Buruh, Mudik, dan Sebuah Pulau Imajiner Bernama Dressrosa

Buruh, Mudik, dan Sebuah Pulau Imajiner Bernama Dressrosa

Buruh, Mudik, dan Sebuah Pulau Imajiner Bernama Dressrosa

Bagi Anda penggemar manga atau anime One Piece tentu masih ingat dengan satu episode epik ketika Monkey D. Luffy dan nakama-nya berpetualang di kerajaan bernama Dressrosa. Sekilas kota tersebut terlihat indah. Masyarakatnya harmonis. Bahkan manusia dan mainan bisa saling bergandengan tangan.

Rakyatnya sangat mencintai rajanya, Donquixote Doflamingo, seorang bajak laut yang memiliki gelar ouka sichibukai. Gelar ini menjamin bahwa pemiliknya mendapat perlindungan dari pemerintah dunia. Sebaliknya, sang bajak laut juga tidak boleh menentang pemerintah dunia dan siap bertarung demi pemerintah jika dibutuhkan.

Doflamingo memerintah kerajaan tersebut selama sepuluh tahun. Sebelumnya, ia merebut tahta dari Raja Riku untuk membangun sebuah kerajaan yang kaya raya. Dressrosa adalah sebuah kerajaan miskin nan agraris sebelum disulap menjadi kerajaan yang kaya raya karena ada investasi besar dari berbagai negara.

Ternyata, di balik begitu indahnya kehidupan Dressrosa terdapat sisi yang sangat kelam. Sisi gelap ini bahkan tidak disadari oleh masyarakat karena dibalut dengan kebahagiaan semu. Siapa sangka, mainan yang menemani hari-hari manusia adalah sosok manusia di masa lalu. Mereka diubah oleh salah satu anggota keluarga kerajaan bernama Sugar yang memiliki kemampuan mengubah apapun menjadi mainan dengan cara menyentuhnya.

Seseorang yang sudah dijadikan mainan tiba-tiba akan tercerabut dari masa lalunya. Ia tidak bisa menolak perintah kerajaan dan dilupakan oleh orang-orang yang pernah mengenalnya. Selanjutnya, mereka akan dijadikan budak untuk memuluskan bisnis kerajaan.

Gambaran penggalan cerita One Piece tersebut sangat melekat dengan kehidupan kita sehari-hari. Seringkali kita mengasumsikan bahwa kemajuan sebuah bangsa dilihat dari bagaimana kota-kota dibangun dengan megah. Tingkat kebahagiaan diukur dari berapa banyak memiliki harta.

Pola pikir ini yang membuat banyaknya laju perpindahan dari pedesaan menuju perkotaan. Urbanisasi. Banyak anak nelayan, petani, pengerajin, dan profesi desa lainnya terpikat dengan kemajuan sehingga meninggalkan profesi warisan untuk mengadu nasib di Ibu Kota. Kebanyakan menjadi buruh pabrik dan profesi terkait dengan rumah tangga. Beberapa mengikuti kelas seminar untuk membangun bisnis importir dengan penghasilan puluhan juta dalam sehari.

Jumlah masyarakat yang melakukan urbanisasi meningkat setiap tahun. Iming-iming gaji Ibu Kota yang bisa dua kali lipat dari upah minimum di kabupaten asalnya menjadi alasannya. Di banding menjadi petani yang harus berhadapan dengan wabah tikus atau gagal panen, banyak yang memilih bertarung di kota besar karena memiliki ‘kepastian’.

Saya yang lahir dan mencicipi pengalaman hidup di pedesaan merasakan betul bagaimana kategori sejahtera diukur dengan hal yang sangat sederhana. Ada banyak petani yang merasa malu apabila anaknya menjadi petani. Apalagi jika sudah menyekolahkan anaknya hingga SMA, seseorang punya ekspektasi lebih. Bahkan orang akan mengolok-olok apabila ada pemuda yang menjadi petani.

Padahal dalam struktur sosial, buruh menjadi salah satu profesi yang sangat rentan. Era pandemi ini membuka lebar mata kita semua di mana ada jutaan buruh dirumahkan atau bahkan dipecat karena usaha mengalami paceklik. Ini terjadi bukan hanya pada buruh pabrik besar. Supir pribadi pun mengalami gejolak yang sama. Ada banyak bos yang tidak lagi keluar rumah membuatnya tidak lagi membutuhkan supir pribadi.

Apesnya, banyak bos yang wataknya seperti Doflamingo yang selalu tamak dan cenderung memperbudak. Ia tidak peduli dengan kesejahteraan buruh, justru berupaya membuat pekerjanya layaknya mainan yang tidak membutuhkan makanan.

Sementara para Doflamingo ini selalu menunjukkan imajinasi kebahagiaan semu di balik iklan berbayar. Sialnya, oknum di kekuasaan mengamini imajinasi ala Doflamingo. Tidak mengherankan apabila di tengah larangan bepergian ke luar kota akibat pandemi, penguasa masih saja berupaya untuk mendatangkan tenaga kerja asing demi investasi.

Mudik di Era Pandemi

Mudik adalah salah satu cara seseorang untuk membuktikan ‘kesuksesannya’ ketika meninggalkan desa. Seseorang akan merasa bangga apabila sudah mampu membawa mobil atau membagi-bagikan uang dengan nominal lebih ke anak-anak kecil. Bahkan ada banyak orang rela menghemat pengeluaran dalam setahun demi terlihat mencolok di hari lebaran saat bersua dengan kerabat di kampung halaman.

Namun sekaratnya perekonomian membuat banyak orang mengalami badai yang luar biasa, terutama dalam hal standar dan gaya hidup. Dalam fase paling krisis, seseorang memutuskan untuk menyingkirkan sementara kebahagiaan palsu ala Ibu Kota. Ternyata benar apa kata Abraham Maslow bahwa kebutuhan dasar manusia adalah urusan perut. Mereka berbondong-bondong pulang ke kampung halaman untuk menjamin tetap bisa makan.

Mereka bukan ‘mudik’ dalam arti memiliki rencana kembali ke Ibu Kota. Mereka ‘pulang kampung’ tanpa kepastian akan seperti apa di masa mendatang. Frasa terkenal Jawa ‘mangan ora mangan asal kumpul’ (tidak peduli bisa makan atau tidak yang penting bisa berkumpul) kembali relevan di masa kini.

Menjelang Idul Fitri tahun ini dipastikan sunyi dari pembicaraan gaji tinggi yang menyeret ribuan orang tertarik bertarung ke ibu kota. Perlahan orang mulai banyak menyadari, di balik kehidupan benderang Ibu Kota, terdapat sisi kelam yang sangat sulit dibayangkan.

Saking gelapnya, orang di Ibu Kota sampai rela tidur di trotoar jalan karena tidak sanggup membayar kos-kosan. Gambaran seperti ini sebenarnya sudah banyak terjadi di hari-hari biasa. Namun pandemi ini semakin menegaskan bahwa realitas gemerlap Ibu Kota ditebus dengan sisi paling mencekam yang dirasakan oleh jutaan penghuninya.

Seperti Dressrosa yang perlahan ingin kembali ke kehidupan sederhananya, kini orang mulai melirik persawahan yang sudah banyak terjual untuk dibangun pabrik. Bisa jadi orang mulai sadar ternyata manusia masih doyan makan nasi. Bukan mobil, apalagi beton. Wallahua’lam.