Cantik Aja Nggak Cukup, Kalau Nggak Bikin Masuk Surga

Cantik Aja Nggak Cukup, Kalau Nggak Bikin Masuk Surga

Cantik Aja Nggak Cukup, Kalau Nggak Bikin Masuk Surga

Surga di Ujung Renda: Dilema Busana Muslim In This Economy

Di tengah glamor fast fashion jamak yang merayakan fashion sebagai jalan hidup. Sementara bagiku, membayangkan fashion show, model catwalk saja tak pernah masuk dalam draft appointment-ku, meng-attach di google calendar dan hadir apalagi.

Tapi hari itu, Sabtu (22/2) saya tak bisa menolak ajakan untuk hadir ke Muslim Fashion Festival (Muffest) di JCC Senayan. Ajakan itu membuka pengalaman akan Fashion Show yang bukan sekadar pameran, melainkan ruang di mana kain-kain bercerita tentang iman, budaya, dan hasrat pasar yang saling berkelindan.

Dari sebagian teman, memang, cukup sering saya mendengar celetukan satir yang dilempar kepadaku, “Anaknya fashion banget”, “Skena mampus”. Tapi toh itu untuk keperluan suka-ria personal, selain plasenta ideologis.

Suka-ria karena hampir setiap mereka yang concern di industri fashion punya akar inspirasi yang cukup personal, seperti budaya, passion, hobi dan “its family business” di samping jamak yang lahir dari dunia “spill dressnya dong kak” di dunia maya.

Penetrasi kultural sebuah karya misalnya tercermin dari apa yang dilakukan oleh Naila Mafazah dari Pesantren Darul Ulum Peterongan, Jombang.

Lewat @nella.atelier, Naila menghadirkan nuansa Timur Tengah dipadu warna gemilang, visual yang optimistik dan renda-renda yang manis. Desainnya tak sekadar stylish, tapi juga menyiratkan identitas kultural, habit yang terinspirasi dari lingkungan tempat ia tumbuh.

“Pesona Timur Tengah tak pernah habis untuk dibahas. Kekayaan sejarah dan peradabannya tergambar dalam kemegahan Piramida Mesir, Kubah Batu Yerusalem, Dar Al-Hajar Yaman, Kota Tua Petra, hingga futuristiknya Burj Khalifah Dubai dan masih banyak tak terhitung jumlahnya,” tulis Naila Mafazah di akun instagram pribadinya.

Baginya, Peradaban Islam adalah pemicu kemajuan suatu bangsa.

“Bagian dari ikhtiar kami mengenalkan bahwa Islam tak pernah menghambat kemajuan suatu bangsa, justru banyak negara semakin maju dengan adanya Islam di dalamnya,” jabarnya.

https://www.instagram.com/p/DGatLC2zBvw/?img_index=1

Plasenta Ideologis

Tapi di balik keindahan itu, ada plasenta ideologis yang mengikat. Karena pestapora fashion tak bisa diukur dari kacamata industri semata–sebentar lagi Ramadhan, dan karena itu sebuah karya tidak lahir dari ruang kosong.

Di Muffest, usai melihat sembilan jenama serta fashionist dengan masing-masing delapan dress design, yang berarti saya merekam empat puluh dua design dalam satu waktu, ada keragaman penetrasi yang terpapar melalui sekian instrumen kekaryaan.

Agama, rumah, keluarga, suami, tempat ibadah, ruang publik, pop-culture, taman, kebun, bangunan kuno, middle east way, dan lain-lain (karena “muslim festival”, saya menempatkan agama di muka) merupakan sebagian materi yang, saya kira bisa mendefinisikan empat puluh dua desain dari sembilan jenama tersebut.

Namun, seperti diingatkan Carla Jones dalam “Fashion and Faith in Urban Indonesia” (2007), busana muslim di Indonesia pasca Reformasi adalah cermin paradoks yang ditandai dengan kebangkitan kesalehan (Islamic piety) sekaligus komoditas overconsume.

Carla Jones dalam bukunya tidak hanya meramalkan tren busana muslim sebagai ‘commodity fetishism’, tetapi juga menyoroti ironi di baliknya: semakin religius tampilan luar, semakin dalam pula hasrat konsumerisme yang dikuburkan.

Ironi ini terasa nyata ketika saya menyaksikan deretan mukena mewah dari jenama ‘Mukena Siti Khadijah’ yang memicu ingatan terhadap ‘Mukena Syahrini’ seharga 3,5 juta yang ludes terjual.

Ramalan Carla yang cukup jeli melihat masa depan busana muslim di Indonesia sebagai commodity fetishism itu, akan terus terlembagakan, seperti kian terlembagakannya iman, gender dan materialisme. Dengan kata lain, in this economy, orang mungkin mencaci maki sejadi-jadinya kenaikan harga cabe, bawang dan telur tapi tidak dengan fashion.

Manakala ekonomi negara sedang menelan pil pahit, gairah busana muslim Indonesia sepertinya masih sehat-bagas bahkan akan terus mengalami tren positif dalam menjangkau pasar yang lebih luas. Semuanya mengisyaratkan seolah agama dan pasar telah berpelukan mesra.

Mukena Catwalk

Sebagai pemula di dunia fashion show, saya cukup tertegun melihat mukena yang juga dirayakan.

“Wah, ada mukena juga ya bu?” tanyaku kepada ibu-ibu di sebelah yang sedari awal duduk selalu mengajakku ngobrol.

“Ya, bagus-bagus dan minimalis. Tapi ya gitu, harganya selangit,” jawabnya singkat.

Ada mukena sambung dan tidak, dengan dominasi warna putih dan pastel yang berhias pernik visual bunga-bunga temaram itu mengingatkanku pada vending machine hijab di Stasiun MRT Jakarta menunjukkan (pasar) Islam sudah sangat dekat dengan pemeluknya. Ya, tren busana muslim sudah secepat itu.

Seketika mukena dengan brand “Mukena Siti Khadijah” itu memicu ingatan saya pada “Mukena Syahrini” yang rilis kala Ramadhan 2019 dan laku keras 5000 buah dengan harga per satuan 3,5 juta.

Di tengah-tengah kemewahan Mukena Siti Khadijah itu, tiba-tiba sang ibu melontarkan pernyataan pedas.

“Sekarang tu banyak produk-produk yang bikin cantik, ya sih bikin cantik, tapi bikin masuk surga nda?” ujar ibu-ibu di sebelah. Saya bergeming.

Penyertaan surga dalam busana itu menggantung, menggiringku pada masail fiqhiyyah dasar yang kerap diabaikan. Mukena tidak sambung misalnya, yang 80% berpotensi membatalkan shalat jika terbuka saat rukuk, belum lagi kalau cuma pakai kaos.

Dalam kasus mukena, saya tidak sedang mempersoalkan busana/dress muslim, melainkan hari ini, kadar sah shalat jadi demanding hal-hal ukhrawi. Karena ia menjadi syarat sah shalat, maka harus dipilih secara hati-hati.

Mazhab Syafi’i menegaskan pakaian harus menutup aurat sempurna, sementara Hanafi lebih longgar. Tapi industri sibuk menawarkan mukena berenda dan berpayet, seolah “surga” bisa dibeli lewat estetika.

“Kalau yang ini mukena juga bu?” tanyaku pada design dress yang lain.

“Oh ngga, kalau ini baju syar’i,” tukasnya.

Lagi-lagi, saya dibuat bergeming.

Sepulang dari festival tersebut, dalam kepala, pertanyaan ibu-ibu tadi masih menggema “bikin masuk surga ngga?” dan merembet ke pertanyaan-pertanyaan lain perihal mengimani sebuah tren.

Kita tahu, surga bukan koleksi musiman. Ia tak bisa dipesan atau dijamin lewat jenama ternama. Seperti shalat yang tak sah hanya karena mukena mahal, iman pun tak otomatis naik kelas lewat dresscode impian.

Belakangan saya tahu bahwa Muffest 2025 dinilai sebagai inovasi modest fashion yang berkelanjutan dan bermakna. Jika Carla Jones melihat busana muslim sebagai pertaruhan antara piety dan konsumerisme, pertanyaan “bikin masuk surga nggak?” mengajak kita melangkah lebih jauh, benarkah selera pasar kian religius?