Bulan Ramadhan dan Upaya Menjemput Rezeki Halal

Bulan Ramadhan dan Upaya Menjemput Rezeki Halal

Bulan Ramadhan dan Upaya Menjemput Rezeki Halal

Momen datangnya bulan Ramadan seperti sekarang ini, tidak jarang membuat banyak orang justru sempoyongan. Umumnya para suami yang harus pontang-panting menjemput rezeki untuk memenuhi nafkah keluarganya. Bahkan tidak aneh juga, para istri turut berjibaku mencari tambahan ke sana-sini, hanya untuk bisa memastikan agar kebutuhannya selama Ramadan bisa terpenuhi. Fadilah atau keutamaan Ramadan pun seperti terlihat klise, absurd dan berbanding terbalik.

Perkaranya bukan hanya soal sedikit banyaknya rezeki, sebab orang-orang dengan uang yang banyak sekalipun, kalau kita melihat realitas, seperti tidak ada cukupnya.

Di sinilah pentingnya kita kembali menggali makna berkenaan dengan rezeki, mulai dari cara menjemputnya, proses penggunaannya, sampai pada apakah rezeki tersebut memberkahi kita atau tidak. Sebab yang ada, orang-orang berlomba berburu uang dan harta dalam bentuk lainnya secara membabi-buta.

Sebagai telah menjadi lazim, bahwa orang dengan kepemilikan uang yang banyak secara kasat mata akan mudah mendapatkan kehormatan. Seolah-olah, tolok ukur keberhasilan hidup seseorang adalah kepemilikan uang. Tidak peduli uang itu berasal dari mana, sumbernya halal atau tidak, hasil dari korupsi atau bukan.

Fatalnya lagi, sistem sosial kita mendukung ke arah sana. Kita menjadi tidak berdaya, karena orang-orang tamak, korup, dan gila hormat itu adalah orang-orang terdekat kita. Apakah ia saudara, teman, dan kolega lainnya.

Sampai pada level yang sangat mengkhawatirkan, di mana perilaku tamak, korupsi dan menjilat itu tidak apa-apa asalkan pelakunya kenal dan dekat dengan kita. Lagi pula katanya, perbuatan tercela tersebut dilakukan untuk kepentingan banyak orang.

Untuk keluarga, pertemanan dan organisasi. Hampir semua orang terjebak dalam ranjau sistem sosial yang buruk ini. Sementara, kalau yang melakukan perilaku tercela itu orang lain, apakah karena beda agama, beda suku, beda organisasi dan seterusnya, harus dikutuk dan segera diadili.

Pertanyaannya, apakah masih ada wujud daripada rezeki yang halal? Bagaimana cara menjemputnya? Kepada siapa kita mencari teladannya?

Pertanyaan demi pertanyaan ini kelihatannya mudah dijawab, apalagi kita yang mengaku kaum beragama. Namun, sayangnya pengetahuan agama seperti tidak sinkron dengan perilaku sehari-hari, terlebih pada perilaku tercela banyak orang yang tega menghalalkan segala cara dalam menjemput rezeki.

Ada orang yang tiba-tiba membangun perusahaan, apa kira-kira sikap kebanyakan orang?

Sudah bisa dipastikan banyak di antara kita yang berdecak kagum, buru-buru menjadikan orang tersebut sebagai panutan, kiriman karangan bunga pun berjejer di mana-mana. Sistem sosial kita memaksa agar kita terlibat ke arah sana, kita pun terjebak perilaku anggah-ungguh yang berlebihan. Inilah fakta sosial yang menjadi akar mengapa perilaku korupsi di negeri ini mustahil diberantas.

Benteng pertahanan moral terakhir, yakni ulama dan cendekiawan saja, hari ini sudah tidak bisa lagi diandalkan. Mereka sama-sama menikmati sistem sosial yang rusak, menjadi pelaku atas perilaku bagi-bagi jatah anggaran, cawe-cawe dan perilaku tercela lainnya dengan penguasa.

Ulama dan cendekiawan yang telah kehilangan jati diri, secara sengaja dan terbuka memperlihatkan mental penjilat dan korupnya. Walhasil, mumpung Ramadan, mari kita kembali ke jalan yang sesuai dengan tuntunan agama.

Meskipun kelihatannya sulit, bahkan berat, siapa-siapa yang belum dikaruniai uang dan harta yang banyak, tidak usah kita minder dan berkecil hati. Tidak perlu masuk pada lingkaran sistem sosial yang rusak itu, sampai kemudian menggadaikan prinsip menjemput rezeki yang halal.

Sesayang apapun kita terhadap keluarga, pastikan nafkah yang kita pergunakan merupakan nafkah yang kualitasnya halal. Sebab istilah halal, kini juga sudah mulai absurd maknanya akibat ulah para ulama dan cendekiawan yang memanipulasi makna halal itu sendiri.

Terus bekerja sekuat tenaga, tanpa tengok kanan-kiri terhadap orang-orang yang bisa hidup serba mewah.

Wallahu a’lam