Cara Memahami Hadis Khilafah ‘Ala Minhajin Nubuwwah

Cara Memahami Hadis Khilafah ‘Ala Minhajin Nubuwwah

Cara Memahami Hadis Khilafah ‘Ala Minhajin Nubuwwah

Amat disayangkan ketika kita menyaksikan sebagian ceramah yang sering disebut sebagai ustadz akhir zaman menggunakan hadis-hadis nabi sebagai bahan pijakan ramalan peristiwa ke depan. Amat disayangkan pula tafsiran atas hadis tersebut selalu disisipi dengan provokasi untuk membenci kelompok lain yang berlainan sekte, etnis ataupun paham.

Dan yang paling menyedihkan, yang disampaikan sang ustadz tidak didasarkan kepada data-data yang valid, malah kilahnya, apa yang ia sampaikan hanyalah hadis dari Nabi SAW. Hal demikian diperparah lagi dengan usahanya untuk memonopoli kebenaran makna hadis-hadis akhir zaman yang sesuai dengan hasrat politiknya yang sektarian. Anehnya, ustadz dengan kualitas seperti ini banyak yang mengidolakan dan banyak pula jama’ahnya.

Tampaknya masyarakat kita juga belum mencapai ke tahap yang kritis dalam memahamii fenomena yang berbau agama. Seolah apa yang datang dari ustadz selalu dianggap benar apalagi yang disampaikan ialah hadis-hadis Nabi yang dianggap sahih. Mungkin dalam hal ini bisa dimaklum juga, karena ‘agama’ merupakan sarana yang paling jitu dan efektif dalam memengaruhi publik, terutama kalangan awam. Agama bisa menjadi alat yang meneduhkan sekaligus tameng yang menyeramkan tergantung kepada siapa yang membawakannya.

Adalah hadis tentang berdirinya khilafah di akhir zaman yang sering digunakan sang ustadz untuk meramalkan secara meyakinkan bahwa di tahun 2030 akan terjadi perombakan sistem pemerintahan Islam secara besar-besaran, dari sistem kerajaan menuju sistem khilafah. Bagi sang ustadz, melalui kualitas pembacaan hadis yang minim, sangat bisa dipastikan kekhilafahan Islam akan muncul di tahun tersebut, dengan catatan umat Islam yakin dan akan mengawal ketercapaiannya. Siapapun yang mendengarkan sang ustadz spontan akan tertegun mengingat ceramah-ceramahnya yang seolah meyakinkan. Terlepas dari ramalan sang ustadz yang futuristik ini, hasil pembacaan apapun terhadap hadis khilafah ini masihlah sangat meragukan, apalagi kenyataannya belum terjadi, dan bahkan sangat jauh dari kenyataan.

Dengan hampir sebagian besar negara-negara Barat dan Timur yang mengadopsi sistem demokrasi sebagai pilihan terbaik bagi pemerintahan mereka, lantas pertanyaannya realistis dan rasionalkah kekhilafahan Islam akan menggantikan sistem yang ada dalam waktu dua belas tahun lamanya?  Sementara itu, secara kalkulasi, dari sekian jutaan muslim, hanya segelintir orang yang memperjuangkan berdirinya khilafah. Itu pun disertai dengan pembatasan di sana-sini seperti halnya di Indonesia yang membubarkan setiap ormas yang anti-Pancasila, terutama HTI. Termasuk di Arab Saudi dan negara-negara Islam lainnya menolak hadirnya ideologi khilafah ini. Dengan pertimbangan-pertimbangan seperti itu, pertanyaan kami  ulang: realistiskah penafsiran sang ustadz bahwa kekhilafahan Islam akan muncul di tahun 2030? Jelas ini mengada-ada kecuali bagi mereka yang memiliki pikiran serba li-llah ta’ala tanpa mempertimbangkan hukum-hukum sosial yang telah Allah takdirkan dalam setiap masyarakat.

Sebelum membahas lebih jauh, akan lebih baiknya kita simak redaksi terjemahan dari hadis Nabi tersebut di bawah ini:

Periode kenabian akan berlangsung kepada kalian dalam beberapa tahun, kemudian Allah mengangkatnya. Setelah itu muncul periode khilafah ala minhaj nubuwwah selama beberapa masa hingga Allah mengangkatnya. Kemudian datang periode mulkan aadhan (penguasa-penguasa yang menggigit) selama beberapa masa. Selanjutnya datang periode mulkan jabariyyan (penguasa-penguasa yang totaliter) dalam beberapa masa hingga waktu yang ditentukan Allah ta’ala. Setelah itu akan terulang kembali periode khilafah ala minhaj nubuwwah.”

Hadis ini diriwayatkan oleh al-Bazzar, Ahmad bin Hanbal dan Abu Dawud yang bermadar kepada Habib bin Salim yang dinilai oleh sebagian kritikus hadis sebagai bermasalah. Dalam riwayat lain, hadis ini diriwayatkan oleh at-Thabarani dan Abu Nu’aim yang masing-masing jalur periwayatannya terdapat periwayat yang majhul dan mubham. Dalam riwayat Abu Ya’la juga terdapat periwayat bermasalah yang bernama Laith bin Jarir bin Abdul Hamid yang berideologi syiah dan dituduh banyak melakukan kesalahan dalam periwayatan hadis. Namun terlepas dari sahih atau tidaknya, menurut Ibnu Khaldun, hadis ini sering dijadikan sebagai basis legitimasi bagi Bani Umayyah untuk mengubah sistem kekhalifahan menjadi kerajaan (inqilab al-Khilafah ila mulkin adhud), terlepas dari positif atau negatifnya kandungan matan hadis ini.

Redaksi hadis di atas meramalkan berbagai tahapan sistem pemerintahan yang akan dilalui oleh umat Islam, dimulai dengan khilafah rasyidah yang diganti oleh kerajaan yang menggigit dan dilanjutkan oleh sistem kerajaan yang otoriter sampai kembali ke sistem pemerintahan atau kekhilafahan yang didasarkan kepada manhaj nubuwwah atau sistem kenabian. Perlu diperhatikan bahwa fase setelah khilafah rasyidah sebutannya bukanlah sistem kekhilafahan, tetap sistem kerajaan yang muncul dua kali dalam bentuknya yang berbeda: mulkun adudh dan mulkun jabbar.

Jadi Turki Usmani yang telah runtuh itu bukanlah disebut kekhilafahan Islam tapi lebih tepatnya disebut kerajaan Islam. Setelah fase ini, kemudian akan muncul khilafah ala minhaj nubuwwah. Jika fase  yang sekarang kita alami ini ialah fase akhir dari kerajaan yang otoriter, sebut saja negara-negara Arab sekarang masih dipimpin oleh raja atau presiden yang otoriter, maka pertanyaannya apa tafsiran yang rasional dan realistis terhadap redaksi khilafah ala minhaj nubuwwah ‘kekhilafahan berasas kenabian’ yang akan muncul setelah fase kerajaan otoriter ini?

Untuk menjawab pertanyaan ini, perlu kiranya kita menelaah kembali kata minhaj nubuwwah. Minhaj sendiri dalam bahasa Arab mengandung arti jalan, cara atau sistem. Oleh karena itu, manhaj nubuwwah ini dapat kita terjemahkan sebagai jalan, cara atau sistem kenabian, yang arti selanjutnya ialah cara yang dilalui Nabi dalam memimpin kaum beriman di masanya. Karena itu, pertanyaannya selanjutnya bagaimana cara Nabi memimpin kaum beriman? Apa logika yang melandasi relasi Nabi yang pemerintah dengan kaum beriman yang diperintah? Apakah relasinya bersifat atasan-bawahan ataukah relasi persamaan dan kesetaraan?

Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, perlu kiranya kita menelaah konsep yang mendasari relasi nabi dengan kaum beriman di masa kenabian. Dengan menelusuri berbagai literatur sirah kenabawian, kita akan menemukan satu konsep yang melandasi seluruh kerja ‘pemerintah-yang diperintah’ di era kenabian ini. Apa konsepnya? Jawabnya terletak pada konsep Muhammad wa Sahabatuhu ‘Muhammad dan Para Sahabatnya’.

Nabi dan kaum beriman atau bahkan musuh Nabi sendiri menyebut relasi nabi dengan kaum beriman terangkum dalam konsep Muhammad wa Sahabatuhu ‘Muhammad dan Para Sahabatnya’. Dalam literatur kenabian, kita selamanya tidak akan pernah menemukan relasi Nabi dengan kaum beriman sebagai relasi Muhammad dan rakyatnya, atau Muhammad dan bawahannya dan lain-lain. dari sekian banyak literature tersebut kita hanya menemukan Muhammad wa ashabuhu atau sahabatuhu.

Ingat dalam literatur gramatika Arab, konjungsi waw mengandung arti kesetaraan antara yang sebelum dan sesudahnya. Dan itu artinya dalam konsep Muhammad wa ashabuhu terkandung ideologi kesetaraan dan kesamaan yang melandasi relasi Nabi dengan para sahabatnya. Dengan kata-kata lain, relasi ini mengandung semangat kepemimpinan ‘dari Nabi dan Sahabatnya, oleh Nabi dan Sahabatnya dan untuk Nabi dan sahabatnya’ (Bandingkan dengan konsep demokrasi: dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat).

Konsep ini diperkuat dengan perintah Tuhan untuk Nabi agar selalu bermusyawarah dalam berbagai urusan, termasuk urusan yang tidak ada unsur wahyunya seperti cara menaklukan siasat Quraisy dan lain-lain. Dalam QS 42: 32-39, musyawarah diletakkan secara berdampingan dengan iman kepada Allah dan bertawakkal kepada-Nya yang disertai dengan kewajiban menghindari dosa-dosa besar, keharusan memaafkan orang, mendirikan salat, bersedekah dan saling memberikan perlindungan. Dalam ayat ini, musyawarah seakan akan diletakkan sebagai esensi dari keimanan dan keislaman.

Pertanyaan selanjutnya, lalu apa hubungan yang mendasari relasi Muhammad wa sahabatuhu beserta konsep logis yang mendasarinya dan bagaimana relasinya dengan konsep khilafah ala minhaj nubuwwah dalam hadis yang telah disebut di atas?

Hadis khilafah ala minhaj nubuwwah ini jika dibaca dalam bingkai relasi Muhammad wa Sahabatuhu mengandung arti bahwa akan muncul sistem pemerintahan di akhir zaman yang corak ideologinya digerakkan oleh relasi kesetaraan, persamaan dan kebersamaan antar berbagai elemennya. Selain itu, yang menggerakkan relasi antar elemen ini ialah logika persaudaraan dan persahabatan, bukan logika atasan-bawahan seperti dalam yang ada dalam sistem kerajaan yang totaliter dimana kekuasaan terpusat pada sosok raja.

Di sisi lain, prinsip musyawarah sebagai dasar dalam kepemimpinan politik, prinsip pembagian kerja dan wewenang (kullukum ra’in) sebagai pembagian ranah kekuasaan, dan prinsip kapabilitas dan profesionalitas (antum adra bi-syu’un dunyakum) sebagai prasyarat kerja kekuasaan merupakan ajaran inti dalam khilafah ala minhaj nubuwwah ini. Semua prinsip ini tidak akan pernah sedikitpun memberikan kesempatan bagi adanya totalitarianisme dalam kepemimpinan.

Berdasarkan pada keterangan di atas, dapat disimpulkan bahwa tafsir yang tepat bagi khilafah ala minhaj nubuwwah ialah khilafah ala minhaj dimuqratiyyah, sistem pemerintahan yang didasarkan kepada asas demokrasi atau dalam konteks Indonesia, khilafah ala minhaj Pancasila, bukan tafsir yang mencoba menghidupkan dan menggali kembali fosil-fosil khilafah di masa silam dengan segenap kekurangan dan kelebihannya di masa itu.

Khilafah ala minhaj nubuwwah/ dimuqratiyyah inilah sistem pemerintahan yang rasional dan realistis bagi umat Islam saat ini. Dan tafsir atas ala minhaj nubuwwah sebagai ala minhaj demokrasi ini, paling tidak, sesuai dengan kenyataan yang ada mengingat negara-negara Islam ke depan dalam beberapa tahapan lagi akan menggunakan sistem demokrasi sebagai asas politik dan pemerintahannya dan akan meninggalkan sistem kerajaan yang otoriter, dan itu artinya prediksi Nabi tentang munculnya khilafah ala minhaj nubuwwah akan menjadi kenyataan.