Setiap manusia telah dikaruniai oleh Allah SWT syahwat di dalam dirinya, dan itulah yang membedakannya dengan malaikat. Namun, syahwat tersebut hendaknya dikendalikan agar tidak menjadi liar. Dalam kitab Ihya` ‘Ulumuddin karya Imam Abu Hamid al-Ghazali (w. 505 H), terdapat satu bab yang khusus membahas cara menaklukkan syahwat. Tujuannya sehingga kita dapat mengontrolnya, yaitu bab Kasr al-Syahwatain yang secara harfiah dapat dimaknai sebagai “menghancurkan dua syahwat”, yakni syahwat perut dan syahwat bawah perut. (Al-Ghazali, Ihya`, Jil. 3, h. 100)
Al-Ghazali mengawali pembahasan pada bab tersebut dengan menjelaskan dampak besar dari syahwat perut. Menurut al-Ghazali, di antara hal-hal yang merusak bagi manusia, syahwat perut adalah hal yang paling dahsyat daya rusaknya. Sebagai contoh, keluarnya Nabi Adam AS dan Hawa dari surga adalah karena mereka berdua tidak mampu menahan syahwat perutnya.
Dari penjelasan tersebut, Al-Ghazali tampak lebih menekankan kepada faktor kegagalan Adam dan Hawa dalam mengontrol syahwatnya, dari pada faktor waswas setan sebagaimana yang dijelaskan dalam Al-Qur`an maupun Hadis. Hal ini menarik, mengingat kita sering mendengar bahwa pada bulan Ramadhan, setan akan dibelenggu di neraka. Yang sering menjadi pertanyaan,”Jika setan telah dibelenggu di neraka, mengapa masih banyak kejahatan dan kemaksiatan yang terjadi?” Agaknya pandangan al-Ghazali tentang peristiwa dikeluarkannya Adam dan Hawa dari Surga yang dijelaskan sebelumnya dapat menjawab pertanyaan tersebut.
Al-Ghazali juga menyatakan bahwa perut merupakan sumber syahwat dan tempat tumbuhnya berbagai penyakit, baik penyakit fisik maupun penyakit hati. Menurut penulis Ihya ini, syahwat perut diikuti dengan syahwat ‘bawah perut’. Dari kedua syahwat tersebut, seseorang bisa menjadi sangat mencintai harta dan jabatan, seolah keduanya dianggap wasilah untuk dapat memenuhi keinginan ‘perut’ dan ‘bawah perut.
Kecintaan terhadap harta dan jabatan dapat membuat ceroboh, terjangkiti rasa bersaing, dan dengki. Dari keduanya lahir pula penyakit riya`, bangga diri, pamer, hingga sombong. Semua sifat tersebut dapat menimbulkan penyakit lainnya, seperti dendam, dengki, permusuhan, dan amarah yang tidak terkontrol.
Jika sudah dihinggapi penyakit-penyakit tersebut, seseorang akan dengan mudah melakukan tindakan-tindakan di luar batas, kemungkaran, hingga kekejian. Semua itu, menurut al-Ghazali, merupakan akibat jika seseorang meremehkan bahaya dari syahwat perut yang tidak terkontrol.
Al-Ghazali melanjutkan bahwa seandainya seorang hamba bersedia menundukkan nafsunya dengan memilih untuk berlapar-lapar, sebenarnya ia telah mempersempit jalan masuk setan yang hendak membisikkan hal-hal negatif kepada kita, sehingga nafsu tersebut akan menjadi tunduk untuk melakukan ketaatan kepada Allah SWT, dan terhindar dari segala sifat arogan. Orang itu pun tidak akan larut dalam kesenangan dunia dan mengutamakan urusan akhiratnya.
Lalu, bagaimana nasib mereka yang sudah terlanjur terkurung dalam syahwat perutnya? Al-Ghazali menjawab bahwa jika syahwat perut telah menjangkiti, maka dalam rangka memberi peringatan akan bahayanya, perlu dilakukan upaya untuk menjelaskan berbagai dampak yang dapat ditimbulkan, serta menerangkan bagaimana cara bermujahadah dan menghindarinya. Hal ini berlaku juga untuk syahwat ‘bawah perut’, karena kedua syahwat tersebut berkaitan.
Ibadah puasa memiliki kaitan erat dengan pembahasan ini, karena salah satu tujuan puasa adalah melatih seseorang untuk dapat mengendalikan hawa nafsunya. Sayangnya, pengendalian tersebut hanya berlangsung dari terbit fajar hingga terbenamnya matahari. Sedangkan, realita yang terjadi adalah beberapa umat muslim ‘balas dendam’ ketika waktu berbuka telah tiba, sehingga tanpa disadari telah memanjakan syahwat perutnya kembali. (AN)