Beberapa waktu terakhir, perbincangan di beberapa televisi swasta menarasikan hal yang sama yaitu keberadaan buzzer atau pendengung. Posisi buzzer menjadi perbincangan banyak orang sejak beberapa peristiwa besar, seperti kasus Papua, UU KPK, demonstrasi mahasiswa hingga Wamena, ditutupi dengan beberapa isu pinggiran yang berfungsi mengalihkan perhatian rakyat pada permasalahan utama.
Berbagai masalah mencuat di saat yang bersamaan memang bisa membuat masyarakat gamang dalam menyikapi setiap isu. Kegamangan masyarakat ini kemudian diperparah dengan kondisi FOMO (Fear Of Missing Out), yaitu perasaan takut ketinggalan informasi maupun tren terkini. Kondisi ini cukup lazim di masyarakat yang angka keaktifan media sosialnya tinggi.
Buzzer yang menyebarkan isu pinggiran dengan massif demi menggeser perhatian warga sebenarnya bukan sesuatu yang aneh dalam setiap perbincangan sehari-hari di masyarakat. Perbincangan isu politik di masyarakat Indonesia bukanlah sesuatu yang aneh. Sebab, di negara demokrasi seperti Indonesia, berbincang isu politik bukan hal yang tabu apalagi dilarang.
Buzzer “Warung Teh” hingga Media Sosial
Rakyat Indonesia memiliki kebebasan berbicara politik di ruang publik dan di berabagai kesempatan. Contohnya, di masyarakat Banjar dikenal tradisi mawarung yaitu kultur minum-makan di warung yang biasanya dilakukan pagi hari selepas salat Subuh. Di dalam warung minum tersebut disediakan kue tradisional hingga makanan nasi bungkus.
Walau eksistensi warung teh di tengah masyarakat Banjar, terutama di Banjarmasin, terus berkurang. Mulai tergeser bermunculannya warung kofi atau kafe yang mulai menjamur di Banjarmasin. Hal ini disebabkan pergeseran gaya hidup dari masyarakat agraris yang memiliki jadwal di pagi hari tidak sepadat mereka yang hidup kantor atau sekolah. Namun, warung teh sebagai tempat bertukar informasi tetap bertahan hingga sekarang.
Selain makan dan minum di warung tersebut, masyarakat Banjar biasanya berbincang berbagai hal dan berbagi informasi yang mereka dapatkan dari beragam sumber. Seperti, televisi, radio, obrolan di pasar atau kantor hingga media sosial sekarang. Obrolan politik bukan hal aneh ditemukan di perbicaraan beberapa kelompok yang berkumpul di warung tersebut. Warga dengan bebas berbincang soal politik yang dihiasi analisa politik “sekedarnya” hingga umpatan yang kadang lucu hingga pedas.
Perbincangan politik di ruang publik, seperti warung teh di masyarakat Banjar, sebenarnya menarik imajinasi kita pada gambaran Najib Mahfuz soal lorong Miqdad di dalam novelnya yang berjudul sama. Kehidupan lorong Miqdad tidak pernah sepi, yang salah sebabnya adalah warung kopi milik keluarga Kirsya. Warung kopi tersebut menjadi wadah bertukar informasi dari soal jodoh hingga politik. Tak jauh berbeda kondisinya dengan warung minum di Banjarmasin.
Di era media sosial, semua hal yang ada di dunia terhubung di satu hal yaitu informasi. Masyarakat kita pasca bersentuhan dengan media sosial memang rentan terjangkit dengan dengan rasa ketakutan ketinggalan informasi. Padahal di kondisi keberlimpahan informasi, di saat yang bersamaan masyarakat kita malah disibukkan dengan perilaku buzzer jahat yang mendengungkan isu pinggiran demi menggeser perhatian warga.
Padahal, sebelum kehadiran media sosial, warung teh yang juga diisi dengan perbincangan politik yang tidak resmi karena bercampur sari dengan berbagai tema kehidupan yang dijalani warga, informasi politik biasanya didominasi oleh satu atau dua orang yang menjadi corong informasi politik dan mendominasi perbincangan. Orang ini kemudian dikenal sekarang sebagai buzzer, walau memiliki banyak perbedaan tapi eksistensi orang tersebut bisa disamakan sebagai pendengung.
Informasi yang didapat kemudian disebarkan di rumah masing-masing sehingga bisa menjadi viral di sebuah wilayah. Namun, perbedaannya buzzer “warung teh” dengan buzzer “media sosial” adalah dampak dan keterjangkauan. Buzzer “warung teh” jelas sangat memiliki batasan wilayah isu dan jangkauan pengaruh yang lebih sempit ketimbang buzzer “media sosial”. Belum lagi jika berbicara wilayah secara ekonomi, buzzer “media sosial” kebanyakan dibayar oligarki untuk mempengaruhi pemilih.
Di tengah perbedaan yang besar, di antara buzzer “warung teh” dan buzzer “media sosial” di kontestasi politik tidak segan memakai isu populis atau yang memiliki proximity dengan audiens mereka, yang kalau di Indonesia adalah isu Agama.
Isu agama rentan terseret dalam pengalihan isu yang dilakukan oleh buzzer demi meloloskan maksud tujuannya. Di akhir esai ini, otoritas agama harus mulai menjadi pelopor menjaga agama agar tidak terseret dalam pengalihan isu yang disebar oleh buzzer. Jangan sampai malah otoritas keagamaan malah terjebak baik menjadi buzzer “media sosial” atau “warung teh”.
Sebab, kehadiran agama dalam perbincangan buzzer di media sosial, akan terjebak pada segregasi yang sangat parah di tengah kondisi umat seharusnya bisa lebih fokus berjuang melawan ketidakadilan yang menjajah umat sekarang.
Fatahallahu alaihi futuh al-arifin