Ketimpangan sosial adalah masalah serius yang dihadapi oleh Jokowi sekarang. Oleh karena itu, pemerintah diminta untuk meredistribusi harta yang menumpuk hanya di satu dua gelintir orang. Masyarakat hingga pelosok berhak menikmati kue pembangunan.
Akan tetapi, saya selalu katakan, pembangunan saja tidak cukup. Mari bercermin pada kasus Ahok. Kurang apa usaha dia sebagai gubernur DKI menyediakan kebutuhan dasar warga, memfasilitasi kalangan tidak mampu, atau bahkan mengirim marbot masjid ke tanah suci. Tapi apa yang terjadi kemudian?
Rupanya identitas dianggap jauh bernilai daripada redistribusi harta. Sebagian masyarakat tidak peduli pembangunan yang acak kadut asalkan rasa-merasa mereka sebagai Muslim terpenuhi. Mereka menganggap Ahok, juga Jokowi, gagal melakukan itu.
Masalahnya rasa-merasa tersebut dibangun bukan di atas pikiran rasional, melainkan sentimen agama yang bahkan bersifat rasis. Lebih parah lagi, rasa merasa itu dibentuk oleh informasi palsu yang sengaja diproduksi oleh segerombolan pecundang seperti Saracen. Tidak hanya orang awam, bahkan meraka yang secara formal sangat berpendidikan pun ikut-ikutan.
Sebagian ilmuwan sosial politik belum menyadari (atau tidak mau menyadari) masalah ini secara mamadai. Mereka terus saja menyoal ketimpangan sosial, tetapi mengabaikan kenyataan mengenai kuatnya faktor identitas dalam menentukan (bukan sekadar mempengaruhi) dinamika kemasyarakatan. Bagi saya, sikap ilmuwan seperti ini merupakan penyembunyian terhadap fakta adanya rasisme dalam masyarakat kita.
Sesungguhnya Jokowi telah mengumumkan pentingnya revolusi mental. Sayangnya hal ini kurang dipersiapkan secara matang, sehingga terkesan hanya slogan yang tidak tertanam dalam kenyataan. Menurut saya, akui saja bahwa masyarakat kita adalah masyarakat yang lebih mementingkan identitas (yang rasistik) daripada pembangunan dan itu bermasalah. Revolusi mental seharusnya diarahkan untuk memberantas itu.