Bung Karno: Apa Sebab Turki Memisah Agama dari Negara? (3)

Bung Karno: Apa Sebab Turki Memisah Agama dari Negara? (3)

Bung Karno: Apa Sebab Turki Memisah Agama dari Negara? (3)

Merdekanya negara dan Islam, merdekanya Islam dari negara! Benarkah anggapan ini? Salahkah anggapan ini? (Baca: edisi Bung Karno: Apa Sebab Turki Memisah Agama dari Negara? Bag-1 dan Bung Karno: Apa Sebab Turki Memisah Agama dari Negara? (2) )

Marilah kita dinomor yang akan datang menyelidiki “alasan ekonomi” dan pimpinan-pimpinan Turki-muda itu, yakni prakteknya Islam di negeri Turki di atas lapangan ekonomi. Sabarkanlah sampai sekian!

Di dalam artikel saya ini saya mau menceritakan kepada tuan­tuan, apakah “alasan-alasan ekonomi” dan pemimpin-pemimpin Turki­ muda itu buat memisahkan agama dan negara. Lebih dulu saya peringat­kan kepada tuan-tuan, bahwa maksud saya menulis seri artikel sekarang ini hanyalah sekadar “memperslahkan” keadaan-keadaan dan aliran-aliran di Turki sahaja, sekadar memberi satu “objectieve weergave”, dari ke­adaan-keadaan dan aliran-aliran di Turki itu.

Di dalam bagian I dari seri ini saya sudah katakan kepada tuan-tuan, bahwa saya merasa belum mempunyai hak menjatuhkan satu pendapat atas Turki sekarang itu, oleh karena saya punya studi tenting Turki-muda memang belum boleh dikatakan cukup. Saya belum mau berkata: “inilah satu sikap terhadap kepada Islam yang harus kita tiru”, tetapi sebaliknya saya tidak mau berdiri di barisannya orang-orang, yang zonder studi dalam­-dalam, sudah memaki-maki dan mengkafir-kafirkan Turki itu. Baik di dalam bagian I itu, maupun di dalam satu bagian dari seri “Memudakan Pengertian Islam”, saya telah berkata, bahwa sebenarnya hanya sejarah kelak yang dapat menentukan benarnya atau salahnya Turki-muda itu!

Apakah “alasan-alasan ekonomi” dan pemimpin-pemimpin Turki itu? Dengan satu dua patah kata sahaja, inilah mereka punya alasan ekonomi itu: prakteknya umat Islam di Turki tak mampu menyehatkan pereko­no–mian Turki, tak mampu menyuburkan perekonomian Turki itu, bahkan malahan melemahkan, mengendorkan, mengocar-kacirkan perekonomian itu. Dan manakala mereka berkata demikian, maka bukan ajarannya Islam yang mereka maksudkan, bukan pengajarannya Islam, bukan Islam qua Islam, tetapi ialah praktek umatnya sebagaimana ia telah terjadi sepanjang perjalanan zaman, praktek umatnya yang menjadi satu dengan negara.

“Kita tidak mencela Islam, kita mencela akibat-akibat Islam yang kita kenal di negeri kita sekarang itu”, begitulah Zia Keuk Alp berkata.

Bagaimana praktek ini? Lebih dulu pembaca harus mengetahui, bahwa persatuan agama dan negara itu di Turki di atas lapangan burgerlijk recht sudahlah mengadakan satu keadaan dualisme, – satu hal yang ber­bathin dua; satu recht dari hukum-hukum agama, yakni syari’at, dan satu recht kedudukan yang difirmankan oleh Sultan atau parlemen. Berhubung dengan banyaknya firman-firman yang ia keluarkan inilah, maka misalnya Sultan Sulaiman yang di dalam kitab-kitab-tarich Eropah biasanya dina­makan “Sulaiman de Prachtlievende” di dalam sejarah Turki dinamakan­lah ia “Sulaiman Canuni”,

“Sulaiman pembuat undang-undang”. Pada hakekatnya atau wujudnya maka recht keduniaan ini sering sekali bertentangan dengan hukum Islam. Misalnya, Sulaiman Canuni mem­firmankan, bahwa pencuri-pencuri, penzina-penzina, pemabuk-pemabuk, musti dihukum bui atau dihukum denda, padahal syari’at menetapkan pencuri harus dipotong tangannya, penzina dilabrak di muka umum, pemabuk dihukum pukul.

Halide Edib Hanoum mengambil ini sebagai satu bukti, bahwa perbuatan kaum pemimpin Turki sekarang itu sebenarnya bukanlah satu perbuatan yang mengejutkan, bukanlah satu perbuatan yang betul-betul revolusioner, tetapi adalah satu perbuatan yang sebenarnya telah dimulai berangsur-angsur oleh angkatan-angkatan yang terdahulu: perpindahan sifat negara Turki dari satu negara teokrates (negara agama) menjadi satu negara dunia, bukanlah satu perpindahan sebagai kilatannya kilat, tetapi ialah satu perpindahan yang berangsur, yang bertingkat-tingkat, yang evolusioner. Sebagaimana Marx berkata, bahwa revolusi-revolusi besar bukanlah buatannya pemimpin “in een slapeloze nacht”, maka Halide Edib Hanoum-pun berkata bahwa revolusinya Turki sekarang itu bukanlah satu “single act overnight”.

Maka apakah akibat dualisme ini? Akibatnya ialah, bahwa masyarakat di Turki senantiasa menderita akibat-akibatnya pertentangan di dalam kulitnya masyarakat itu sendiri. Selalu ada satu perjoangan, satu pergeseran antara kekuasaan keduniaan dan kekuasaan keagamaan, antara pemerintah dan Sheik-ul-Islam, antara amtenar-amtenar dan ulama‑ulama. Masyarakat Turki karenanya bathinnya adalah terpecah pecah‑belah, atau retak senantiasalah tampak pada tubuhnya masyarakat Turki itu.

Maka masyarakat yang retak dan terkoyak-koyak demikian ini tak mungkinlah menjadi subur dan kuat, tidak ke dalam dan tidak keluar! Dan apakah yang terjadi pula?

Tiap-tiap konflik, tiap-tiap perjoangan, tiap-tiap pertentangan, membawa akibat mempertajam” perbedaan antara dua fihak yang berkonflik itu. Ini memang sudahlah hukumnya alam. Yang modern memoderen, yang kolot mengolot. Yang mau kepada perobahan menjadilah ekstrim radikal, yang tidak mau kepada perobahan menjadilah beku datuknya beku. Inilah sebabnya itu gejala yang ganjil sekali di masyarakat Turki. Sebabnja itu kejadian yang aneh sekali di masyarakat Turki: tidak adalah dulu satu negeri yang ulama-ulamanya begitu kolot seperti di Turki, tetapi juga tidak ada satu negeri Islam yang pergerakannya hervorming-nya begitu radikal dan ekstrim. Tidak ada satu negeri yang faham-faham kolot begitu bersulur­-akar seperti di Turki, tetapi tidak pula ada satu negeri yang apinya fikiran-modern begitu menyala menjilat-langit.

Ambillah misalnya faham tentang qadar. Tidak ada satu negeri yang faham tentang qadar itu begitu kolot dan salahnya seperti di Turki, begitu mematikan tiap-tiap inisiatif, begitu melemahkan tiap-tiap iradat. Segala hal diserahkan sahaja kepada qadar, segala hal dikembalikan sahaja kepada taqdir. Perkataan “kismet” adalah tertanam dalam-dalam jiwanya bangsa Turki dulu itu. Tiap-tiap kemalangan diterimanya sebagai kismet, tiap-tiap kemudratan dikembalikan kepada kehendak kismet. Kismet inilah yang menjadi asalnya kebanyakan kaum Orientalis mengira bahwa agama Islam adalah satu agama yang sama sekali ber­sandar kepada fatalisme: mati, hidup, putih, hitam, pahit, mans, mujur, malang, – semuanya terserah sahajalah kepada Ilahi karena telah tertulis di dalam kismet lebih dahulu, tak gunalah terlalu ikhtiar, cukuplah kita menunggu sahaja nasib kita itu seperti menunggu tetesnya air embun.

Hartman, seorang Orientalis yang kesohor, pernahlah menceritakan, betapa seorang Turki berkata kepadanya: Buat apa membanting tulang terlalu? “Siapa yang betul-betul percaya kepada Allah, seringlah ia men­dapat ia punya nasi dengan jalan yang tidak disangka-sangka. Belum pernahlah kejadian, bahwa orang yang betul-betul percaya kepada Allah, menderita kelaparan.” Percaya sahajalah kepada kismet, kalau engkau sengsara, maka itulah sudah kehendak Allah buat kebaikan engkau punya jiwa! [bersambung]

Baca tulisan sebelumnya:

Bung Karno: Apa Sebab Turki Memisah Agama dari Negara? (1)

Bung Karno: Apa Sebab Turki Memisah Agama dari Negara? (2)