Buya Abdul Somad dan Rina Nose

Buya Abdul Somad dan Rina Nose

Buya Abdul Somad dan Rina Nose

Belakangan ini, ramai di media sosial dan media online, tentang ceramah Buya Abdul Somad yang menanggapi pertanyaan jamaah perihal rina nose yang kembali membuka jilbab. Dari pernyataannya, Buya Abdul Somad dianggap menghina fisik Rina Nose dan bahkan menghina ciptaan Tuhan, sehingga ia dicap sebagai ustad yang tak lebih beriman, berakhlak dan beradab dari Rina Nose sendiri, karena mengucap sesuatu yang tidak pantas untuk diucapkannya.

Peristiwa ini dalam pandangan saya merupakan peristiwa yang akan selalu berulang dalam sejarah manusia. Ucapan Buya Abdul Somad tentang Rina Nose, menurut saya bukan soal penghinaan terhadap ciptaan Tuhan, atau keberimanan tetapi soal standar kepantasan dari masyarakat yang berbeda secara budaya. Di sinilah pangkal masalah dimulai dan ini pula yang menjadi sebab lidah Buya keseleo.

Saya akan menjelaskan kenapa peristiwa ini saya anggap selalu berulang? karena hal yang sama, namun dalam masalah/tema berbeda, telah dan akan terus terjadi dalam masyarakat berbeda budaya. Saya sendiri telah berkali-kali mendengar kisah ketidaksepahaman ini.

Pernah suatu ketika, seorang ibu muda yang baru saja pulang dari rantau membentak-bentak seorang orang tua sepuh di depan rumahnya yang terletak di pinggir jalan. Ia menyebut orang tua itu menghina dirinya, keluarga dan anaknya, dan ia menganggap ibu mertuanya itu tidak menerima kehadiran mereka di kampung halaman.

Pernikahan anaknya dengan perempuan itu memang terjadi di rantau. Ketika itu, karena alasan pekerjaan mereka tidak bisa pulang dan juga tak cukup uang untuk menyeberangkan orang tuanya ke rantau di hari pernikahan.

Singkat cerita, seorang ibu yang sudah sepuh itu, hanya terdiam sambil berurai air mata mendengar cacian menantunya. Ia disebut sebagai perempuan tua tidak tahu diri, tua bangka nan miskin, dan satu persatu mamah muda itu juga membacakan nama-nama binatang di hadapannya.

Setelah puas, mamah muda itu, beranjak pergi. Sekali lagi orang tua itu, diam tak menjawab. Sambil menyeka air matanya, ia lalu masuk ke dalam rumah. Tanpa kata-kata.

Orang-orang di sekelilingnya pun larut dalam diam mereka. Hanya mata yang bicara di antara sesama mereka.

Selang satu hari, barulah diketahui bahwa masalah antara mamah muda dan mertuanya disebabkan karena sang mertua memanggil cucunya dengan si buruk dan si hitam. Menantunya lalu tersinggung dan marah karena menyebut anaknya sebagai anak yang buruk dan hitam.

Bagi orang yang besar di kampung, panggilan si buruk, si hitam untuk memanggil anak kecil adalah panggilan biasa saja yang tidak dipahami sebagai penghinaan. Dalam kesepahaman umum, panggilan itu adalah panggilan kesayangan. Tapi ni hanya berlaku untuk anak kecil bayi. Anak-anak sekarang bilang, hanya berlaku untuk dede bayi.

Kenapa mamah muda menyebutnya sebagai panggilan penghinaan? Karena di kota tradisinya memang begitu. Tidak boleh memanggil anak kecil dengan panggilan si buruk, si jelek, atau si hitam.  Dalam kondisi apapun seorang anak harus dipanggil sebagai cantik atau ganteng. Tujuannya untuk menyenangkan hati orang tuanya.

Cara berpikir seperti ini berbeda dengan di kampung saya, di pedalaman Sumatera. Kondisi fisik kadang dipakai untuk identifikasi orang. Kebiasaan ini terbentuk dalam masyarakat mungkin karena dulu namanya  sama dan pekerjaannya sama. Sehingga ciri-ciri fisik adalah salah satu cara untuk identifikasi orang dewasa.

Kadang, panggilan terhadap seseorang juga mengacu pada fisik. Tujuannya tak lain adalah untuk mengidentifikasi belaka. Bukan penghinaan. Karena bentuk fisik manusia tidak menjadi standar ukur baik atau tidaknya seseorang, sehingga menyebutnya bukanlah penghinaan. Sebaliknya, menyebut atau merasa bentuk fisik sebagai kekurangan justru merupakan penghinaan terhadap ciptaan Tuhan.

Mungkin itulah sebabnya di kampung saya ditemukan panggilan seperti mak njang, untuk orang yang tinggi, mak endek untuk orang bertubuh pendek, kaliang untuk orang yang berkulit hitam, dan seterusnya.Bahkan dalam tradisi dan adat ditemukan gelar Datuak Bandaro Itam, Sutan Rajo Putiah, Datuak Kuniang. Setiap orang di tempatkan berdasarkan kapasitasnya masing-masing.

Dalam keseharian kadang, hal yang bersifat fisik ini memang tak jarang menjadi guyonann belaka. Dan itu hal biasa saja. Namun menjadi tidak biasa, jika dilontarkan dalam konteks budaya yang berbeda. Inilah yang menjadi akar masalah Buya Abdul Somad. Sehingga masalahnya menjadi rumit. Semakin akan bertambah rumit karena Buya Abdul Somad merupakan ulama yang tengah naik daun. Perihal Rina Nose, tampaknya akan menjadi terpaan angin yang agak kencang bagi Buya, karena menuai kritik.

Ketika Buya mampu menyelesaikan masalah perbedaan pandangan dalam masalah agama, Buya tersandung dalam masalah pandangan budaya dan perubahannya. ini tidak hanya terjadi pada Buya Abdul Somad, tetapi banyak banyak pemuka agama keseleo karenanya. Sebab jarang sekali orang yang mendalami agama juga mempnyai kedalaman paham tentang budaya masyarakat berikut cara berfikirnya.

Hal itu kita terlihat betapa di Sumatera Utara, tempat kajian berlangsung tidak ada jamaah protes tentang ucapan Buya, mereka malah tertawa. Tetapi menjadi ramai ketika orang di luar ikut mengomentarinya. Sama halnya dengan komentar KH. Said Agil Siradj tentang jenggot yang pernah ramai.

Terakhir, Buya Abdul Somad perlu menyadari bahwa kajiannya saat ini tidak hanya didengar oleh masyarakat yang terbelah oleh pandangan keagamaan, tapi juga masyarakat yang berbeda latar belakang budaya, pengetahuan, cara berpikir dan kepentingan.