Mengapa kekisruhan-kekisruhan keislaman kita hari ini cenderung dibiangi oleh “para pemula”? Ya, mereka yang kenal Islam, rajin mengkajinya, baru beberapa waktu singkat ini. Dalam anekdot yang bikin ngakak, mereka digambarkan sebagai “muslim/muslimah snobis usia-usia tiga Jum’atan” yang dengan penuh ghirah berkhutbah ke mana-mana dengan berbekal satu dua ayat dan hadits.
Di satu sisi, ghirah berislam itu tentulah menggembirakan. Cermin bahwa cahaya Islam berpijar di mana-mana, termasuk di lingkugan kota-urban-sibuk. Hanya memang, di sisi lain, seyogianya semua kita mengerti pula bahwa ghirah beriman dan berislam yang tidak ditempa dengan keilmuan yang mematang –artinya terus belajar dan belajar—akan menjadi masalah sosial bila bersekutu dengan berahi berkhutbah ke mana-mana dalam maksud “meluruskan orang lain” sesuai pemahamannya yang terbatas. Di sini letak dilemanya. Dan inilah yang menyeruak tanpa ampun ke beranda-beranda keseharian kita kini.
Walhasil, panorama keislaman kita menjadi sangat crowded. Ruwet. Bukan lagi bereskalasi di ranah diskursus yang dinamis dan konstruktif sebagaimana mestinya ilmu-ilmu berdialektika, tapi terjatuh pada jurang hitam-putih, benar-salah, dan halal-haram. Islam menjadi tertabalkan sedemikian kaku, beku, dan ahistorisnya. Bahkan pongah dan gerah.
Slogan yang paling kondang dijedulkan ialah homogenitas klaim “Inilah hukum Allah; kembalilah kepada al-Qur’an dan sunnah Rasulullah Saw.” Persis pekikan Abdurrahman bin Muljam dan kaum Khawarij ketika menebaskan pedangnya ke kepala khalifah Ali bin Abi Thalib.
Andai para muslim/muslimah yang baru kenal dan belajar Islam itu melengkapi ghirahnya terlebih dahulu dengan olah rohani dan ilmu bahwa Islam adalah kompetensi keilmuan (la dina liman la aqla fihi) dan dinamika zaman dan tempat adalah sebuah keniscayaan alamiah (sunnatullah) yang tak perlu diingkari buah lezat kamajemukannya (ikhtilaful ummati rahmatun), pastilah panorama ekspresi keislaman kita semua akan sangat membumi, realistis, akomodatif, dan sinergis. Jangankan sekadar keragaman paham, aliran, dan mazhab, wong kemajemukan iman pun ditampung oleh al-Qur’an. Lakum dinukum wa liya din.
Pluralitas kahanan dalam kehidupan ini adalah mutlak sunnatullah. Sudah kehendak Allah. Sudah hukum alamnya. Bagaimana mungkin kita hendak menjadikannya seragam? Pastilah bergejolak.
Saya ingin menukil beberapa bukti saja dari khazanah sirah nabawiyah yang menunjukkan betapa Rasulullah Saw itu benar-benar penyeru Islam yang woles. Santai. Bukan pemarah, penghujat, penebar gejolak. Dakwah beliau adalah benar-benar corak dakwah yang memuliakan nilai-nilai kemanusiaan universal, penuh cinta, dan sepenuh rahmatan lil ‘alamin, tidak kementhus.
Suatu ketika sekelompok pemuka Bani Najran yang beragama Nashrani mendatangi Rasulullah Saw di masjid Nabawi dalam maksud mendebatnya soal kebenaran Islam. Ditemui dengan baik oleh beliau, ya di dalam masjidnya. Sudahlah niatnya ngajak debat, beda agama pula, masih dikawruhke di dalam masjid pula.
Begitu tiba waktu Ashar, para tamu itu menyatakan hendak menjalankan sembahyang. Rasulullah Saw mempersilakan mereka sembayang di dalam Masjid Nabawi dengan ritual mereka. Rasulullah Saw bahkan memberikan jaminan keamanan kepada mereka untuk bebas memeluk dan menjalankan keyakinannya.
Lain waktu, Rasulullah Saw berkata dengan nada meninggi kepada Umar bin Khattab yang hendak membunuh seorang musuh yang telah kalah dan tiba-tiba bersyahadat. Umar menyatakan bahwa syahadatnya palsu, hanya agar tak dibunuh. Rasulullah Saw berdawuh tegas: “Apa kau hendak membelah dadanya dulu agar kau tahu apa benar ada iman di hatinya?!” Rasulullah Saw melarang Umar bertindak keras pada bahkan seorang musuh yang memeranginya.
Selama di Madinah, di mana di sinilah diturunkan ayat-ayat tentang hukum, banyak betul hukum Islam yang ngepasi tidak selaras dengan adat istiadat atau kebiasaan masyarakat diterapkan secara bertahap. Tidak asal waton pokoknya. Tidak serba hitam putih. Tidak pakai metode ‘wajib, jika tidak patuh, serang!’.
Pengharaman khmar dilakukan dalam tiga tahap. Lha wong itu sudah mandarah daging dalam adat warga setempat, sudah pastilah akan meletus resistensi jika main papras begitu saja. Pembatasan jumlah istri dalam tradisi poligami juga dilakukan bertahap. Demi menepis potensi gejolak bila diterapkan secara kaku dan keras.
Mulanya Rasulullah Saw melarang umat Islam ziarah kubur. Khawatir syirik. Setelah dirasa iman umat makin kuat, ziarah kubur malah dianjurkan. “Cukuplah kematian jadi pengingatmu,” merupakan ungkapan beliau yang amat kondang.
Di Madinah, Rasulullah Saw punya kebiasaan mendoakan para almarhum-almarhumah Baqi’. Pada suatu malam, Aisyah ketiduran di pintu rumahnya menunggu Rasul Saw pulang. Dini hari Rasulullah Saw baru pulang, membangunkan Aisyah, dan menceritakan bahwa beliau berziarah ke Baqi’, mendoakan mendiang para sahabatnya.
Rasulullah Saw juga mendiamkan (sifat hukumnya jadi taqrir) para sahabat yang berdzikir dan berdoa sendiri-sendiri ataupun bersama-sama. Sirr dan jahr sama-sama ditakrirnya.
Rasulullah Saw pernah mengimami shalat sambil diglendoti dua cucunya, Hasan dan Husein. Shalat terus dilanjutkan sampai selesai. Masa kanak Hasan dan Husain tentu saja serupa saja dengan ulah khas anak-anak kita hari ini. Ya jempalitan, lari-larian, dan berteriak ini itu. Masak iya karena mereka dulu makannya kurma dan gandum sementara anak-anak kita sekarang makannya pecel lele, steak dan gofood, lalu berbeda kelakuan khas kekanak-kanakannya? Tentu tidak.
Rasulullah Saw pernah menasihati putri tercintanya, Fathimah, yang bekerja keras agar bisa makan supaya bersabar dan ada pahala besar baginya dari Allah atas dedikasinya pada kelangsungan hidup keseharian keluarganya. Ya, Fathimah yang perempuan melakukan itu, kerja keras hingga tangannya digambarkan menjadi kasar.
Rasulullah Saw punya sahabat kaya raya bernama Abdurrahman bin ‘Auf. Beliau ini tak kunjung menikah karena memilih sibuk berdagang. Temannya, Sa’ad bin Abi Waqash yang punya dua istri menawarkan begini: “Man, seng endi bojoku seng tok senengi, ngomongo. Tak cerai, pek’en, ben kowe gek nikah…..” Abdurrahman tetap memilh bakulan. Ujungnya, bertahun waktu kemudian, ia baru menikah dalam kondisi telah kaya.
Sebaliknya, dari tuturan Ibn Mas’ud, Rasulullah Saw pernah menyarankan para pemuda (bukan anak muda ya makna syabab itu) bersegera menikah. Sejumlah sahabat langsung mengijabahi anjuran Rasul. Selainnya ya biasa saja, tidak sontak menikah. Jadi, mau nikah muda atau tidak, monggo saja. Seriap person pasti memiliki kondisi khasnya.
Begitupun pada sejarah sahabat Jabir bin Abdillah yang menikahi janda. Rasulullah Saw nggudo, ngopo kowe kok ra ngerabeni perawan tingting men kowe iso ena-ena sumringah, to. Jawaban Jabir begini: ngapunten, Rasul, kulo niki gadah sederek-sederek putri, kulo khawatir garwo kulo mangkeh dados penghalang kaleh pesederekan kulo leh isih enem….
Rasul Saw nimbali: Oh yo, nek ngunu yawes pener kowe, Bir, wong wedok ki dirabeni mergo agamane, keturunane, hartane, utowo ayune. Milih faktor agama itu sek mulyo.
Ketika pertama kali nyampe di Yastrib, Rasulullah Saw dan para muhajirin disambut tabuhan terbangan oleh para warga Anshor sembari bersiir: thala’al badru ‘alaina…. Rasulullah Saw seneng hati.
Rasulullah Saw juga pernah berolahraga lari-larian bersama Aisyah dan bercanda-canda macam kita hari ini. Tidak hanya memanah dan berkuda. Umar bin Khattab pernah berkisah lucu yang bikin ngakak Rasulullah Saw hingga terlihat gigi gerahamnya. “Dulu, sebelum beriman, saya membuat berhala dari manisan, menyembahnya. Ketika lapar, tak ada makanan lagi, manisan itu saya makan….”
Rasulullah Saw yang amat dicintai para sahabatnya suatu hari didatangi seorang penyair yang menuliskan puisi cinta buatnya. Ia meminta ijin pada Rasulullah Saw untuk mendeklamasikannya. Seusai dibacakan puisi, Rasulullah Saw tersenyum sumringah, senang, lalu menghadiahkan serbannya kepada penyair tersebut. Saking girangnya, sahabat penyair itu lari-larian keliling kampung dan pasar sambil melempar-lempar serban pemberian Rasulullah itu ke udara dan berteriak-teriak kegirangan.
Suatu kali, Rasulullah Saw melihat putri Abu Bakar Ash-Shiddiq yang sudah abegeh pakai baju agak terawang. Beliau berbisik kepada Abu Bakar, “Kang, anakmu cewek kui wes gede, klambine anggonen sek lebih iso jogo aurate, yo.”
Terakhir ya, ketika Fathu Makkah, pasukan muslim memasuki kota Makkah dengan jumlah dan kekuatan yang musykil ditandingi kafir Quraisy, beliau melarang pasukannya merusak apa pun, apalagi menyakiti siapa pun, dan hanya membersihkan berhala-berhala dari sekujur Ka’bah. Tidak merazia setiap rumah dan memporak-porandakan semua berhala. Apalagi lalu pasang banner: “Kami menolak segala bentuk kesyirikan!” dan mbleyer-mbleyeri kuda dan unta sepenuh garang. Keamanan para kafir Quraisy dijamin.
Begitu manusiawinya Rasulullah Saw dalam mendakwahkan iman dan Islam, dengan menimbang kondisi dan situasi yang dihadapi, menandakan betapa dimensi akhlaqul karimah benar-benar adalah fondasi utama bagi syiar agama. Lalu, apa alasan naqli dan aqli panjenengan hari ini menyiarkan Islam dengan kasar, keras, nyalah-nyalahkan, dan nyesat-nyesatkan orang lain? Apa argumen otoritatifnya penjenengan mendaku pengikut al-Qur’an dan sunnah Rasul Saw bila dalam praktik syiar panjenengan justru bertentangan dengan hakikat nilai-nilai kemanusiaan yang sangat diutamakan oleh Rasulullah Saw?
Marilah kita semua down to earth, memanusiawi, menghasanah, niscaya hasil dakwah akan lebih tulus, sejuk, dan terhormat. Santailah. Kendorinlah. Kita semua yang sebangsa dan setanahair lelah luar biasa menyaksikan ekspresi-ekspresi iman, Islam, dan dakwah-dakwah yang malah menyeret bangsa ini ke jurang perpecah-belahan yang jelas-jelas sharih dilarang oleh surat Ali ‘Imran.
Finalnya, kerap saya merenung: betapa di zaman ini cara termudah bagi siapa pun yang ingin mendalami keimanan dan keislaman kepada seorang “tokoh Islam” ialah cukup dengan memperhatikan tuturan dan perilakunya. Jika menguarkan kesejukan sosial, ia sungguh-sungguh ulama; jika malah menderaikan sesat-menyesatkan kepada orang lain, tinggalkanlah segera, sebab pastilah ia bukan ulama.