Perbedaan pemimpin itu rahmat, kata ini kerap kita dengar. Bagaimana sih sebenarnya konsep ini? Gus Dur dalam tulisannya berkata:“Bukankah para ulama di masa lampau cukup bijaksana untuk memperkenalkan perbedaan-perbedaan pemikiran seperti itu? Terdapat adagium seperti “Perbedaan pandangan di kalangan para pemimpin adalah rahmat bagi umat/Ikhtîlaful A’immah Rohmatul Ummah” (Gus Dur, Sekadar Mendahului, hlm. 282).
Asal dari perkataan Ikhtilâful A’immah Rohamatul Ummah, sebenarnya adalah adagium yang ditafsirkan dari perkataan “ikhtilâfu ummatî rohmatun.” Perkataan yang terakhir ini, disebut sebagai hadits, yang salah satunya dikemukakan oleh Imam Jalaluddin as-Suyuthi dalam Jam`ul Jawâmi atau al-Jâmi al-Kabîr, hadits No. 793 (versi al-Azhar asy-Syarif, 2005 M/1426 H., I: 202).
Menurut Imam Jalaluddin as-Suyuthi, hadits itu disebutkan oleh: “Nashr al-Maqaddasi dalam kitab al-Hujjah, al-Baihaqi dalam kitab Ar-Risâlah al-Asy`ariyah dengan tanpa sanad, dan al-Hulaimi juga mengemukakannya.”
Dalam catatan kaki hadits ini, dikutip pendapat Imam as-Subki begini: “Hadits ini tidak dikenal kalangan Muhaditsin, juga tidak ada padanya sanad yang shahih, juga tidak dhaif, dan tidak maudhu’. Dan hadits itu diberi sanad dalam kitab al-Madkhol, demikian juga oleh ad-Dailami dalam al-Musnad al-Firdaus, menurut keduanya berasal dari hadits Ibnu Abbas yang diriwayatkan secara marfu’, dengan lafadz “ikhtilâfu ashhâbî rohmatun”. Al-Iroqi berkata tentang hadits ini, katanya sanadnya lemah.”
Hakikat isi dari adagium itu adalah benar, yaitu dalam masalah yang berkaitan tentang persoalan-persoalan ijtihadi, sejauh dilihat dengan perpektif saling menghormati, saling menghargai, adanya perbedaan di antara ulama adalah rahmah bagi umat. Yang dilarang adalah al-furqoh, perpecahan yang menjadikan perbedaan itu sumber dari permusuhan, kekerasan, dan saling melenyapkan; juga menjadi al-furqoh, dimana pendapat-pendapat individual berkembang menjadi memutlakan diri tidak mau tunduk pada konsesus yang disepakati, bila berkaitan dengan kehidupan sosial.
Gus Dur mengemukakan adagium itu, dalam konteks membahas pemikiran Ulil Abshor Abdalla (dan pemikiran-pemikiran lain yang muncul di kalangan umat Islam). Dalam hal seperti ini, Gus Dur menyebutkan dua hal respon yang berkembang: “Larangan terbatas” untuk berfikir bebas; atau untuk menutup sama sekali kontaminasi dari proses modernisasi, yang berujung pada radikalisme.
Baca juga: Jalan Penengah Gus Dur untuk Perdamaian Palestina-Israel
Sikap pertama akan melambatkan pemikiran orang-orang yang seperi itu, padahal pemikiran seperti itu juga harus dimengerti oleh mereka yang dianggap sebagai orang di luar Islam. Pandangan kedua, berakibat kita harus menutup diri, yang pada puncaknya, menurut Gus Dur “terwujud pada radikalisme”, yang bersandar pada tindak kekerasan.
Sikap Gus Dur sendiri dari dua respon itu adalah menentang radikalisme (beliau menyebut istilah ini) dan pandangan yang mencurigai sepenuhnya terhadap modernisasi; dan memberikan hak kepada mereka yang berfikiran seperti itu karena menurut beliau: “Disadari, hanya dengan cara menemukan pemikiran seperti itu, barulah Islam dapat berhadapan dengan tantangan sekularisme.”
Akan tetapi pada saat yang lain, Gus Dur mengkritik pemikiran-pemikiran yang lahir itu, agar pemikiran-pemikiran seperti itu tidak ndakik-ndakik, dan melakukan introspeksi diri: “Suatu pemikiran atau ide boleh cumlaude dari sudut teoretis, tetapi jika kandas dalam pembuktian empiris, artinya tidak jelas manfaat dan kemashlahatannya bagi umat manusia, tidaklah banyak maknanya” (Sekadar Mendahului, hlm. 276). Caranya tentu ada dua: instropseksi diri, atau dikritik dari luar.
Maka dari situ dapat dimengerti, dimana pemikiran-pemikiran yang muncul di kalangan umat, itu dilihat sebagai proses pendewasaan peradaban yang harus dilalui; tetapi pada saat sama, proses itu harus berujung pada penciptaan kemashlahatan bagi masyarakat secara riil.
Dalam proses demikian itu sering ditemui saling kecamuk dan hiruk pikuk, karenanya, menurut Gus Dur: “Yang tidak diperkenankan berkenaan dengan kelebihan sendiri (pendapatnya sendiri) adalah klaim sebagai kebenaran mutlak yang mengalahkan kebenaran orang lain, serta fanatisme membabibuta yang sangat mudah menghinggapi kaum muslimin seluruh dunia saat ini. Berlawanan dengan kitab suci mereka, tumbuh sikap menentang perbedaan pandangan dan membiarkan keterpecah-belahan dan pertentangan” (Sekadar Mendahulu, hlm. 197-198).
Karenanya, manusia muslim meyakini bahwa perbedaan atau adanya perbedaan adalah sunnatullah, karena Alloh berfirman: “Wamin ayatihi kholqussamâwâti wal ardhi ikhtilâfu alsinatikum wa alwânikum inna fi dzalika laayatil lil alamin” (QS. Ar-Rum ayat 22); Innâ kholaqnâkum min dzakarin wa untsâ, waja`alnâkum syu`ûban wa wa qobâ’ila lita`ârafu (QS. Al-Hujurat ayat 13), dan beberapa ayat lain.
Tiap-tiap golongan dan para pemikir dijadikan berbangga dengan golongannya adalah manusiawi sekali. Akan tetapi juga mengandung risiko buruk bila memutlakkan diri, dan karenanya Al-Qur’an menyebutkan, salah satunya agar: melihat inna akaromakum `indallôhi atqôkum, berinteraksi dengan prinsip lita`ârohu, menciptakan rasa aman, berlomba dalam berbuat kebajikan saling menghubungkan persaudaraan, berdebat dengan cara yang baik, saling menasehati, dan saling kerjasama untuk kebaikan, musyawarah untuk mencapai konsensus kebaikan di dalam hidup bersama. Wallohu a’lam.