Presiden Prancis pada hari Selasa kemarin (20/10) menutup masjid di Paris, dan menyebut kelompok Islam militan dalam negeri “terlibat secara langsung” dalam kasus pemenggalan kepala seorang guru yang telah menunjukkan karikatur Nabi Muhammad di kelasnya, minggu lalu.
Dilansir oleh kantor berita AP, Emmanuel Macron menyatakan perintah pembubaran kelompok militan mulai hari Rabu. Di hari yang sama, presiden Prancis tersebut memerintahkan menutup masjid yang menyampaikan kecaman terhadap guru yang menjadi korban pembunuhan sadis.
Investigasi dan tuduhan terorisme sedang dilakukan terhadap pembunuhan oleh seorang imigran asal Chechnya kelahiran Moskow berusia 18 tahun, yang kemudian ditembak mati oleh polisi. Pembunuh telah diidentifikasi oleh pihak berwenang sebagai Abdoullakh Anzorov.
Seorang pejabat pengadilan mengatakan pada Rabu (21/10) pagi bahwa tujuh orang telah ditahan dalam penyelidikan pembunuhan mengerikan itu. Tahanan tersebut, termasuk dua anak di bawah umur, harus menghadap hakim investigasi untuk proses dakwaan. Ketujuh orang itu di antara 16 orang, termasuk lima remaja, awalnya ditahan untuk diinterogasi. Sembilan orang sedang dibebaskan.
Penyelidik mencoba mempelajari bagaimana Abdullakh Anzorov, yang tinggal di kota Evreux, Normandia, melancarkan pembunuhannya atas Paty. Apakah ada keterlibatan pihak lain dan apakah pemenggalan itu telah direncanakan matang sebelumnya.
Berbicara setelah pertemuan dengan pejabat regional yang bekerja untuk melawan kelompok Islam radikal, Macron menambahkan bahwa asosiasi dan individu lain yang berada dalam radar pemerintah untuk dibubarkan atau dihentikan aktivitasnya, termasuk menutup masjid.
Paty telah menunjukkan karikatur nabi Muhammad di depan kelasnya awal bulan ini untuk diskusi tentang kebebasan berekspresi. Kelas kewarganegaraan tersebut menimbulkan keluhan dan ancaman dari wali murid.
Emmanuel Macron menegaskan pada hari Selasa bahwa dia menginginkan “hasil nyata” untuk memerangi ideologi yang disebutnya sebagai “ideologi penghancuran Republik (Prancis)”. Aksi nyata Presiden Prancis ini diwujudkan dalam menutup masjid yang diduga ikut menyebarkan ujaran kebencian, dan instruksi pembubaran kelompok militan Islam yang berasosiasi dengan Hamas Palestina.
Salah satunya, pemerintah Prancis menutup Masjid Agung Pantin di wilayah berpenghasilan rendah di pinggiran timur Paris. Masjid ini telah membagikan video di halaman Facebook-nya sebelum pembunuhan terhadap guru tersebut. Aktivitas di masjid tersebut akan ditutup selama enam bulan ke depan.
Pihak berwenang mengatakan Masjid Agung Pantin telah lama memiliki imam yang memegang kuat aliran Salafi. Pantin juga merupakan tempat tinggal imigran Pakistan berusia 18 tahun yang tiga minggu sebelumnya menyerang dan melukai dua orang dengan pisau di bekas kantor Charlie Hebdo.
Macron juga mengatakan satu kelompok yang disebut Collective Cheikh Yassine (Jamaah Syekh Yasin) akan dibubarkan pada pertemuan Kabinet hari Rabu. Jamaah tersebut mengambil nama salah seorang pemimpin Hamas Palestina yang terbunuh pada tahun 2004.
Jamaah tersebut didirikan pada awal tahun 2000-an oleh seorang pria yang termasuk di antara mereka yang ditahan untuk diinterogasi. Emmanuel Macron tidak memberikan rincian tentang bagaimana kelompok itu “terlibat langsung” dalam serangan itu.
Menteri Dalam Negeri Gerald Darmanin mengatakan bahwa orang tersebut membantu menyebarkan pesan dari seorang wali murid terhadap Samuel Paty, yang sebagian terdistorsi dan berubah menjadi ajakan kebencian yang menyebar di media sosial di antara beberapa individu atau kelompok Muslim.
Kasus pemenggalan guru itu bergema jauh di luar Prancis. Beberapa hari lalu, Imam Besar Al-Azhar, Syekh Ahmad al-Tayeb, mengatakan bahwa ajaran Islam tidak bersalah dari serangan pembunuhan tersebut. Statemen Imam Besar Al-Azhar itu disampaikan dalam sebuah pesan yang dibacakan kepada para pemimpin agama dalam sebuah acara dialog pada hari Selasa (20/10) di Roma.
Syekh Ahmad al-tayeb juga menyebut pemenggalan itu “berdosa dan kriminal”. Dia juga mengatakan bahwa integritas intelektual dikompromikan dengan menghina agama dan menyalahgunakan simbol suci yang bersembunyi di balik slogan kebebasan berekspresi.
Macron telah meminta tindakan cepat dan konkret dalam kasus ini. Presiden Prancis mengobarkan perang terhadap apa yang dia sebut “separatisme,” merujuk pada ekstremisme Islam yang menurut pihak berwenang telah menciptakan dunia parallel di negara itu yang dianggapnya melawan nilai-nilai Prancis. Dengan pemerintah Prancis menutup masjid, tentu menjadi preseden buruk bagi integrasi Muslim imigran di negara tersebut.