histeria ketika kita menjadi bagian dari kerumunan besar. Ada luapan emosi yang tak terbayangkan.

Ini semua wajar semata. Emosi-emosi intens semacam ini tidak hanya muncul dalam konser. Ia muncul pula dalam kampanye misalnya, juga dalam segala aksi dengan ukuran peserta cukup masif.

Jadi tidak usah kegeeran merasa bahwa sensasi ekstatis yang Anda rasakan ketika berada di tengah banyak orang yang berduyun-duyun menghadiri acara yang sama dengan Anda adalah pertanda dari Tuhan bahwa apa yang Anda lakukan itu benar dan diridoi-Nya. It’s just hormones, really. Sensasi yang sama mungkin dirasakan oleh orang yang menghadiri konser dangdut yang Anda anggap haram. Meski barangkali penonton dangdut lebih sadar diri untuk tidak mengaitkan emosi dan sensasi itu dengan Tuhan dan agama.

Daripada percaya begitu saja pada emosi, jauh lebih baik untuk selalu bersikap skeptis. Skeptis pada emosi, skeptis pada intuisi, skeptis pada apa saja yang terlalu ekstrem dan berlebihan. Yang tak kalah penting, jangan lupa untuk terus memperluas bacaan dan meningkatkan pengetahuan. Meski sulit, logika analitis adalah landasan pengambilan keputusan yang lebih bisa diandalkan.