Bulan Ramadhan tinggal menghitung hari, tapi pandemi corona sepertinya menolak pergi. Sejak awal debutnya di Wuhan, hawar Coronavirus Disease (Covid-19) tampak semakin menggila saja. Tidak hanya menggugurkan banyak nyawa manusia, Covid-19 terbukti juga menumbangkan banyak aktivitas, mulai dari sektor ekonomi hingga agenda silaturahmi, dalam berbagai level dan kepentingannya.
Bulan suci kali ini besar kemungkinan akan menjadi Ramadhan yang mengheningkan cipta. Sorak-sorai karang taruna atau gambrengnya anak-anak saban menjelang waktu sahur terancam sepi. Demikian pula pembagian takjil tiap menjelang buka puasa, gemerlap kampung ramdahan, sembahyang tarawih berjamaah di masjid-masjid, dan tentu saja sweeping warung makan, itu semua bakalan absen pada Ramadhan kali ini.
Meski begitu, bagaimana dengan Ramadhan-ramadhan di masa lalu? Atau, pertanyaan lebih tepatnya adalah: apakah Ramadhan kali ini bakal terasa berat?
Jika melihat di masa Islam awal, kita mungkin akan merasa minder. Betapa tidak, di masa Nabi Muhammad atau pada pertengahan bulan Ramadhan tahun kedua Hijriyah, umat Muslim yang masih sedikit kala itu musti baku pedang dengan oposannya di tanah Badar. Kejadian ini lalu diabadikan sebagai Perang Badar.
Jumhur sejarawan menyebut bahwa perang tersebut merupakan kemenangan besar pertama kaum Muslim dan melambungkan reputasi kota Madinah di kalangan suku-suku Badui di sekitarnya. Nabi Muhammad berhasil menunjukkan bahwa ia sanggup menantang monopoli kekuasaan Mekkah.
Detailnya, Tariq Ramadan dalam In the Footsteps of the Prophet: Lessons from the Life of Muhammad (2007) mencatat bahwa Perang Badar dimulai dengan perang tanding satu lawan satu oleh Hamzah, Ali, dan Ubaydah ibn Harits melawan tiga orang Mekkah.
Hamzah dan Ali berhasil mengalahkan lawan mereka, sementara Ubaydah terluka parah. Pertempuran pun segera pecah. Pertempuran berlangsung di bawah langit mendung pagi berikutnya. Barisan orang-orang beriman tetap rapat, sementara barisan pasukan Mekkah—dengan masing-masing kabilah bertempur sebagai unit-unt terpisah dan tak ada kesatuan komando—carut marut dan tercerai-berai.
Bergeser ke era Sahabat, peristiwa penting lainnya dalam sejarah Islam adalah tertanggal 1 Ramadan 21 Hijriah atau tahun 641 Masehi. Saat itu, pasukan kaum muslimin untuk kali pertama menaklukkan Mesir di bawah pimpinan Amr bin Al-Ash yang sebelumnya berhasil merebut Suriah, Palestina, dan Yordania.
Seperti diketahui, Mesir kala itu merupakan bagian dari kekuasaan Kekaisaran Bizantium atau Imperium Romawi Timur. Satu dekade sebelumnya, wilayah ini sempat dikuasai Dinasti Sasaniyah dari Persia. Namun, Bizantium berhasil merebutnya kembali sebelum akhirnya tunduk oleh serbuan pasukan muslim dari Arab.
Ceritanya, sebelum Nabi Muhammad wafat pada 632 M, Amr bin Al-Ash ditugaskan sebagai penarik zakat di kawasan perbatasan Syam atau Suriah. Pada era Abu Bakar Ash-Shiddiq (632-634 M), Amr diberi tugas baru sebagai salah satu panglima pasukan muslim. Peran itu berlanjut pada masa kepemimpinan Umar bin Khattab (634-644 M).
Dan, ya, sebelum menaklukkan Mesir, Amr telah berhasil menundukkan beberapa wilayah termasuk Syam, Palestina, dan Yordania. Alhasil, Umar memberikan Amr misi serupa dengan tujuan merebut Mesir yang terletak di Afrika bagian utara.
Walakin, sekarang situasinya memang berbeda. Bahwa kemudian “every age has its challenges”, itu sepenuhnya benar. Hanya saja, kita sama-sama sedang berperang. Jika Nabi atau para Sahabatnya berperang melawan sekelompok manusia yang kelewat susah diajak maju, maka hari ini kita pun berperang melawan pandemi yang kombatannya adalah makhluk renik. Dan, itulah masalahnya.
Makhluk renik ini, saking tak kasat matanya, seolah tak memberi celah untuk kita melancarkan mode ofensif, kecuali telah ada vaksinnya. Yang bisa kita lakukan akhirnya sebatas menggencarkan setrategi defensif. Itu pun sulitnya minta ampun.
Letak kesulitan itu sebetulnya bukan pada bagaimana kita membaca seberapa jauh gerak-gerik musuh. Sebaliknya, ini sehubungan dengan fenomena sosial yang dinamis dan seringkali melampaui ekspektasi.
Kalau Anda tidak percaya, tanyakan saja pada Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo: betapa Gubernur Ganjar sempat diganjar oleh penghakiman netizen akibat memikirkan warganya yang menolak jenazah, lalu mengusulkan solusi untuk membuat lahan khusus untuk peristirahat terakhir bagi para syuhada korban pandemi Covid-19, bil khusus tenaga medis.
Makhluk renik ini, dengan demikian, telah berhasil membuat kita kocar-kacir. Tidak saja menelan banyak korban, pandemi Covid-19 senyatanya juga kelewat sukses mengobrak-abrik ikatan sosial kita, dari yang semula rumit, menjadi rumit sekali.
Ala kulli hal, Tuhan memang Maha Pengasih dan Penyayang, namun sepertinya tidak demikian dengan virus corona. Virus ini tidak mewarisi sifat welas asih apapun, kecuali, ya, hanya membajak sel pada makhluk hidup agar bisa bertahan. Artinya, virus tidak akan bertahan kalau ia tidak berada di sel.
Kelak, tanpa mengurangi derajat kesucian Bulan Ramadhan, tidak ada salahnya jika umat Muslim turut mendengar dan mematuhi himbauan berbagai lembaga kesehatan dan otoritas yang berwenang agar kita dapat meminimalisir serangan virus Corona, baik lewat pembatasan sosial, karantina mandiri, jaga jarak, hingga hal sesederhana memakai masker wajah dan disiplin cuci tangan yang disebut Yuval Noah Harari sebagai sebuah kesadaran masal yang belum pernah sedahsyat sebelumnya.
BACA JUGA Mereka yang Merayakan Penolakan Jenazah Korban Terduga Virus Corona Atau Artikel-artikel Menarik Lainnya di Sini.