Pada 16 Desember 2016 lalu, saya mendengar Ustad Zia Ul Haramain, putra almarhum Prof. Dr. K.H. Ali Mustafa Yaqub, menyampaikan khutbah Jumat tentang Maulid Nabi Muhammad. Ada dua hal menarik yang saya dapati dari khutbah itu, yaitu sikap kita tehadap kelahiran Nabi Muhammad dan bagaimana sikap itu diekspresikan.
Sesampainya di kota Madinah, Nabi Muhammad mendapati orang-orang Yahudi berpuasa pada tanggal 10 Muharram. Ketika ditanya alasannya, mereka menjawab, “Pada hari ini Musa dan Bani Israil diselamatkan oleh Allah dari kejaran Fir’aun. Kami berpuasa sebagai ungkapan rasa syukur.”
Nabi Muhammad kemudian menyatakan bahwa umat Islam lebih berhak atas Musa. Beliau memerintahkan umatnya untuk berpuasa pada tanggal 10 Muharram dan satu hari
sebelumnya (tanggal 9) atau sesudahnya (tanggal 11). Hal ini untuk membuktikan bahwa umat Islam juga berbahagia dengan peristiwa selamatnya Nabi Musa namun membedakan diri dari Yahudi.
Selamatnya dua orang Nabi (Musa dan Harun) beserta seluruh umatnya merupakan
peristiwa besar yang wajib disyukuri. Muncul pertanyaan, “Apakah ada peristiwa yang lebih
membahagiakan dari peristiwa tersebut?” Jawabannya adalah iya, yaitu kelahiran Nabi
Muhammad yang menjadi juru selamat bukan hanya satu kaum tetapi seluruh manusia hingga
Hari Kiamat.
Ketika Nabi Muhammad bersyukur atas keselamatan Nabi Musa dan umatnya,
kelahiran beliau menjadi lebih penting untuk disyukuri. Dalam sebuah riwayat dikisahkan bahwa Nabi Muhammad sering berpuasa pada hari Senin. Saat ditanya, beliau menyatakan bahwa Senin adalah hari di mana beliau dilahirkan dan berpuasa merupakan ekspresi dari rasa syukur dan bahagia.
Tiap orang memiliki caranya sendiri untuk mengekspresikan rasa syukurnya. Ada yang
melakukan perenungan, berpuasa, dan ada juga yang berkumpul dengan keluarga dan kawan-
kawannya. Silakan bersyukur dengan caranya masing-masing tanpa harus menyalahkan pilihan orang lain. Orang Indonesia, dan banyak orang lainnya di belahan bumi, suka berkumpul, maka ekspresi kegembiraan adalah dengan berkumpul.
Berkumpul adalah cara yang indah untuk menjaga silaturahim dan menyelesaikan pertikaian. Tradisi kita penuh dengan acara berkumpul, sebut saja saat menikah kita berkumpul dalam resepsi pernikahan, saat hamil kita berkumpul untuk mendoaka jabang bayi, saat lahiran kita berkumpul untuk melaksanakan akikah, pindahan rumah kita berkumpul untuk berpamitan dengan tetangga lama dan memperkenalkan diri dengan tetangga baru, saat nonton bola kita juga berkumpul. Maka rasa syukur atas kelahiran Nabi Muhammad bisa diwujudkan dengan berkumpul.
Apa yang kita lakukan saat berkumpul? Kita mengenang Nabi Muhammad Saw. mempelajari sifat-sifat mulia beliau. Dalam banyak kesempatan, saya melontarkan pertanyaan kepada jamaah pengajian dan mahasiswa program studi agama Islam. Siapa saja nama paman Nabi Muhammad? Siapa anak sulung Nabi Muhammad? Bagaimana sikap Nabi Muhammad saat mendapati dirinya dicaci dan dimaki? Banyak yang tidak mampu menjawabnya.
Namun saat saya ajukan pertanyaan terkait anak dari artis tertentu, dan penyanyi lagi ini, atau siapa kakak dari Ipin dan Upin, semuanya mampu menjawab. Bahkan dalam waktu dua menit mereka bisa menulis lebih dari 30 artis Amerika. Sementara itu, saat diberikan waktu yang sama untuk menulis nama sahabat Nabi Muhammad, mereka hanya mampu menuliskan sebelas nama.
Dari sini saya menganggap maulid merupakan tradisi yang balik. Tradisi tidak perlu dalil sebagaimana ibadah, jadi jangan tanya mana hadis sahih tentang maulid Nabi Muhammad sebagaimana kita tidak bertanya ayat dan hadis yang membolehkan arisan, ulang tahun, pelatihan dasar kepemimpinan.
Kita bersyukur dengan kelahiran Nabi Muhammad, dengan cara berkumpul, mendengarkan bacaan tentang sejarah beliau, serta mendengarkan ceramah agama. Jika cara ini tidak cocok, silakan bersyukur dengan cara berpuasa. Jangan mencaci orang lain yang mengekspresikan kebahagiannya atas kelahiran Nabi Muhammad dengan cara yang berbeda, lalu dengan menggunakan dalil Hadis Nabi kita menjelek-jelekkan saudara seiman padahal hal itu dilarang oleh Nabi Muhammad.
Ditulis oleh Andi Rahman, MA, Dosen Hadis Darus-Sunnah