Agaknya ada kegembiraan membuncah di hati saya kemarin siang sepulang shalat Jum’at. Bukan apa-apa, sebabnya sederhana saja, sepanjang khutbah jum’at, tak seperti biasanya, saya berhasil menahan diri untuk tidak ketiduran. Maklum, bangun siang.
Enak juga ternyata mengikuti rangkaian shalat Jum’at dengan kondisi badan segar dan kesadaran prima. Hampir tidak ada jeda saat memperhatikan khutbah. Fokus dan perhatian saya full pada apa yang disampaikan khotib, meski sayang, tak ada sesi tanya-jawab atau masukan dan sanggahan semacam forum-forum kuliah umum di kampus-kampus.
Ringkasnya, khatib mengingatkan bahwa inilah jum’atan terakhir Ramadhan tahun ini. Sang tamu agung sebentar lagi akan pamit pulang. Segala keistimewaan dan keutamaan ibadah akan segera habis. Tidak cukup dengan kesedihan, kehilangan besar ini harus disikapi dengan aksi nyata untuk memaksimalkan waktu yang masih tersisa.
Di dalam bulan Ramadhan, ibadah sunnah diganjar pahala ibadah wajib, ibadah wajib dilipatgandakan 70 kali, bahkan ada satu malam bernilai 1000 bulan! Jangankan itu semua, tidur di bulan mulia ini pun dinilai ibadah. Maka, waktu yang tinggal sebentar lagi ini harus di-pol-kan! Ibarat marathon, ini etape terakhir yang sebisa-bisa mungkin kami dianjurkan untuk sprint. Ngebut. Sekuat tenaga. Segetol mungkin.
Kita tentu saja perlu bersyukur atas kekhusyukan dan kegetolan umat dalam menjalankan ibadah di bulan Ramadhan. Bahwa ada pendapat yang menyayangkan keseriusan ibadah karena iming-iming pahala melimpah dan menganalogikannya dengan fenomena kegupuhan ibu-ibu ketika melihat diskonan atau flash sale akhir tahun, maka saya rasa pendapat itu tidak perlu juga kita amplifikasi.
Apalagi mengalamatkannya pada seseorang ataupun kelompok tertentu. Sama sekali tidak perlu. Sudah semangat beribadah saja bagus. Soal niat dibaliknya seperti apa, saya pikir kita tidak usah rewel satu sama lain karena itu benar-benar urusan pribadi masing-masing.
Bahwa pandangan tadi ada benarnya, saya setuju-setuju saja. Karena memang, narasi keistimewaan Ramadhan yang melulu dikait-kaitkan pada perkara pahala, pahala, dan pahala belaka barangkali memang mengakibatkan huru-hara ritual transaksional. Meski bukan berarti itu tak baik, tapi bukankah semestinya ada yang lebih ultimate daripada itu semua?
Bagi saya, tatkala Allah menyediakan berbagai kemurahan, lipatganda pahala, dan segala bentuk-bentuk keutamaan yang dihamparkan untuk hambaNYa pada bulan Ramadhan, jujur saja, kalau dipikir-pikir, -maaf- kok tidak masuk akal ya.
Heits, tenang Lur, jangan buru-buru marah..
Coba pikir, dalam dialektika hubungan manusia dengan Allah, siapa sih sebenarnya pihak yang membutuhkan dan dibutuhkan? Siapa yang jadi hamba dan siapa yang berposisi sebagai Tuhan?
Sudahlah jelas manusia ini adalah makhluk faqir yang tak punya apa-apa, kecuali dicukupi olehNya. Tak bisa apa-apa, kecuali dimampukan olehNya. Bahkan sama sekali tak ada, kecuali di-ada-kan olehNya.
Tidak perlu ndakik-ndakik pada persoalan besar, untuk soal proses metabolisme pencernaan yang menjadikan makanan berbuka tadi menjadi -maaf- tai yang pulen saja manusia nggak mampu. Apalagi, memastikan misalnya matahari besok terbit lagi supaya beras dan sayuran tetap bisa ter-supplai di dapur kita.
Nggak, manusia jyan cupu bahkan pada perkara pemenuhan kebutuhannya sendiri.
Dan, Allah tanpa jeda memenuhi kebutuhan si faqir ini. Tanpa pernah ada sela sama sekali, meski manusia seringkali tak menyadari. Allah adalah kebutuhan absolut seorang hamba. Sedang sebaliknya, Allah sama sekali tidak membutuhkan apa saja dari makhluk yang lemah dan cemen ini. Allah tetap Maha Segala meski semua manusia bahkan tidak menyembahNya.
Jadi, jika kembali pada analogi flash sale tadi, iming-iming dan diskon dibuat untuk meningkatkan daya tarik agar pedagang meraup keuntungan, maka pada keistimewaan, kemurahan, dan keutamaan Ramadhan adakah Alloh membutuhkan laba dari manusia? Memangnya Allah membutuhkan ibadah dari manusia? Kan sama sekali tidak..
Pada titik inilah pangkal keheranan saya, karena sewajarnya, pihak yang membutuhkan inilah yang memberikan kemurahan, iming-iming agar terus diperhatikan, ‘nyogok’ supaya terus menerus dekat. Lho, lha ini malah sebaliknya je! Sudahlah Allah yang mencukupi, memampukan, lha kok juga malah memberi kemurahan, diskon, dan segala keistimewaan? Apa-apaan coba? Apikan kok biyangettt.
Maka Ramadhan, bagi saya adalah momentum kemesraan yang Allah tawarkan kepada hambaNya. Bukan cuma ajang mengumpul-ngumpulkan pahala demi keamanan dan jaminan surga. Karena tanpa itu pun, sudah semestinya manusia berbondong-bondong menyembahNya.